Keluarga saya dapet musibah akhir-akhir ini. Paman saya yang sudah berumur 70-an makin hari makin lesu, sehingga tante saya memeriksakannya ke internis lokal. Setelah diperiksa, ternyata sang internis nggak berani mengumumkan diagnosisnya sendirian coz dos-q curiga ini leukemia. Dos-q mutusin untuk bikin rapat kecil dengan paman saya, tante saya, dan hematolog. Sang hematolog ternyata ragu juga apakah ini leukemia, sehingga dos-q periksakan lagi sampel cairan darah paman saya ke patolog. Patolognya ternyata di Jakarta, sedangkan paman saya tinggal di Jawa Timur.
Ternyata patolognya bilang ini bukan leukemia. Hematolognya bingung coz gejalanya mirip leukemia, tapi dos-q nggak berani kasih obat juga jika patolognya di Jakarta bilang ini bukan leukemia. Padahal patolog di Surabaya bilang kalau ini leukemia.
Paman saya bingung, keluarga saya pusing tujuh keliling. Akhirnya paman saya mutusin terbang ke Singapura barengan tante saya untuk periksa ke rumah sakit di sana. Prinsip mereka, jika Surabaya dan Jakarta nggak bisa ngomong dengan kompak padahal sama-sama Indonesia-nya, mending percaya sama negara tetangga.
Saya, sebagai dokter umum, merasa kecewa. Bukan kecewa terhadap putusan paman saya yang milih berobat ke luar negeri. Tetapi saya kecewa karena akhirnya saya nemu salah satu titik permasalahan dunia kesehatan di Indonesia: dokternya nggak berani membuat keputusan. Profesor dokter ahli yang sudah kawakan jadi dokter selama puluhan tahun nggak bisa memutuskan apakah pria tua berumur 70 tahun yang menderita lemas badan perlu terapi leukemia atau tidak.
Saya ngerti kenapa dokter nggak berani membuat keputusan. Karena di negara ini ada makhluk bernama pengacara alias pengangguran banyak acara. Kalau ternyata seorang pasien itu salah diagnosis, maka si dokter bisa dituntut atas tuduhan malpraktek.
Padahal untuk membuat suatu pernyataan penyakit, perlu data. Data itu meliputi anamnesa (curhatan sang pasien tentang keluhan penyakitnya), pemeriksaan pada badan sang pasien, dan pemeriksaan laboratorium. Jaman sekarang ternyata hasil di laboratorium pertama dengan laboratorium kedua bisa berbeda, tergantung hasil analisa dokter laboratoriumnya. Dan hasil analisa tiap orang sangat tergantung dengan textbook yang pernah dia baca. Barangkali textbook patolog di Surabaya beda dengan textbook patolog di Jakarta. Makanya susah sekali memutuskan apakah pasiennya beneran leukemia atau enggak.
Tapi dokter semestinya nggak bikin pasien bingung. Dia mestinya bisa bilang "Ya" atau "Tidak". Beberapa guru saya malah pakai jurus lain kalau ragu-ragu. Mereka akan mengatakan begini, "Pak, untuk sementara kami belum memutuskan kemoterapi untuk Bapak, tapi kami akan mengobservasi lebih lanjut keadaan Bapak. Kami mohon Bapak kontrol lagi ke sini bulan depan. Kami akan memberi tahu Bapak jika kami sudah menemukan penyakit Bapak." Sambil diam-diam kirim sampel darah si pasien ke negara lain yang kira-kira labnya (dan profesornya) lebih canggih.
Jawaban ini jelas tidak akan membuat pasien merasa makin bingung, lebih skeptis sehingga mengeluarkan dana lebih dalam untuk berobat ke luar negeri. Iya kebetulan paman saya orang berkecukupan. Lha kalau pasiennya miskin?
Apa yang lebih buruk di dunia ini daripada miskin dan kebingungan pada saat bersamaan?
Oh ya, paman saya sudah balik dari Sinx. Apa kata dokter di sana? Paman saya sakit leukemia. Tapi
leukemianya jenis leukemia yang langka. Jadi belum ada obatnya.
Paman saya sekarang cuma minum vitamin untuk keluhan lemasnya. Dan kembali menyetir mobil dan ngajar mahasiswa. Kami tidak tahu berapa sisa umurnya. Yang jelas paman saya sekarang masih bisa ketawa dan main dengan cucu-cucunya.
Buat kami keluarganya, itu sudah cukup.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com
Ternyata patolognya bilang ini bukan leukemia. Hematolognya bingung coz gejalanya mirip leukemia, tapi dos-q nggak berani kasih obat juga jika patolognya di Jakarta bilang ini bukan leukemia. Padahal patolog di Surabaya bilang kalau ini leukemia.
Paman saya bingung, keluarga saya pusing tujuh keliling. Akhirnya paman saya mutusin terbang ke Singapura barengan tante saya untuk periksa ke rumah sakit di sana. Prinsip mereka, jika Surabaya dan Jakarta nggak bisa ngomong dengan kompak padahal sama-sama Indonesia-nya, mending percaya sama negara tetangga.
Saya, sebagai dokter umum, merasa kecewa. Bukan kecewa terhadap putusan paman saya yang milih berobat ke luar negeri. Tetapi saya kecewa karena akhirnya saya nemu salah satu titik permasalahan dunia kesehatan di Indonesia: dokternya nggak berani membuat keputusan. Profesor dokter ahli yang sudah kawakan jadi dokter selama puluhan tahun nggak bisa memutuskan apakah pria tua berumur 70 tahun yang menderita lemas badan perlu terapi leukemia atau tidak.
Saya ngerti kenapa dokter nggak berani membuat keputusan. Karena di negara ini ada makhluk bernama pengacara alias pengangguran banyak acara. Kalau ternyata seorang pasien itu salah diagnosis, maka si dokter bisa dituntut atas tuduhan malpraktek.
Padahal untuk membuat suatu pernyataan penyakit, perlu data. Data itu meliputi anamnesa (curhatan sang pasien tentang keluhan penyakitnya), pemeriksaan pada badan sang pasien, dan pemeriksaan laboratorium. Jaman sekarang ternyata hasil di laboratorium pertama dengan laboratorium kedua bisa berbeda, tergantung hasil analisa dokter laboratoriumnya. Dan hasil analisa tiap orang sangat tergantung dengan textbook yang pernah dia baca. Barangkali textbook patolog di Surabaya beda dengan textbook patolog di Jakarta. Makanya susah sekali memutuskan apakah pasiennya beneran leukemia atau enggak.
Tapi dokter semestinya nggak bikin pasien bingung. Dia mestinya bisa bilang "Ya" atau "Tidak". Beberapa guru saya malah pakai jurus lain kalau ragu-ragu. Mereka akan mengatakan begini, "Pak, untuk sementara kami belum memutuskan kemoterapi untuk Bapak, tapi kami akan mengobservasi lebih lanjut keadaan Bapak. Kami mohon Bapak kontrol lagi ke sini bulan depan. Kami akan memberi tahu Bapak jika kami sudah menemukan penyakit Bapak." Sambil diam-diam kirim sampel darah si pasien ke negara lain yang kira-kira labnya (dan profesornya) lebih canggih.
Jawaban ini jelas tidak akan membuat pasien merasa makin bingung, lebih skeptis sehingga mengeluarkan dana lebih dalam untuk berobat ke luar negeri. Iya kebetulan paman saya orang berkecukupan. Lha kalau pasiennya miskin?
Apa yang lebih buruk di dunia ini daripada miskin dan kebingungan pada saat bersamaan?
Oh ya, paman saya sudah balik dari Sinx. Apa kata dokter di sana? Paman saya sakit leukemia. Tapi
leukemianya jenis leukemia yang langka. Jadi belum ada obatnya.
Paman saya sekarang cuma minum vitamin untuk keluhan lemasnya. Dan kembali menyetir mobil dan ngajar mahasiswa. Kami tidak tahu berapa sisa umurnya. Yang jelas paman saya sekarang masih bisa ketawa dan main dengan cucu-cucunya.
Buat kami keluarganya, itu sudah cukup.
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com