Foto oleh Eddy Fahmi |
Selamat datang, musim hujan. Begitu senang lihat hujan sungguhan supaya kita
punya bahan pembicaraan.
Seorang kolega curhat ke
saya. Beberapa hari yang lalu, dos-q entah bagaimana harus satu perjalanan
berdua dengan kolega lain. Si partner perjalanan ini nggak akrab-akrab banget sama
dos-q, bahkan tahu nama lengkap satu sama lain pun enggak. Tetapi mereka harus
jalan bareng ke suatu tempat untuk kepentingan pekerjaan.
“How is he?” tanya saya.
Maksudnya saya pingin tahu apakah dos-q menyenangkan, atau badannya bau, atau
apalah.
“Oh, dia sangat pendiam,”
jawab kolega saya dengan perasaan penuh tersiksa.
Saya ketawa. Kolega saya
orangnya sangat periang. Tapi seseorang yang periang kadang-kadang bisa merasa
tersiksa banget kalau harus jalan bareng orang yang sangat pendiam.
“Kalian ngobrolin apa?
Eh, sori, maksud aku, kamu ngomong apa sama dia?” tanya saya mengejek.
“Mmmh..” kolega saya
berusaha mengingat-ingat dengan susah-payah. “Saya nanya, ‘kemaren ujan ya?’”
Tawa saya meledak keras.
***
Hujan, atau cuaca, adalah topik yang paling sering diomongin orang, menurut
statistik. Topik ini bahkan lebih sering diomongin daripada nanyain Anda
anaknya berapa, atau Anda kerja di mana, atau enaknya siapa yang lebih asyik
jadi presiden, Ahok atau Dahlan Iskan?
Buat saya, yang nggak
senang sama basa-basi, jika saya ngobrol dengan seseorang, lalu tiba-tiba orang
itu nanyain, “Di tempat Anda hujan ya?” itu adalah indikasi bahwa saya sudah
mulai jadi orang yang membosankan sampai-sampai lawan bicara saya nggak nemu
topik lain yang lebih menarik daripada cuaca. Dan mendadak perasaan itu jadi sedih.
Bokap saya pernah cerita
tentang asal mula topik hujan. Jadi ceritanya, jaman dulu, di Jawa, mata
pencaharian utama rakyat adalah petani. Semua orang menggantungkan sumber nafkah
mereka dari kebun, sawah, ladang, dan hutan. Makanya, mereka senang banget
kalau musim hujan tiba, coz berarti ada limpahan air untuk tanam-tanaman mereka
(jaman dulu nggak ada banjir, thanks to
Sultan-Agung-raja-besar-yang-konon-banyak-selirnya-itu). Akibatnya sawah dan
lain-lain pun jadi subur, panen pun banyak, rejeki pun bejibun. Jadi kalau
orang dari satu daerah ketemu orang dari daerah lain, lalu mereka bertanya, “Di
tempat panjenengan sana hujan ya?” berarti itu maksudnya nanya apakah di sana
rejeki sedang berlimpah.
Kebiasaan nanyain hujan itu
berlangsung turun-temurun. Bahkan sampai jaman masa kini, ketika orang-orang
tidak lagi berbondong-bondong jadi petani, dan banjir jadi musibah langganan di
mana-mana. Hari gini, orang masih nanyain, “Di sana hujan ya?” nggak jelas itu
maksudnya sebenarnya nanyain apakah kita hapal prakiraan cuaca atau cuman
sekedar basa-basi mengisi kekosongan pembicaraan. Di kalangan orang yang hidup
di perkotaan, hujan artinya “jemuran nggak kering”, “bikin males keluar rumah
untuk bekerja”, “awas banjir”, dan pokoknya hal-hal yang nggak enak lainnya.
Dan ngomongin hal yang
nggak enak hanya membuat pembicaraan yang semula kosong menjadi semakin tidak
menyenangkan.
Terus saya kadang-kadang
jadi penasaran, kalau nggak ada hal yang enak untuk diomongin, lantas ngapain
harus dipaksain ngomong? Kenapa harus basa-basi segala? Memangnya situ seneng
kalau dibasa-basiin, ditanyain di sana hujan apa enggak?
Persoalannya, ternyata ada
sebagian orang di dunia ini, saya nggak tahu populasinya ada berapa persen, yang
memang rikuh kalau tidak menciptakan pembicaraan, atau memang rikuh kalau tidak
diajak bicara.
Oh by the way busway, saya seneng kalau ditanyain
di tempat saya hujan apa enggak. Soalnya Surabaya itu nggak pernah hujan. Cuacanya
di sini panas banget. Di sini mataharinya ada ENAM. Kalau sampai di sini hujan,
berarti pasti itu fenomena alam.