Dari dulu saya selalu penasaran dengan arti kata “sopan”.
Orang-orang jaman dulu yang tua-tua selalu bilang sopan itu artinya sesuai tata
krama. Saya kirain tata krama itu hanya kosa kata yang ada di benua Asia Timur,
coz sepanjang pengetahuan saya cuman benua ini yang ribut masalah tata krama.
Sampai kemudian di sebuah
sekolah, enam bulan yang lalu, saya belajar apa itu sebenarnya tata krama. Tata
krama bukan sekedar membungkuk kalau lewat di depan orang yang umurnya lebih
tua atau cowok bukain pintu supaya cewek bisa lewat duluan. Tetapi tata krama,
atau dalam bahasa Inggrisnya adalah social
grace, punya inti tujuan akhir yaitu menyenangkan orang lain. Tata krama
tidak cuman berlaku jika berkelakuan di hadapan yang lebih tua, di hadapan
lawan jenis, tapi bahkan juga berlaku jika berkelakuan di depan yang lebih
muda. Iya, bahkan kita harus sopan kepada
anak-anak.
Ini menjelaskan, kenapa
orang muda seringkali dikira nggak sopan oleh orang tua. Setelah saya
pikir-pikir, sikap orang muda yang sering kali nampak nggak sopan itu kemungkinannya
dua: 1) sang muda nggak tahu bagaimana menjaga supaya sikapnya menyenangkan si
tua, atau yang lebih parah lagi 2) itu hanya reaksi sang muda untuk menampakkan
ketidaksukaannya kepada si tua.
Lupakan poin nomor 1) coz
saya ogah membahas pengetahuan. Saya lebih tertarik poin 2), kenapa orang bisa
nggak suka terhadap orang lain. Memangnya si tua itu ngapain kok sang muda
sampai nggak suka terhadapnya, sehingga tidak mau menunjukkan sikap yang menyenangkan
si tua, malah bersikap sebaliknya, dengan sukarela mendemonstrasikan bahasa
tubuh maupun bahasa mulutnya yang jelas tidak menyenangkan si tua.
Ceritanya..
Saya punya teman yang
dari dulu selalu mengeluh kenapa dia belum hamil. Lama menikahnya sama
seupritnya dengan saya, tapi dia nggak hamil-hamil juga. Saya, yang sudah tahu
duluan tentang probabilitas kehamilan pada usia pernikahan setahun,
tenang-tenang aja. Tapi kan teman saya bukan dokter, jadi dos-q nggak setenang
saya. Percuma saya menasehatinya untuk “keep calm and have sex”, coz dos-q
lebih gelisah menghadapi pertanyaan masyarakat (baca: orang tua, mertua,
bude-bude dan tetangga yang cerewet sok-perhatian-tapi-nggak-mau-nyawer-tebal-waktu-kondangan)
tentang “kapan hamil”.
Waktu sudah mengajari
saya untuk memahami arti kata “gagal” dan “rencana Tuhan”. Dulu saya juga
bingung kenapa semenjak saya menghentikan alat KB saya nggak spontan hamil
juga. Percuma kawan-kawan sana-sini menghibur coz saya sendiri terpaku dengan
kegelisahan saya sendiri. Sampai kemudian saya hamil, lalu pelan-pelan saya
mulai mengerti.
Dulu Tuhan belum kasih
saya janin, karena mungkin waktunya belom pas. Waktu itu perusahaan software my
hunk baru saja berdiri, dos-q masih belajar bisnis sendiri, cash flow rumah
tangga belum jelas mau mengalir dari mana. Sementara saya sendiri juga baru
mendirikan bisnis investasi saya, saya masih belajar. Seandainya saat itu saya langsung
hamil, dilengkapi dengan suasana perut eneg plus mood swing akibat estrogen
yang melonjak nggak karuan, barangkali kami nggak akan bisa menikmati
bulan-bulan pertama kehamilan ini dengan baik. Padahal, waktu saya kuliah dulu,
kalau emaknya stress di empat bulan pertama kehamilan, maka sel-sel saraf si
janin akan ketularan neurotransmitter yang jelek-jelek, mengakibatkan waktu dia
jadi orang dewasa nanti dia akan jadi pemarah.
Tuhan akhirnya kirim anak
ke perut saya pada saat bisnis my hunk mulai terkendali, dan pada saat
bersamaan itu saya mulai ngerti bahwa menjadi wiraswasta itu nggak boleh
serakah. Dia mengijinkan kehamilan ini terjadi pada saat yang tepat.
Jadi...
Setiap orang punya saat
tepatnya sendiri-sendiri, tidak sama antara satu dengan yang lain. Pada saat
manusia merasa siap, belum tentu Tuhan mufakat juga dengan kesiapan manusia
itu. Ini menjelaskan, kenapa orang yang sering dikira sudah siap hamil, ternyata
belum hamil-hamil juga.
Mendesak orang lain untuk
segera hamil, sama seperti mendesak supaya lumpur Lapindo pindah ke Gunung Bromo.
Kalau Tuhan belum mengijinkan, maka sampai kiamat juga itu lumpur nggak bakalan
ngalir ke Bromo. Kalau Tuhan belum mengijinkan sepasang suami-istri untuk hamil,
maka sampai jungkir balik pas ML-nya pun pasangan itu nggak akan hamil juga.
Dan karena melakukan
sesuatu yang cuman bisa dilakukan Tuhan itu adalah sesuatu yang percuma,
alhasil mendesak orang yang melakukannya juga percuma. Malah tidak menyenangkan
orang yang didesak dan hanya menciptakan percakapan basi yang tidak
menyenangkan. Tidak menyenangkan = tidak sopan.
Jadi, mendesak orang yang
belum hamil untuk segera hamil, adalah pertanyaan (atau lebih tepatnya suruhan)
yang tidak sopan. Sialnya banyak banget orang (sok) tua yang nggak sopan
begini.
Di sekolah yang sama,
saya juga belajar bagaimana sebaiknya sikap kita terhadap orang yang tidak
sopan begini. (Atau lebih tepatnya, bagaimana sebaiknya kita harus bersikap
kepada orang tua yang nanya kapan hamil?)
Bukannya kasih solusi, guru saya malah mengajari saya soal manajemen waktu.
Mana yang lebih bermanfaat, menghabiskan waktu untuk kegiatan yang investatif
atau kegiatan ngerumpi yang tidak menambah pengetahuan?
Saya nyaris bertanya
juga, apakah kegiatan arisan keluarga yang
isinya cuman bertanya-tanya kapan hamil
adalah kegiatan yang investatif atau hanya sekedar ngerumpi tanpa menambah
pengetahuan?
Jika kau berada dalam
sebuah percakapan yang tidak menyenangkan, gantilah arah pembicaraan menjadi
lebih menyenangkan.
Jika arah pembicaraan itu
tidak bisa dibuat menyenangkan juga, kau perlu menghamburkan waktumu untuk
kegiatan lain yang lebih berguna.
Dan itu menjelaskan
kenapa orang muda jauh lebih senang mandiin kucingnya di rumah daripada menghadiri
pertemuan keluarga. Setidaknya mandiin kucing akan memaksa kita berolahraga à lebih sehat, bukan sakit hati karena pertanyaan
orang lain.
Saya kepingin banget bilang sama teman-saya-yang-belum-hamil-juga supaya mengganti orangtuanya, budenya, dan
tetangganya dengan orang yang nggak tukang tanya-tanya kapan-hamil, tapi saya
belom tega :D