Saya selalu dimarahi kolega kalau habis pergi ke dokter.
"Kamu ngapain gitu aja ke dokter? Obatin sendiri!" Saya inget begitu kata kolega senior saya, sekitar beberapa tahun lalu, waktu saya minta ijin hengkang duluan dari acara main badminton bersama gara-gara saya kepingin ngejar prakteknya seorang spesialis THT.
"Saya sakit," jawab saya sambil ngelap idung saya yang meler. Sumpah, jorok banget.
"Kamu kan juga dokter!" Dos-q nuding saya.
Saya mendelik ke sang senior. Mau bilang, "Kita nggak boleh sombong, Bang!" tapi saya ogah menggurui.
Malam itu saya tetap pergi. Ke ahli THT yang sudah saya incar. Sampai di sana, bener aja, sang dokter netesin obat ke hidung saya dan mendadak pilek saya langsung surut bagaikan banjir yang mendadak berhenti.
"What have you given me?" Saya tidak bisa menahan mulut saya untuk tidak bertanya.
Sang dokter cuma nyengir dan memandang saya dengan tatapan penuh kebapakan. Caranya memandang seolah-olah mau bilang "Di dunia ini ada banyak hal yang tidak bisa kau atasi sendiri, Nak, dan kau perlu pertolongan orang lain untuk itu. Meskipun kau mungkin sebetulnya sudah cukup pintar."
Itu adalah saat-saat di mana saya merasa diingatkan Tuhan bahwa kemampuan kita kadang-kadang terbatas.
***
Hari ini saya ke dokter lagi. Keputusan yang saya bikin setelah sebelumnya maju mundur nggak cantik. Semua dimulai gegara saya mulai batuk seminggu yang lalu. Gara-gara saya kesusahan tidur akibat janin saya yang makin besar.
Tiga hari batuk-batuk, saya mengadu ke dokter kandungan. Si SpOG kasih obat pengencer dahak coz itu satu-satunya alternatif yang aman untuk janin. Dia suruh saya istirahat. Saya minum obatnya, tapi sepanjang long weekend saya habiskan dengan piknik Batu-Malang bareng-bareng keluarga yang dateng dari luar kota untuk merayakan liburan hari buruh.
Saya senang-senang, pulang-pulang bawa foto banyak-banyak. Tapi tentu saja saya kecapekan. Yang tadinya cuman batuk, sekarang jadi pilek. Pileknya menyumbat napas, bikin nggak bisa tidur. Tiap kali batuk, perut ini rasanya tertekan. Janin saya ikut tergencet, dan dia membebaskan dirinya sendiri dengan ngedempet kandung kencing saya. Akibatnya saban batuk, kandung kencing saya jadi terasa kram. Hwarakadah. Ganggu banget.
Pagi ini saya tepar di kursi pasiennya dokter THT. Mengeluh panjang pendek tentang batuk dan pilek. Dan tentang kepusingan saya bikin resep sendiri untuk diri saya sendiri lantaran semua obat flu itu kategori C semua, kategori berbahaya untuk janin. Si otorinolaringologis pun tersenyum, lalu ngetikin resep. Dan bilang saya punya alergi, mungkin alergi dingin atau debu. Dan itu mengingatkan saya karena gara-gara saya pergi sepanjang long weekend, sprei tempat tidur belom saya ganti. Dan hawa Malang-Batu emang dingin banget.
Dia kasih saya steroid. Ya, terserahlah, saya mbatin. Don't worry about it, toh janin saya sudah mateng. Dia mau kasih saya antiinflamasi juga. Dan mukolitik. Istirahatlah, dan minum air putih yang buanyak. Saya mengangguk lesu. I need sleeping.
***
Sebetulnya dokternya cuman mengulang apa yang sudah saya baca di buku kuliah dulu. Tapi saya sudah ngeh, kalau saya sendiri yang nulis resepnya, mungkin saya akan menyunat beberapa komposisi supaya jatuhnya lebih ngirit.
Dan saya nggak pernah ngerti kenapa dokter selalu mengirit-ngirit obat untuk dirinya sendiri, tapi tidak pernah mengirit resep kalau resepnya untuk orang lain. Saya sendiri merasakan, jika saya lagi sayang sama pasien, kalau bisa semua obat yang bermanfaat akan saya tuliskan di resepnya supaya dia cepet sembuh. Tapi kalau saya sendiri yang sakit, saya malah nggak beli obat kalau nggak terpaksa banget. Selalu mikir, "Ah..makan buah kiwi aja yang banyak, nanti sembuh sendiri." "Ah..kalo gue bawa tidur, nanti juga sembuh." Nggak ada pemikiran seek-for-another-help. Tanda-tanda sombong (pada diri sendiri)?
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com
"Kamu ngapain gitu aja ke dokter? Obatin sendiri!" Saya inget begitu kata kolega senior saya, sekitar beberapa tahun lalu, waktu saya minta ijin hengkang duluan dari acara main badminton bersama gara-gara saya kepingin ngejar prakteknya seorang spesialis THT.
"Saya sakit," jawab saya sambil ngelap idung saya yang meler. Sumpah, jorok banget.
"Kamu kan juga dokter!" Dos-q nuding saya.
Saya mendelik ke sang senior. Mau bilang, "Kita nggak boleh sombong, Bang!" tapi saya ogah menggurui.
Malam itu saya tetap pergi. Ke ahli THT yang sudah saya incar. Sampai di sana, bener aja, sang dokter netesin obat ke hidung saya dan mendadak pilek saya langsung surut bagaikan banjir yang mendadak berhenti.
"What have you given me?" Saya tidak bisa menahan mulut saya untuk tidak bertanya.
Sang dokter cuma nyengir dan memandang saya dengan tatapan penuh kebapakan. Caranya memandang seolah-olah mau bilang "Di dunia ini ada banyak hal yang tidak bisa kau atasi sendiri, Nak, dan kau perlu pertolongan orang lain untuk itu. Meskipun kau mungkin sebetulnya sudah cukup pintar."
Itu adalah saat-saat di mana saya merasa diingatkan Tuhan bahwa kemampuan kita kadang-kadang terbatas.
***
Hari ini saya ke dokter lagi. Keputusan yang saya bikin setelah sebelumnya maju mundur nggak cantik. Semua dimulai gegara saya mulai batuk seminggu yang lalu. Gara-gara saya kesusahan tidur akibat janin saya yang makin besar.
Tiga hari batuk-batuk, saya mengadu ke dokter kandungan. Si SpOG kasih obat pengencer dahak coz itu satu-satunya alternatif yang aman untuk janin. Dia suruh saya istirahat. Saya minum obatnya, tapi sepanjang long weekend saya habiskan dengan piknik Batu-Malang bareng-bareng keluarga yang dateng dari luar kota untuk merayakan liburan hari buruh.
Saya senang-senang, pulang-pulang bawa foto banyak-banyak. Tapi tentu saja saya kecapekan. Yang tadinya cuman batuk, sekarang jadi pilek. Pileknya menyumbat napas, bikin nggak bisa tidur. Tiap kali batuk, perut ini rasanya tertekan. Janin saya ikut tergencet, dan dia membebaskan dirinya sendiri dengan ngedempet kandung kencing saya. Akibatnya saban batuk, kandung kencing saya jadi terasa kram. Hwarakadah. Ganggu banget.
Pagi ini saya tepar di kursi pasiennya dokter THT. Mengeluh panjang pendek tentang batuk dan pilek. Dan tentang kepusingan saya bikin resep sendiri untuk diri saya sendiri lantaran semua obat flu itu kategori C semua, kategori berbahaya untuk janin. Si otorinolaringologis pun tersenyum, lalu ngetikin resep. Dan bilang saya punya alergi, mungkin alergi dingin atau debu. Dan itu mengingatkan saya karena gara-gara saya pergi sepanjang long weekend, sprei tempat tidur belom saya ganti. Dan hawa Malang-Batu emang dingin banget.
Dia kasih saya steroid. Ya, terserahlah, saya mbatin. Don't worry about it, toh janin saya sudah mateng. Dia mau kasih saya antiinflamasi juga. Dan mukolitik. Istirahatlah, dan minum air putih yang buanyak. Saya mengangguk lesu. I need sleeping.
***
Sebetulnya dokternya cuman mengulang apa yang sudah saya baca di buku kuliah dulu. Tapi saya sudah ngeh, kalau saya sendiri yang nulis resepnya, mungkin saya akan menyunat beberapa komposisi supaya jatuhnya lebih ngirit.
Dan saya nggak pernah ngerti kenapa dokter selalu mengirit-ngirit obat untuk dirinya sendiri, tapi tidak pernah mengirit resep kalau resepnya untuk orang lain. Saya sendiri merasakan, jika saya lagi sayang sama pasien, kalau bisa semua obat yang bermanfaat akan saya tuliskan di resepnya supaya dia cepet sembuh. Tapi kalau saya sendiri yang sakit, saya malah nggak beli obat kalau nggak terpaksa banget. Selalu mikir, "Ah..makan buah kiwi aja yang banyak, nanti sembuh sendiri." "Ah..kalo gue bawa tidur, nanti juga sembuh." Nggak ada pemikiran seek-for-another-help. Tanda-tanda sombong (pada diri sendiri)?
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com