Saturday, December 6, 2008

Saksi Terakhir Penerbangan Perintis


Thanx to pengetahuan geografi gw yang bobrok, coz gw ngga pernah tau ada kota bernama Kuala Pembuang.

Gw jadi inget dua bulan lalu, waktu gw lagi nunggu pesawat di Palangka yang mau berangkat ke Jakarta. Itu puncaknya arus mudik, jadi penumpangnya bejibun. Gw lirik kiri-kanan, nampaknya penumpang-penumpang yang bakalan sepesawat ama gw itu, ngga ada yang ngomong pake logat Dayak atau Banjar. Gw langsung mengenali pekerja-pekerja musiman, yang cuman bekerja temporer untuk Cali selama beberapa bulan atau tahun, yang setelah itu akan kembali ke habitat aslinya di Jawa begitu kontrak selesai, ya kira-kira mirip gw gitu lah.

Nah, jam keberangkatan pesawat kita udah lama lewat, tapi kita belum juga disuruh naik. Penumpang mulai gelisah, dikit-dikit liat arloji, tapi lebih banyak yang melongin satpam yang ngejagain pintu. Pokoke begitu ada orang yang bukain gerendelnya pintu, pasti ada yang mau boarding dan semua orang yang udah kebelet pengen mudik ini segera berebutan naik pesawat seolah takut ngga kebagian kursi.

Jadi bisa dibayangin betapa antusiasnya waktu satpam membuka pintu, dan semua orang langsung siaga menjinjing koper masing-masing. Lalu dari pengeras suara terdengar, "Perhatian, perhatian. Penumpang pesawat Pelita Air dengan nomor penerbangan XX-XXX tujuan Kuala Pembuang dipersilakan naik ke pesawat."

Semua orang celingukan. Semua megang tas, tapi ngga ada yang berdiri. Satpam termangu.

Lima menit kemudian, pengeras suara itu bunyi lagi. "Perhatian, perhatian. Penumpang pesawat Pelita Air dengan nomor penerbangan XX-XXX tujuan Kuala Pembuang dipersilakan naik ke pesawat."

Semua masih diam. Ruang tunggu penuh dengan orang yang mau ke Jakarta, ngga ada yang minat ke Kuala Pembuang. Gw bahkan ngga tau ada kota bernama Kuala Pembuang. Nama kota gw, Pulang Pisau, aja udah cukup aneh. Kenapa ada orang mau menamai kotanya Kuala Pembuang? Apa aja yang dibuang ke situ?
Lima menit kemudian, perempuan yang sama bersabda lagi dengan suara yang lebih keras, "Perhatian, perhatian! Penumpang pesawat Pelita Air dengan nomor penerbangan XX-XXX tujuan Kuala Pembuang dipersilakan naik ke pesawat!"

Khalayak masih juga bergeming. Seorang penumpang yang duduk di sebelah gw menyeringai jail, "Mbak, Kuala Pembuang di mana sih?"

Gw nyahut seadanya, "Ngga tau. Saya juga baru tau mereka punya lapangan terbang."
Dasar ngibul.

E-eh, tiba-tiba muncul seorang emak bawa bayi sambil ngegandeng seorang anak balitanya, berlari-lari ke satpam dan nyodorin tiket. Setelah itu rombongan mini itu keluar dan naik ke sebuah pesawat kecil bertitel Pelita Air yang telah setia menanti di lapangan. Semua orang di ruang boarding menatap pintu pesawat itu menutup, roda-rodanya bergerak, lalu memuterin landasan pacu, sebelum akhirnya lepas landas.

Ya ampun! Pesawat kecil gitu, penumpangnya cuman tiga!

Gw heran, emangnya ngga rugi ya pilot cuman ngangkut tiga orang? Kayaknya masih mendingan supir colt yang narik trayek Palangka-Pulang Pisau yang tiap harinya ngangkut 12 orang dan tetap untung, biarpun jam berangkatnya ngga pernah tetap lantaran coltnya baru mau bergerak kalo penumpangnya udah penuh.

Begitulah penerbangan perintis. Pesawatnya kecil-kecil, penumpangnya dikit. Tapi rutenya tetap diperluin untuk menjangkau kota-kota terpencil. Tanpa pesawat, Kuala Pembuang cuman dijangkau via darat dan laut selama berjam-jam dan membuat perjalanan seperti mimpi buruk ngga berujung.

Dan akhirnya minggu ini, dua bulan sesudah kisah gw di atas, Pelita Air harus menyetop rute Kuala Pembuang-Palangka. Soalnya, sudah dua bulan ini, makin jarang aja rakyat Pembuang yang mau ke Palangka. Sebulan aja permintaan tiket cuman dua kali, dan sekali terbang cuman ngangkut tiga penumpang. Kenapa mereka ngga pindah aja jadi pesawat carteran?

Hari itu, sepuluh menit berlalu sejak kita nyaksiin ibu dan dua anak itu terbang menguasai Pelita Air sendirian. Tiba-tiba satpam berdiri dan buka gerendel lagi, lalu terdengar dari pengeras suara, "Perhatian, perhatian. Penumpang pesawat Sriwijaya dengan nomor penerbangan XX-XXX tujuan Jakarta dipersilakan..."

Sang perempuan belum selesai bicara, tapi semua penumpang udah sontak berdiri dan menyerbu pintu keluar. Semua orang kangen Jakarta. Cerita penerbangan perintis ke Kuala Pembuang yang ngep-ngepan, cuman jadi selingan lewat aja..