Friday, March 22, 2013

Opini Publik Sakit

Mulutmu harimaumu. Hari gini pepatah itu harus diganti. Keyboard-mu harimaumu. Atau, keypad-mu harimaumu. Atau lebih canggih lagi, touchscreen-mu harimaumu.

Ada sebuah legenda yang pernah saya baca dan sampek sekarang masih membekas di kepala saya yang kecil ini. Alkisah, dulu ada seorang penulis makan di sebuah restoran di Bali. Ceritanya dos-q nggak suka dengan hasil hidangannya. Lalu dos-q menulis review di media massa (saya lupa, penulis ini wartawan atau jurnalis freelance yah?) bahwa restoran itu nggak enak, bla-bla-bla.

Sekitar 10 tahun kemudian, penulis ini naik pesawat. Dalam perjalanan, dos-q ngobrol-ngobrol sama orang asing yang duduk di sebelahnya. Orang asing itu bercerita bahwa dia seorang pengusaha yang usahanya jatuh bangun. Dos-q mendongeng bahwa dos-q pernah punya restoran sekitar 10 tahun sebelumnya. Lalu tiba-tiba muncullah review di media massa bahwa restorannya itu makanannya nggak enak, tempatnya nggak asyik, dan lain-lain. Tidak sampek setahun, restoran itu tutup karena pengunjungnya semakin sepi. Anda bisa menebak di mana posisi bekas restoran itu.

Penulis ini kaget mendengarnya dan langsung jatuh menyesal. Dos-q nggak ngira review-nya itu bisa berdampak pada tutupnya usaha seseorang. Masih untung si pemilik restoran itu bisa buka usaha yang lain, buktinya toh sekarang bisa naik pesawat. Tapi bagaimana dengan pegawai-pegawai restoran yang terpaksa dipecat? Berapa orang harus kehilangan mata pencaharian, padahal jaman gini nyari kerja itu susah banget? Dan itu semua cuman gara-gara tulisan oleh seorang mystery shopper sepanjang setengah halaman?

Mungkin itu sebabnya kenapa saya hati-hati banget kalau nulis tentang bikinan orang lain di media massa. Saya ngeri kalau saya bilang "produk di toko Y kurang bagus", toko Y jadi sepi pengunjung dan lama-lama omzetnya turun, sehingga pegawainya terpaksa dipecat. Yang lebih waspada lagi, saya selalu berusaha keras nggak mau menulis kalimat-kalimat yang bisa nyudutin orang lain, baik saat saya lagi nulis di blog atau saat lagi komentar di blog lain. Karena saya sebenarnya nggak kenal orang itu, siapa tahu tindakan jelek yang dia lakukan itu didasari motivasi bagus atau motivasi nggak sengaja, saking aja saya nggak tahu karena dos-q nggak kasih tau saya. Tidak adil kalau kita ngejelek-jelekin orang padahal kita nggak tahu persis masalahnya.

Bagian yang bikin empet, adalah kalau saya buka situs-situs portal berita dan situs-situs itu menyediakan kolom untuk komentar pembacanya. Saya resah kalau lihat pembacanya komentar sembarangan, ngomong kotor, menjelek-jelekkan pihak tertentu padahal si pembaca itu nggak kenal sama pihak yang dijelekin itu. Kayak barusan, saya baru baca berita tentang kolega saya, Wida Astiti, yang terpaksa dipenjara gara-gara asisten perawatnya nyuntikin obat atas perintahnya dan kemudian pasiennya jadi meninggal setelah disuntikin obat itu. Sebagai dokter, saya bisa ngerti bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi. Dokternya pasti nulis KCl karena pasien itu memang butuh KCl sebagai obat hipokalemia. Sialnya dokternya nggak kepikiran nulis bahwa KCl itu harus di-drip. Asisten perawatnya yang sebenarnya masih mahasiswa keperawatan, menyuntikkan KCl secara bolus. Jelas aja pasiennya langsung lewat. Dokternya juga sebetulnya nggak nyuruh asisten yang masih mahasiswa, dos-q itu nyuruhnya ke perawat yang sungguhan (yang pasti udah punya ijazah). Tapi karena rumah sakit itu adalah area pendidikan, jadi perawat sungguhan itu nyuruh muridnya untuk jadi eksekutor suntik.

Berita yang ditulis tentang Wida itu memancing banyak komentar di situs portalnya, dan banyak banget isi komentar yang jelas-jelas ditulis oleh orang-orang yang nggak ngerti persoalan. Tadinya cuman satu-dua komentar, lama-lama banyak dan banyak. Tahukah kita bahwa kebanyakan komentar atas suatu berita bisa membentuk persepsi publik yang sama. Kalau mayoritas komentar atas berita itu berbunyi ngejelek-jelekin, lama-lama publik percaya bahwa isi berita itu memang jelek.

Padahal, sulit menerima bahwa semua kecelakaan bisa terjadi karena seseorang mungkin tidak kepikiran untuk melakukan sesuatu. Wida nggak sengaja karena tidak kepikiran menulis kata "drip". Pemilik restoran yang saya tulis di atas mungkin nggak kepikiran buat nambahin bumbu entah apa sehingga tidak memuaskan pengunjungnya. Dan para penulis karbitan itu dengan seenaknya menulis bahwa Wida membunuh anak orang dan restoran itu nggak bisa menyajikan masakan yang enak.

Saya, penganut setia aliran Dumbledore, masih percaya bahwa "selalu ada sisi baik dalam diri setiap orang". Jadi saya nggak pernah sudi dipengaruhi persepsi publik. Saya nggak percaya Wida membunuh pasien. Saya nggak percaya restoran yang disebut si penulis di Bali itu nggak enak. Saya nggak percaya SBY itu cuman prihatin melulu lihat istana negara itu kebakaran (dia pasti berpikir keras di mana orang-orang itu ngumpetin hidran airnya). Saya nggak percaya Ahok itu galak dan suka bentak-bentak orang (bisa jadi yang pernah dibentak Ahok itu orangnya cengeng dan nggak pernah dibentak emaknya). Makanya saya nggak pernah mau baca komentar di situs-situs portal itu. Komentar mereka, entah obyektif atau tidak, jelas nggak bisa dipercaya, apalagi kalau nggak disertai link blog pribadi atau link timeline Twitter mereka.

Hati-hati deh kalau ngomong. Mulut kita itu ternyata memang harimau. Sekarang beropini nggak butuh ngomong, cukup nulis di internet aja bisa bikin jatuh orang lain. Makanya sekarang harimaunya nggak cuman di mulut. Tapi bisa di keyboard, keypad, atau bahkan di touchscreen. Coba sekali-kali bayangin kalau kita di posisi orang yang dijatuhkan. Ih, emangnya enak..?
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com