Saya lagi alergi sama wartawan. Atau tepatnya, kami dokter-dokter ini lagi alergi sama wartawan, gara-gara mereka jelek-jelekin Ayu di Manado. Bidannya yang jaga pintu gerbang, males ngomong sama wartawan karena dos-q takut salah bicara. Bidannya kasih wartawannya ke saya, soalnya saya pandai ngomong singkat-singkat tanpa menimbulkan benih-benih permusuhan, haha.
Saya sendiri lagi capek. Hari ini pasiennya susah-susah. Satu orang gagal melahirkan normal lantaran darah tinggi. Satu orang lagi terpaksa lahir operasi lantaran kegemukan. Satu orang lagi terpaksa dioperasi karena anaknya kegedean buat jalan lahir emaknya. Dua orang berhasil lahir normal tapi ibunya menjerit-jerit kesakitan waktu ngeluarin anaknya dan memukul semua mahasiswa perawat yang megang tangannya..
"Selamat malam, Dokter, saya wartawan dari Tempo," katanya memperkenalkan diri.
Owalah, ada juga ternyata wartawan sopan. "Oh ya. Ada apa?"
"Saya ingin tanya tentang ibu yang tadi pagi melahirkan dan bayinya meninggal.."
Doooh.. Belom apa-apa kok udah ditanyain tentang pasien susah.
"Kenapa bayinya meninggal, Dokter?"
"Wah, saya tidak tahu, Mbak. Bayinya sudah meninggal semenjak masih di dalam kandungan."
"Itu bisa lahir normal ya, Dok?"
"Ya bisa dong.." kata saya sambil tersenyum. Saya mikir apakah wartawan ini mengira bayi mati nggak bisa lahir sendiri?
"Err..apakah sejak sebelum lahir sudah diketahui bahwa bayinya sudah meninggal, Dok?"
Nah, itu yang repot.
Saya mikir-mikir sebentar, mencari jawaban yang paling hati-hati. "Gini, Mbak, waktu ibunya baru datang ke sini, kami melakukan pemeriksaan, dan kami tidak bisa menemukan denyut jantung janinnya. Kebetulan dia sendiri dirujuk kemari oleh seorang paramedis dekat rumahnya, karena paramedis tersebut juga tidak bisa menemukan denyut jantung janinnya."
Sang wartawan manggut-manggut.
"Bagaimana cara mencari penyebab kematiannya, Dokter?"
"Dengan otopsi, Mbak," saya tersenyum manis.
Wah, si wartawan nampak kecewa. Di Indonesia mana ada orang mau anaknya diotopsi?
"Ibu yang melahirkannya di mana, Dok?"
"Sudah nggak di ruangan sini, Mbak."
"Tapi belum pulang kan, Dok?"
Saya tersenyum lagi. "Belum."
Sang wartawan nampak kebingungan mau nanya apa lagi. Saya sendiri ketir-ketir menebak-nebak pertanyaan selanjutnya.
"Err..tadi ada yang melahirkan kembar ya, Dok?" tanyanya lagi.
"Oh iya, betul," jawab saya parau. Itu juga pasien susah, sebetulnya.
"Bayinya masih di inkubator?"
"Hm..mungkin, bisa jadi."
"Kenapa ya Dok harus di inkubator?"
"Bayinya kan kecil-kecil tadi, Mbak. Itu lahir saja belum ada delapan bulan di kandungannya, jadi perlu ditolong inkubator.."
"Berapa lama ya Dok harus di inkubator?"
"Waduh, Mbak, saya tidak tahu. Bayi itu dirawat oleh dokter anak. Kalau saya ini bukan dokter anak, saya hanya berwenang merawat ibunya.."
"Ooh.." Sang wartawan nyoret-nyoret notesnya lagi. Beberapa kali ia nampak berhenti menulis, mikir, tapi semakin lama ia mewawancarai, pertanyaannya semakin nggak terarah.
"Sampeyan ini sebenarnya mau nyariin apa sih?" Lama-lama saya jadi penasaran.
"Saya nyari bayi-bayi yang lahir tanggal 11-12-13.." kata wartawannya ketawa.
Ya ampuuun! Saya tepok jidat. Kirain mau nyariin kesulitan menyelesaikan persalinan pada kehamilan yang sulit. Kirain mau nyariin kenapa ibu yang hamil dengan preeklampsia bisa mengakibatkan anaknya meninggal. Kirain mau nyariin kenapa ibu hamil kembar bisa melahirkan prematur. Kiraiiiinn..!
Ternyata wartawan ini cuman nyari kasus infotainment dalam medis.
"Sampeyan ini mau nyari ibu-ibu yang berbahagia melahirkan pada tanggal 11-12-13?"
"Iya, Dook.." Sang wartawan nyengir.
"Itu barusan ada dua orang yang melahirkan normal tuh.."
"Katanya ibunya nggak boleh ditemui, Dok.."
Saya memutar bola mata. Ya iyalah, kan masih dua jam pasca melahirkan, ya masih dalam pemulihan. Pasti masih dikarantina bidannya.
"Mereka masih dalam pemulihan."
"Saya sudah di sini semenjak tadi pagi. Hari ini bayi yang lahir ada lima kan, Dok?"
Wow, jagoan. Saya aja nggak ngitung hari ini menangani berapa pasien. Pasti hari ini dia tahu berapa yang lahir itu pakai operasi, berapa yang lahir sendiri.
"Tapi kira-kira hari ini pulang, Dok?"
"Mbak, kami nggak pernah pulangkan ibu-ibu yang belum 24 jam dari melahirkan."
Sang wartawan nampak lega. Nampaknya dia masih punya subjek menarik untuk diwawancarai.
Sang wartawan akhirnya nyatet nama-nama yang melahirkan hari ini. Saya tahu dia hanya akan dapet dua orang pasien untuk diwawancarai, karena tiga orang lainnya masih teler kena obat bius akibat operasi. Untung dua orang itu lahir normal, jadi kira-kira mereka masih bisa nampak bahagia waktu diinterogasi wartawan nanti.
Sang wartawan pamit ke saya dan bilang terima kasih. Ia sempat nanyain nama lengkap saya dan saya menolak dengan sopan. Dalam hati saya bersyukur dia nggak mengenali tampang saya. Situ ndak punya blog ya, Mbak?
*sok beken*
Kita ini memang lucu. Wartawan nanya kayak orang yang awam banget. Lha mereka kan memang nggak tahu. Dan dokter njawab kayak ngomong sama orang yang ngerti aja. Lha dikiranya orang-orang itu sudah tahu. Pantesan wartawan dan dokter sering nggak nyambung..
Powered by Telkomsel BlackBerry®