TB alias TBC, seperti
yang sudah saya tuliskan dua minggu lalu, adalah sakit paru yang punya ciri
batuk-batuk sampai dua minggu lebih dan gampang ditemukan di masyarakat sekitar
kita. TB ini sebenernya gampang ngobatinnya, cukup minum obat selama enam bulan
terus-menerus tanpa bolos. Yang terakhir ini, justru bagian yang paling sulit.
Ada banyak alasan kenapa
penderita TB di Indonesia susah sembuh:
“Minum obatnya kok lama
banget? Nggak bisakah saya minum obatnya tiga hari aja?”
“Saya takut minum obat.
Takut setelah minum obat itu saya jadi sakit perut!”
“Saya pernah dikasih tahu
kalau obat TB itu banyak banget yang harus diminum. Sangat tidak praktis!”
“Saya sudah pernah minum
itu selama sebulan. Suatu hari saya harus jaga dateng ke arisan kantor, padahal
obatnya habis. Saya terus dimarahin suster di dokter langganan, dan disuruh
ngulang obatnya lagi dari awal. Terus saya jadi jiper soalnya saya males
ngulang lagi..”
“Saya ogah ke dokter.
Ngantrenya panjang kayak uler ngantre beras.”
Tapi alasan yang paling
sering saya denger adalah, “Obatnya mahal.. Mending dipake beli makan anak di
rumah.”
Dengan setumpuk alasan
kayak gini, nggak heran kalau penderita TB di Indonesia adalah dua orang di
antara 1.000. Jumlah itu adalah jumlah orang yang ketemu Anda kalau Anda pergi
ke kondangan :D
Ini Kuman yang Istimewa
Kuman TB nggak seperti
kuman biasa. Nggak seperti kuman yang bikin ingus anak Anda jadi hijau kalau
dia sakit pilek. Nggak seperti kuman yang bikin Anda mencret-mencret saban kali
habis makan bakso yang dijual gerobaknya Pak Kumis.
Kuman TB adalah
Mycobacterium tuberculosis. Dia keok hanya jika dihajar obat tertentu selama
dua bulan, dan dia mati kalau obat itu terus-terusan menghajarnya selama empat
bulan berikutnya. Makanya butuh waktu enam
bulan untuk ngobatin TB.
Obat-obatan ini, namanya
rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid. Nggak ada di warung sebelah
rumah Anda. Kenapa? Karena ini obat canggih, maka Kementerian Kesehatan melarang obat-obatan ini
dijual sembarangan.
“Nggak bisakah saya minum
amoksisilin atau obat batuk hitam yang dijual Mpok Siti di warung sebelah
rumah?”
Kawan, kalau amoksisilin
atau OBH bisa mematikan Mycobacterium, pasti penyakit TB sudah punah dari
dulu-dulu.. :D
Obat TB harus diminum terus-menerus, supaya kuman yang sudah melemah tidak akan menguat kembali. Gambar diambil dari sini. |
Harus Terus-menerus
Saya ulang lagi: pola
Mycobacterium itu, setelah diobatin selama dua bulan secara terus-menerus maka
dia akan keok. Maksudnya keok ini, dia nggak bisa berkembang biak lebih banyak lagi
untuk menciptakan penyakit di dalam paru.
Masalah yang sering terjadi, setelah dua bulan, penderita ogah minum obat lagi karena badannya sudah terasa lebih enak. Munro (2007) bilang, kadang-kadang penderita merasa sudah nggak butuh obat lagi karena batuknya sudah nggak berdarah lagi. Hmm..penderitanya tertipu nih.
Bakteri yang sudah keok setelah minum obat dua bulan tidak berarti sudah tewas. Bakteri ini hanya berhenti tumbuh dan berkembang biak, sehingga jumlahnya tidak sebanyak sebelumnya. Tapi jumlah ini masih bisa aktif lagi. Jika obatnya dihentikan biarpun cuman bolos satu hari aja, Mycobacterium yang
sudah keok kemaren sore, bisa aktif lagi jika hari ini nggak dikasih obat.
Akibatnya obat-obatan yang sudah diminum sejak berhari-hari yang lalu pun jadi
mubazir.
Supaya kumannya keok
lagi, mau nggak mau ya obatnya harus diminum lagi. Sampai enam bulan. Secara
terus-menerus. Tidak boleh bolos. Kecuali kalau Anda mau kumannya kumat lagi di
tengah-tengahnya masa pengobatan. Mau?
Obatnya Banyak
Coba hitung obat-obat TB
yang saya sebut tadi. Ada empat kan? Itu harus diminum empat-empatnya. Nggak
bisa cuman milih salah satu aja. Ini bukan seperti milih empat macam mie
instant di supermarket dan Anda milih beli rasa kari ayam aja karena kebetulan
Anda cuman doyan rasa kari.
“Kalau saya sakit perut,
gimana?”
Halo..siapa yang bilang harus minum empat-empatnya sekaligus? Cicillah obatnya satu per satu. Menit ini telan
rifampisin. 15 menit lagi telan isoniazid. 15 menit kemudian, ambil etambutol.
15 menit berikutnya, minum pirazinamid. Nah, ketelan semuanya, kan?
Lagian, minum obat apapun
itu, jauh lebih baik kalau minumnya sesudah makan. Makanya, sebelum minum obat,
harus makan dulu sampek kenyang.
“Kalau obat pilnya
kecampur-campur, gimana?”
Pertanyaan bagus. Saya mengerti
nggak semua orang pintar menata laci obat dengan baik. Makanya di Indonesia ini
ada perusahaan-perusahaaan farmasi tertentu yang menjual obat TB dalam kemasan
satu pil saja. Pilnya besar, tapi di
dalam pilnya sudah tercakup rifampisin, isoniazid, etambutol, dan pirazinamid
sekaligus. Jadi Anda nggak perlu mengeja empat pil satu per satu.
Anda tinggal pilih, mau
minum keempat pilnya satu per satu, atau mau minum satu pil yang berisi empat
obat sekaligus?
Harus Kontrol
Sudah tahu kan obatnya
ada empat macam yang harus diminum? Dan Anda takut sakit perut? Jangan kuatir. Jangankan Anda yang sakit, dokternya saja yang nggak ikutan kena TB pun takut
Anda kena efek samping obat.
Turktas (1992) pernah bilang, obat rifampisin itu punya
efek samping mengganggu liver. Penderitanya nggak merasa apa-apa, tapi dokter
yang meraba perut Anda akan tahu ketika liver Anda mulai terganggu gara-gara
Anda minum obat. Dokter akan melakukan sesuatu untuk merevisi obatnya. Bisa
dengan mengurangi dosis, bisa dengan mengganti jenis obat, atau cara-cara
lainnya. Intinya, TB Anda akan tetap diobati meskipun mengalami efek samping
obat TB.
Dokter akan mengontrol Anda setiap bulan, untuk menentukan apakah penyakit sudah membaik, dan apakah obat yang diberikan tidak membahayakan penderitanya. Gambarnya diambil dari sini. |
Dan nggak semua dari keempat
obat itu harus diminum terus-terusan selama enam bulan. Setelah dua bulan minum
obat dan dokter memutuskan bahwa penderita mulai membaik, maka ragam obat pun
dikurangi sehingga cukup diminum dua
macam saja. (Obat yang dikurangi itu yang mana? Itu tergantung keputusan
dokternya setelah memeriksa tubuh Anda.) Waktu meminum juga direvisi, yang
semula harus minum tiap hari, bisa dikurangi dengan minum obat cukup dua hari
sekali, meskipun tetap nggak boleh bolos.
Dan bila Anda perempuan,
dan sedang minum pil KB lantaran sedang malas hamil, dokter akan tulis surat ke
bidan atau dokter kandungan supaya pil KB Anda distop. Karena rifampisin akan
menginterupsi kerja pil KB, sehingga jika minum obat TB, rahim Anda bisa
kebobolan.
Jadi, tinggalkan
kebiasaan sok tahu memotokopi resep dokter supaya kopiannya bisa ditebus ke
apotek berkali-kali. Obat yang Anda perlukan hari ini, belum tentu sama dengan
obat yang Anda perlukan sebulan yang lalu. Dan kalau Anda pergi ke dokter tapi dokternya
tidak pegang-pegang tubuh Anda, Anda harus protes. Anda kan bayar dokternya,
masak Anda nggak diperiksa sih?
Obat mahal. Tapi sakit Anda jauh lebih mahal.
Anda malas ngantre untuk
kontrol ke dokter? Carilah dokter yang pasiennya sepi. Dokter yang pasiennya
sepi akan punya lebih banyak waktu buat meladeni Anda daripada dokter yang
terburu-buru karena kejar setoran antrean pasien.
Anda malas bayar obat?
Berobatlah di Puskesmas. Obat TB itu gratis. Dan isinya sama saja dengan obat yang diresepkan dokter yang nggak praktek di Puskesmas.
Anda malas ngantre obat
gratisan di Puskesmas? Halo..minyak goreng yang lagi diobral di
hipermarket aja banyak yang ngantre, apalagi obat gratisan?
Sudah keren tapi sakit TB, apa gunanya? Gambar diambil dari sini. |
Coba Anda bayangkan kalau
TB Anda itu nggak diobatin. Lihat lagi tulisan saya di sini. Sudah pernah saya bilang bahwa
TB bisa menyebar sampai bikin mencret, bisa bikin sakit punggung, bisa bikin
mandul, bisa bikin koma. Bahkan yang cuman batuk-batuk TB pun lemas dan nggak
bisa kerja dengan nyaman. Berapa omzet Anda yang terlepas gara-gara waktu terima
orderan online shop ternyata Anda lagi demam dan nggak enak badan? Berapa kenaikan gaji Anda
yang batal Anda terima gara-gara Anda batal dipromosikan naik jabatan lantaran
bossnya risih melihat Anda sudah dua minggu batuknya nggak hilang-hilang? Berapa kali Anda nggak
diundang arisan panci gara-gara tetangga sungkan lihat Anda lemas melulu dan
nampak makin kurus?
Dan ini semua terjadi
cuman gegara Anda malas ngantre di dokter, sebulan sekali, selama enam bulan?