Saya akan bikin pengakuan jujur di sini.
Sebenernya..dulu saya kepingin sekolah di.. Bandung International School.
*ketawa ngakak kayak kesurupan*
Bukan, bukan karena saya ke-Barat-Barat-an. (Meskipun itu juga salah satu penyebab, meskipun cuman satu persen aja dari total penyebab.)
Bandung International School berada sekitar 25 menit perjalanan mobil dari rumah saya di Bandung. Waktu kecil, saya ingin sekolah di sana karena:
1. Bule kalo sekolah kan nggak pernah pake seragam. Dan saya bosen sama seragam merah putih saya.
2. Sekolah bule biasanya lebih banyak pelajaran kreatif, misalnya pelajaran Show and Tell (setidaknya begitulah yang saya liat di tivi-tivi, terutama di film Full House dan film Growing Pains.. Dooh!). Nggak kayak kurikulum sekolah negeri yang matok "semua-harus-sesuai-apa-kata-bu-guru".
3. Di sekolah bule nggak ada pelajaran bahasa Sunda. Pelajaran yang sama sekali gagal saya mengerti, karena saya kan orang Jawa..
4. Bandung International School punya lapangan sepakbola sungguhan. Bukan lapangan serbaguna yang bisa berfungsi sebagai lapangan basket, lapangan voli, lapangan senam pagi, lapangan upacara, dan lapangan parkir sekaligus. Meskipun saya nggak suka main bola, tapi rasanya keren bisa duduk di pinggir lapangan rumput sambil nyorakin temen sekelas yang lagi main bola (dan syukur-syukur kece dan mungkin mau ngajak saya kencan.. Whoeek.)
Tentu saja itu hanya impian berkarat. Pada kenyataannya saya tetap sekolah di sekolah negeri semenjak SD sampek kuliah. Saya akhirnya menerima kenyataan bahwa saya nggak bisa sekolah di Bandung International School karena:
1. Please deh..duit sekolah swasta itu mahal. Bokap saya lebih seneng nyekolahin saya di sekolah negeri dan menginvestasikan duitnya buat bawa saya jalan-jalan kalau liburan.
2. Tanpa bermaksud menyinggung teman-teman ekspatriat, ternyata anak-anak ekspatriat jarang yang diterima kuliah di fakultas kedokteran negeri (bisa jadi mereka memang nggak daftar UMPTN, tapi mereka daftar ke Harvard Medical School, hahahahah!)
3. Kalau ada lomba-lomba sains antar sekolah gitu, teman-teman dari Bandung International School jarang banget yang keliatan. (Mereka sih lebih sering nampak menang di lomba basket. Mungkin karena faktor tinggi badan. Halah.)
Tapi saya masih nyimpan mimpi ingin sekolah di tempat yang ada "bule"-nya. Nggak mesti kuliah di luar negeri sih. Tapi di perguruan yang murid-muridnya memang dari berbagai bangsa. Karena tujuan akhirnya agar saya bisa menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing manusia. (Ini sebetulnya pernah tercapai waktu saya kuliah, karena Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran juga punya murid asal Malaysia sekitar 30 orang. Tapi buat saya masih kurang "nyes". Saya kepingin sekelas sama orang Itali yang ngeyel nggak mau belajar bahasa Inggris, atau sama orang Yahudi yang suka bikin klub-klub belajar sok eksklusif, atau sama orang Perancis yang nggak mau mandi dua minggu tapi bisa bikin pesawat terbang..)
***
Jadi ketika kasus pelecehan seksual di Jakarta International School merebak ke media, saya tercengang mengamati trend reaksi media dan reaksi pembaca. Kalau dipikir-pikir, pemberitaan akhir-akhir ini hanya berkutat pada isu-isu cemen:
1. Sekolah internasional (yang lebih banyak warga ekspatriatnya ini) harus ditutup.
2. Sekolah yang banyak bulenya ini ternyata pelihara pedofil, dan pedofil ini menyamar menjadi cleaning service, atau lebih parah lagi, menjadi guru.
3. Sekolah TK internasional ini ternyata nggak punya ijin.
4. Daripada sekolah mahal-mahal di sekolah bule, mendingan sekolah di sekolah non-bule yang "miskin".
Sudah 15 tahun Departemen Penerangan ditutup, tapi media massa Indonesia masih gagal membuat pembaca Indonesia lebih kritis.
Pertanyaan:
1. Kenapa TK JIS harus ditutup? Karena nggak punya ijin atau karena piara pedofil?
2. Kalau ditutup karena nggak punya ijin, berapa jumlah TK di Indonesia yang harus ditutup? Atau gini ajalah, di kelurahan tempat Anda tinggal, memangnya semua TK di situ punya ijin? Ada sertifikatnya? Semua gurunya memang punya sertifikat ngajar PAUD?
3. Kok bisa TK JIS nggak tahu bahwa cleaning service mereka itu pedofil? Memangnya agen outsourcing-nya nggak bisa menyaring calon-calon tenaga kerjanya dari pedofil? Bukankah kalau melamar kerja harus ada psikotes dulu? Kan kalau di psikotes itu keliatan bila ada bakat-bakat pedofil/kriminal/psikopat?
4. Andai bener TK JIS ditutup, ke mana anak-anak ekspatriat itu sebaiknya bersekolah? Sekolah mana yang kompeten untuk ngajarin anak-anak berumur lima tahun ke bawah tentang cara bermain, cara berbahasa Indonesia yang sederhana, supaya mereka minimal bisa diterima di sekolah negeri, meskipun mereka berambut pirang dan bermata biru?
5. Sebetulnya tujuan TK itu apa sih? Untuk memberi latihan sekolah-sekolahan kepada anak-anak, atau supaya anak bisa diterima di SD? Kenapa harus ada Ditjen untuk PAUD segala? Dulu teman saya waktu SD ada lho yang nggak lewat TK dulu.
Media massa (dan pemirsa yang budiman) mestinya fokus terhadap kasus pelecehan seksualnya, bukan konsen ngejelek-jelekin JIS. Ada nggak yang ngubek-ngubek siapa tersangka yang jadi pedofil anak bule yang naas itu? Kenapa cleaning service itu sampek bisa jadi pedofil? Orang tuanya gimana, apakah orangtuanya nampak seperti orang baik-baik, rajin mengaji, atau memang doyan nyodomi anaknya sendiri?
Sudah berapa kali berita pedofilia di sekolah-sekolah itu nongol di media? Pedofil-pedofil yang menyamar menjadi guru (lebih parah lagi nyamar menjadi guru agama) itu selama ini dihukum atau dibiarkan bebas bersyarat? Apakah sekolah yang ternyata mempekerjakan guru pedofil itu sekarang sudah ditutup atau disuruh screening semua gurunya ke psikiater? (Di negara lain, pedofil dihukum penjara seumur hidup. Karena dianggap punya sakit jiwa yang membahayakan masyarakat. Ini masih mending. Jaman dulu, pedofil dihukum mati, alat kelaminnya dimutilasi dan ditaruh di tempat umum sampek dibiarkan membusuk untuk kasih pelajaran ke semua warga supaya baik-baik kalau ngajarin anak-anak mereka.)
Dan isu yang mestinya lebih penting, gimana caranya ngajarin anak kita supaya nggak sampek jadi korban pedofil? Karena sebetulnya nggak ada hujan kalau nggak ada mendung dulu. Anak yang mau disodomi di toilet pasti disekap dulu. Untuk disekap pasti anak itu akan melawan. Anak melawan karena dia membela diri. Anak membela diri karena merasa nggak senang diperlakukan begitu. Pertanyaannya, sudahkah kita mengajari anak untuk membela diri bila tidak diperlakukan dengan baik?
Apakah anak itu "tertipu" oleh perlakuan penjahatnya yang semula menyenangkannya? Penjahat yang mula-mula cuman mengelus-ngelus kepalanya si anak, lama-lama ngelus-ngelus aurat si anak, dan mengajari si anak bahwa ini merupakan permainan yang menyenangkan dan sebaiknya dirahasiakan? Sehingga boro-boro menolak, si anak malah merasa "ini oke-oke aja" dan nggak terpikir untuk bilang siapa-siapa.
Sebab yang rawan dilecehkan seksual bukan cuman anak bule yang sekolah di JIS, tetapi juga anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah biasa, yang nggak ada bulenya, yang SPP-nya gratisan, yang gurunya malah nggak bisa bahasa Inggris (tapi diam-diam punya kegemaran ngelus-ngelus aurat anak-anak). Tapi kalau anak-anak sudah diajarin pelajaran seks yang sederhana semenjak dini, mestinya dia bisa melindungi diri dari pelecehan seksual. (Salah satu cara mengajari pelajaran seks bisa dilihat di sini.)
Saya dikasih tahu teman. Salah satu cara mencegah anak untuk dijahatin adalah dengan mengajari mereka tentang integritas diri sendiri. Antara lain kalau mau melakukan sesuatu yang kira-kira mengeksploitasi mereka adalah dengan minta ijin dulu.
Cara sederhananya, misalnya kalau mau ngupload foto anak kita yang lucu itu ke Instagram, tanya anaknya dulu, boleh apa enggak. Coz ternyata banyak anak di dunia ini yang nggak suka fotonya diliat orang asing (padahal muka mereka kan lagi lucu-lucunya).
Dan saya jadi terenyuh karena tadi pagi saya lihat teman saya mamerin foto anaknya yang lagi berendam di bak mandi dan baru umur setahun. Saya penasaran apakah kalau besar nanti dia senang bahwa dunia sudah tahu seperti apa dia ketika dia telanjang. Iya sih, buat kebanyakan orang, dia memang lucu, namanya juga bayi. Tapi mungkin, buat sebagian orang, dia bukan anak yang lucu, tapi lebih jadi "obyek".
Kasihan murid-murid TK JIS itu. Gara-gara nggak tukang sapu sekolahnya rada gatelan, sekarang mereka dipaksa libur di rumah.
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com
Sebenernya..dulu saya kepingin sekolah di.. Bandung International School.
*ketawa ngakak kayak kesurupan*
Bukan, bukan karena saya ke-Barat-Barat-an. (Meskipun itu juga salah satu penyebab, meskipun cuman satu persen aja dari total penyebab.)
Bandung International School berada sekitar 25 menit perjalanan mobil dari rumah saya di Bandung. Waktu kecil, saya ingin sekolah di sana karena:
1. Bule kalo sekolah kan nggak pernah pake seragam. Dan saya bosen sama seragam merah putih saya.
2. Sekolah bule biasanya lebih banyak pelajaran kreatif, misalnya pelajaran Show and Tell (setidaknya begitulah yang saya liat di tivi-tivi, terutama di film Full House dan film Growing Pains.. Dooh!). Nggak kayak kurikulum sekolah negeri yang matok "semua-harus-sesuai-apa-kata-bu-guru".
3. Di sekolah bule nggak ada pelajaran bahasa Sunda. Pelajaran yang sama sekali gagal saya mengerti, karena saya kan orang Jawa..
4. Bandung International School punya lapangan sepakbola sungguhan. Bukan lapangan serbaguna yang bisa berfungsi sebagai lapangan basket, lapangan voli, lapangan senam pagi, lapangan upacara, dan lapangan parkir sekaligus. Meskipun saya nggak suka main bola, tapi rasanya keren bisa duduk di pinggir lapangan rumput sambil nyorakin temen sekelas yang lagi main bola (dan syukur-syukur kece dan mungkin mau ngajak saya kencan.. Whoeek.)
Tentu saja itu hanya impian berkarat. Pada kenyataannya saya tetap sekolah di sekolah negeri semenjak SD sampek kuliah. Saya akhirnya menerima kenyataan bahwa saya nggak bisa sekolah di Bandung International School karena:
1. Please deh..duit sekolah swasta itu mahal. Bokap saya lebih seneng nyekolahin saya di sekolah negeri dan menginvestasikan duitnya buat bawa saya jalan-jalan kalau liburan.
2. Tanpa bermaksud menyinggung teman-teman ekspatriat, ternyata anak-anak ekspatriat jarang yang diterima kuliah di fakultas kedokteran negeri (bisa jadi mereka memang nggak daftar UMPTN, tapi mereka daftar ke Harvard Medical School, hahahahah!)
3. Kalau ada lomba-lomba sains antar sekolah gitu, teman-teman dari Bandung International School jarang banget yang keliatan. (Mereka sih lebih sering nampak menang di lomba basket. Mungkin karena faktor tinggi badan. Halah.)
Tapi saya masih nyimpan mimpi ingin sekolah di tempat yang ada "bule"-nya. Nggak mesti kuliah di luar negeri sih. Tapi di perguruan yang murid-muridnya memang dari berbagai bangsa. Karena tujuan akhirnya agar saya bisa menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing manusia. (Ini sebetulnya pernah tercapai waktu saya kuliah, karena Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran juga punya murid asal Malaysia sekitar 30 orang. Tapi buat saya masih kurang "nyes". Saya kepingin sekelas sama orang Itali yang ngeyel nggak mau belajar bahasa Inggris, atau sama orang Yahudi yang suka bikin klub-klub belajar sok eksklusif, atau sama orang Perancis yang nggak mau mandi dua minggu tapi bisa bikin pesawat terbang..)
***
Jadi ketika kasus pelecehan seksual di Jakarta International School merebak ke media, saya tercengang mengamati trend reaksi media dan reaksi pembaca. Kalau dipikir-pikir, pemberitaan akhir-akhir ini hanya berkutat pada isu-isu cemen:
1. Sekolah internasional (yang lebih banyak warga ekspatriatnya ini) harus ditutup.
2. Sekolah yang banyak bulenya ini ternyata pelihara pedofil, dan pedofil ini menyamar menjadi cleaning service, atau lebih parah lagi, menjadi guru.
3. Sekolah TK internasional ini ternyata nggak punya ijin.
4. Daripada sekolah mahal-mahal di sekolah bule, mendingan sekolah di sekolah non-bule yang "miskin".
Sudah 15 tahun Departemen Penerangan ditutup, tapi media massa Indonesia masih gagal membuat pembaca Indonesia lebih kritis.
Pertanyaan:
1. Kenapa TK JIS harus ditutup? Karena nggak punya ijin atau karena piara pedofil?
2. Kalau ditutup karena nggak punya ijin, berapa jumlah TK di Indonesia yang harus ditutup? Atau gini ajalah, di kelurahan tempat Anda tinggal, memangnya semua TK di situ punya ijin? Ada sertifikatnya? Semua gurunya memang punya sertifikat ngajar PAUD?
3. Kok bisa TK JIS nggak tahu bahwa cleaning service mereka itu pedofil? Memangnya agen outsourcing-nya nggak bisa menyaring calon-calon tenaga kerjanya dari pedofil? Bukankah kalau melamar kerja harus ada psikotes dulu? Kan kalau di psikotes itu keliatan bila ada bakat-bakat pedofil/kriminal/psikopat?
4. Andai bener TK JIS ditutup, ke mana anak-anak ekspatriat itu sebaiknya bersekolah? Sekolah mana yang kompeten untuk ngajarin anak-anak berumur lima tahun ke bawah tentang cara bermain, cara berbahasa Indonesia yang sederhana, supaya mereka minimal bisa diterima di sekolah negeri, meskipun mereka berambut pirang dan bermata biru?
5. Sebetulnya tujuan TK itu apa sih? Untuk memberi latihan sekolah-sekolahan kepada anak-anak, atau supaya anak bisa diterima di SD? Kenapa harus ada Ditjen untuk PAUD segala? Dulu teman saya waktu SD ada lho yang nggak lewat TK dulu.
Media massa (dan pemirsa yang budiman) mestinya fokus terhadap kasus pelecehan seksualnya, bukan konsen ngejelek-jelekin JIS. Ada nggak yang ngubek-ngubek siapa tersangka yang jadi pedofil anak bule yang naas itu? Kenapa cleaning service itu sampek bisa jadi pedofil? Orang tuanya gimana, apakah orangtuanya nampak seperti orang baik-baik, rajin mengaji, atau memang doyan nyodomi anaknya sendiri?
Sudah berapa kali berita pedofilia di sekolah-sekolah itu nongol di media? Pedofil-pedofil yang menyamar menjadi guru (lebih parah lagi nyamar menjadi guru agama) itu selama ini dihukum atau dibiarkan bebas bersyarat? Apakah sekolah yang ternyata mempekerjakan guru pedofil itu sekarang sudah ditutup atau disuruh screening semua gurunya ke psikiater? (Di negara lain, pedofil dihukum penjara seumur hidup. Karena dianggap punya sakit jiwa yang membahayakan masyarakat. Ini masih mending. Jaman dulu, pedofil dihukum mati, alat kelaminnya dimutilasi dan ditaruh di tempat umum sampek dibiarkan membusuk untuk kasih pelajaran ke semua warga supaya baik-baik kalau ngajarin anak-anak mereka.)
Dan isu yang mestinya lebih penting, gimana caranya ngajarin anak kita supaya nggak sampek jadi korban pedofil? Karena sebetulnya nggak ada hujan kalau nggak ada mendung dulu. Anak yang mau disodomi di toilet pasti disekap dulu. Untuk disekap pasti anak itu akan melawan. Anak melawan karena dia membela diri. Anak membela diri karena merasa nggak senang diperlakukan begitu. Pertanyaannya, sudahkah kita mengajari anak untuk membela diri bila tidak diperlakukan dengan baik?
Apakah anak itu "tertipu" oleh perlakuan penjahatnya yang semula menyenangkannya? Penjahat yang mula-mula cuman mengelus-ngelus kepalanya si anak, lama-lama ngelus-ngelus aurat si anak, dan mengajari si anak bahwa ini merupakan permainan yang menyenangkan dan sebaiknya dirahasiakan? Sehingga boro-boro menolak, si anak malah merasa "ini oke-oke aja" dan nggak terpikir untuk bilang siapa-siapa.
Sebab yang rawan dilecehkan seksual bukan cuman anak bule yang sekolah di JIS, tetapi juga anak-anak Indonesia yang belajar di sekolah biasa, yang nggak ada bulenya, yang SPP-nya gratisan, yang gurunya malah nggak bisa bahasa Inggris (tapi diam-diam punya kegemaran ngelus-ngelus aurat anak-anak). Tapi kalau anak-anak sudah diajarin pelajaran seks yang sederhana semenjak dini, mestinya dia bisa melindungi diri dari pelecehan seksual. (Salah satu cara mengajari pelajaran seks bisa dilihat di sini.)
Saya dikasih tahu teman. Salah satu cara mencegah anak untuk dijahatin adalah dengan mengajari mereka tentang integritas diri sendiri. Antara lain kalau mau melakukan sesuatu yang kira-kira mengeksploitasi mereka adalah dengan minta ijin dulu.
Cara sederhananya, misalnya kalau mau ngupload foto anak kita yang lucu itu ke Instagram, tanya anaknya dulu, boleh apa enggak. Coz ternyata banyak anak di dunia ini yang nggak suka fotonya diliat orang asing (padahal muka mereka kan lagi lucu-lucunya).
Dan saya jadi terenyuh karena tadi pagi saya lihat teman saya mamerin foto anaknya yang lagi berendam di bak mandi dan baru umur setahun. Saya penasaran apakah kalau besar nanti dia senang bahwa dunia sudah tahu seperti apa dia ketika dia telanjang. Iya sih, buat kebanyakan orang, dia memang lucu, namanya juga bayi. Tapi mungkin, buat sebagian orang, dia bukan anak yang lucu, tapi lebih jadi "obyek".
Kasihan murid-murid TK JIS itu. Gara-gara nggak tukang sapu sekolahnya rada gatelan, sekarang mereka dipaksa libur di rumah.
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com