Ayah mertua saya lagi
seneng-senengnya bersihin rumah. Dos-q manggil seorang tukang bersih-bersih
buat ngelapin lampu-lampu chandelier yang ada di rumah pus ngelap
jendela-jendela rumah yang tinggi-tinggi itu. Termasuk lampu chandelier di
ruang duduk dekat kamar saya. Debu dari lampu itu beterbangan ke seluruh
ruangan, mengilhami ayah mertua saya buat nyuruh saya bersihin ruang duduk itu.
Saya sebetulnya rada
nggak mufakat dengan mertua saya mengenai konsep bersih-bersih. Di kepala saya
dan my hunk, bersih-bersih artinya mengatur ulang perabotan, membuang barang
yang nggak terpakai, baru nyapu dan ngepel. Ibu mertua saya nggak setuju dengan
konsep membuang barang itu, coz menurutnya barang itu harus disimpan untuk
digunakan lagi suatu hari nanti. Persoalannya definisi “suatu hari nanti” itu
nggak jelas, bisa minggu depan, bisa bulan depan, bisa tahun depan, atau
mungkin nanti kalau udah kiamat. Nggak heran rumah ibu mertua saya yang saya
tumpangin jadi penuh dengan barang-barang yang nggak terpakai dan berdebu, dan
bikin ayah mertua saya jadi gerah.
Saya sendiri sudah nyerah
dengan urusan bersih-bersih ini, coz topik bersih-bersih hampir selalu mengarah
kepada konflik mantu-mertua yang bisa bikin hati saya baret-baret. Alhasil
semenjak married sampek sekarang ruang duduk tempat saya dan my hunk biasa
bercengkerama terpaksa berfungsi sekaligus jadi gudang. Saya sendiri males
ngundang tamu ke rumah, coz saya tengsin kalau tamu lihat ruang duduk itu mirip
gudang berdebu. Saya nggak berani beresinnya, lha yang menuh-menuhin itu
barang-barangnya ibu mertua saya semua. Makanya saya lagi getol-getolnya
investasi, supaya saya bisa beli tempat tinggal sendiri yang minimalis dari tumpukan
barang berdebu (milik mertua saya).
Sampek kemaren akhirnya
ayah mertua saya bilang sama saya. Minta supaya saya rapiin barang-barang di
depan tivi. Saya bilang itu kan punya ayah ibu mertua saya, saya nggak berani.
Tapi ayah mertua ngeyel minta saya rapiin. Saya cuman manggut-manggut. Ya
namanya mantu numpang ya kudu manut.
Sudut kesayangan, penuh foto saya dan my hunk. Yang belom tinggal foto anak saya nih.. :-D |
Begitu dus itu
tersingkirkan, saya baru ngeh bahwa ternyata selama ini di balik dus-dus itu
ada laci. Saya buka laci itu dan nemu rongsokan-rongsokan barang yang nggak
terpakai. Saya bilang sama my hunk, kalau dos-q bersedia men-defrag ulang itu
laci, dos-q bakalan punya space baru buat aset-aset toko komputernya. My hunk
akhirnya men-defrag laci itu, dan memutuskan bahwa hampir seisi laci itu nggak
berguna dan akhirnya selaci itu dos-q buang ke tempat sampah. Begitu kosong,
laci itu diisinya dengan barang-barang aset tokonya, kayak dokumen bisnis,
dokumen dari relasinya, dan lain-lain. Saya menghela nafas lega karena selama
ini dos-q taruh barang-barang itu di lantai doang, saking kita nggak punya
perabot.
Saya akhirnya bisa
melihat sekeliling ruangan itu dengan jelas dan memutuskan bahwa kalau saya mau
memanfaatkan setiap space, saya bisa simpan barang di tempat yang aman dari
debu tanpa harus menggeletakkannya di lantai. Saya dan my hunk akhirnya
mengorganisir tiap barang, memilah-milah mana yang buat bisnis, mana yang buat
hobi, mana yang buat kulineran, mana yang buat dipajang doang. Beberapa barang
yang nggak diperlukan akhirnya kami buang, dan itu perlu kerelaan untuk
memutuskan mana yang betul-betul akan kita pake dan mana yang sudah lama kami
miliki tapi nggak kami pake-pake. Akhirnya, hasil setelah bersih-bersih itu:
1)
Kami punya
tambahan space di meja pajangan buat naruh sarung, mukena dan sajadah. Kami
bisa sholat di ruang duduk itu, dan rasanya lebih lebar daripada sholat di
kamar J.
2)
Mungkin kalau
nanti kami punya anak, kami bisa pasang karpet abjad di ruang duduk itu buat
tempat main anak kami J
3)
Kami punya
meja pajang yang lebih luas, dan sekarang kami bisa menyimpan souvenir-souvenir
cantik yang selama ini cuman kami kekep di dalam lemari. Sebelumnya meja itu
dipake buat memajang dispenser. Padahal dispensernya mati, nggak dipake :-p
4)
Kami punya
space di bawah meja pajangan buat simpan majalah-majalah baru yang sering kami
baca. Selama ini majalahnya kami simpan di lemari. Saking disimpan, majalah itu
nggak kelihatan, jadi kami malah lupa bacanya :-p
5)
Sofa yang
tanpa sandaran itu sekarang bisa jadi tempat duduk sungguhan. Selama ini
sofanya kami pakai buat naruh tas yang nggak terpakai. Sekarang tasnya saya
tata di pojokan ruangan. Karena memang sofa itu sebetulnya buat duduk, bukan
buat naruh barang :-p
So, moral of the post is:
Kita kadang-kadang merasa
rumah kita terlalu sempit, karena rumah kita yang memang ukurannya kecil. Sebetulnya
solusinya simpel. Kalau nggak mau sempit, ya jangan beli barang. Kalau mau beli
barang, pikirkan di mana nyimpan barangnya supaya barang itu nggak menghalangi
ruang gerak kita di rumah. Harus rela move on, ngeliat ke depan, artinya kalau
barang itu udah lama nggak dipake, mending dikasihin ke tukang sampah ketimbang
menuh-menuhin rumah. Dan jangan membuang space sedikit pun, manfaatkan space
untuk simpan barang, supaya ruang gerak kita di rumah itu semakin luas. Kalau
katanya penata interior di acara bedah rumah yang saya tonton di MTV:
Every inch of space is useful.