Friday, June 27, 2014

Defrag Ulang Ruangan

Ayah mertua saya lagi seneng-senengnya bersihin rumah. Dos-q manggil seorang tukang bersih-bersih buat ngelapin lampu-lampu chandelier yang ada di rumah pus ngelap jendela-jendela rumah yang tinggi-tinggi itu. Termasuk lampu chandelier di ruang duduk dekat kamar saya. Debu dari lampu itu beterbangan ke seluruh ruangan, mengilhami ayah mertua saya buat nyuruh saya bersihin ruang duduk itu.

Saya sebetulnya rada nggak mufakat dengan mertua saya mengenai konsep bersih-bersih. Di kepala saya dan my hunk, bersih-bersih artinya mengatur ulang perabotan, membuang barang yang nggak terpakai, baru nyapu dan ngepel. Ibu mertua saya nggak setuju dengan konsep membuang barang itu, coz menurutnya barang itu harus disimpan untuk digunakan lagi suatu hari nanti. Persoalannya definisi “suatu hari nanti” itu nggak jelas, bisa minggu depan, bisa bulan depan, bisa tahun depan, atau mungkin nanti kalau udah kiamat. Nggak heran rumah ibu mertua saya yang saya tumpangin jadi penuh dengan barang-barang yang nggak terpakai dan berdebu, dan bikin ayah mertua saya jadi gerah.

Saya sendiri sudah nyerah dengan urusan bersih-bersih ini, coz topik bersih-bersih hampir selalu mengarah kepada konflik mantu-mertua yang bisa bikin hati saya baret-baret. Alhasil semenjak married sampek sekarang ruang duduk tempat saya dan my hunk biasa bercengkerama terpaksa berfungsi sekaligus jadi gudang. Saya sendiri males ngundang tamu ke rumah, coz saya tengsin kalau tamu lihat ruang duduk itu mirip gudang berdebu. Saya nggak berani beresinnya, lha yang menuh-menuhin itu barang-barangnya ibu mertua saya semua. Makanya saya lagi getol-getolnya investasi, supaya saya bisa beli tempat tinggal sendiri yang minimalis dari tumpukan barang berdebu (milik mertua saya).

Sampek kemaren akhirnya ayah mertua saya bilang sama saya. Minta supaya saya rapiin barang-barang di depan tivi. Saya bilang itu kan punya ayah ibu mertua saya, saya nggak berani. Tapi ayah mertua ngeyel minta saya rapiin. Saya cuman manggut-manggut. Ya namanya mantu numpang ya kudu manut.

Sudut kesayangan, penuh foto saya dan my hunk.
Yang belom tinggal foto anak saya nih.. :-D
Saya akhirnya ambil kemoceng dan mulai nyapu debu yang ngelingkupin barang-barang ibu mertua saya itu. Barang-barang itu umumnya berupa dus, dus, dan dus. Saya ngintip isi salah satu dusnya, lalu melongo. Ya ampun, ini diner set. Tahu kan, yang satu dus isinya piring + cangkir itu. Saya buka dus yang lain, ya ampun, ini diner set juga. Lalu dus lainnya, ternyata isinya vacuum cleaner. Semuanya masih baru, kayak nggak pernah dibuka. Saya tepok jidat.
My hunk angkut dus-dus itu ke kamar tidur kakaknya yang kosong. (Kakaknya tidak tinggal di situ lagi semenjak menikah 10 tahun yang lalu.)

Begitu dus itu tersingkirkan, saya baru ngeh bahwa ternyata selama ini di balik dus-dus itu ada laci. Saya buka laci itu dan nemu rongsokan-rongsokan barang yang nggak terpakai. Saya bilang sama my hunk, kalau dos-q bersedia men-defrag ulang itu laci, dos-q bakalan punya space baru buat aset-aset toko komputernya. My hunk akhirnya men-defrag laci itu, dan memutuskan bahwa hampir seisi laci itu nggak berguna dan akhirnya selaci itu dos-q buang ke tempat sampah. Begitu kosong, laci itu diisinya dengan barang-barang aset tokonya, kayak dokumen bisnis, dokumen dari relasinya, dan lain-lain. Saya menghela nafas lega karena selama ini dos-q taruh barang-barang itu di lantai doang, saking kita nggak punya perabot.

Saya akhirnya bisa melihat sekeliling ruangan itu dengan jelas dan memutuskan bahwa kalau saya mau memanfaatkan setiap space, saya bisa simpan barang di tempat yang aman dari debu tanpa harus menggeletakkannya di lantai. Saya dan my hunk akhirnya mengorganisir tiap barang, memilah-milah mana yang buat bisnis, mana yang buat hobi, mana yang buat kulineran, mana yang buat dipajang doang. Beberapa barang yang nggak diperlukan akhirnya kami buang, dan itu perlu kerelaan untuk memutuskan mana yang betul-betul akan kita pake dan mana yang sudah lama kami miliki tapi nggak kami pake-pake. Akhirnya, hasil setelah bersih-bersih itu:

1)    Kami punya tambahan space di meja pajangan buat naruh sarung, mukena dan sajadah. Kami bisa sholat di ruang duduk itu, dan rasanya lebih lebar daripada sholat di kamar J.
2)    Mungkin kalau nanti kami punya anak, kami bisa pasang karpet abjad di ruang duduk itu buat tempat main anak kami J
3)    Kami punya meja pajang yang lebih luas, dan sekarang kami bisa menyimpan souvenir-souvenir cantik yang selama ini cuman kami kekep di dalam lemari. Sebelumnya meja itu dipake buat memajang dispenser. Padahal dispensernya mati, nggak dipake :-p
4)    Kami punya space di bawah meja pajangan buat simpan majalah-majalah baru yang sering kami baca. Selama ini majalahnya kami simpan di lemari. Saking disimpan, majalah itu nggak kelihatan, jadi kami malah lupa bacanya :-p
5)    Sofa yang tanpa sandaran itu sekarang bisa jadi tempat duduk sungguhan. Selama ini sofanya kami pakai buat naruh tas yang nggak terpakai. Sekarang tasnya saya tata di pojokan ruangan. Karena memang sofa itu sebetulnya buat duduk, bukan buat naruh barang :-p

So, moral of the post is:

Kita kadang-kadang merasa rumah kita terlalu sempit, karena rumah kita yang memang ukurannya kecil. Sebetulnya solusinya simpel. Kalau nggak mau sempit, ya jangan beli barang. Kalau mau beli barang, pikirkan di mana nyimpan barangnya supaya barang itu nggak menghalangi ruang gerak kita di rumah. Harus rela move on, ngeliat ke depan, artinya kalau barang itu udah lama nggak dipake, mending dikasihin ke tukang sampah ketimbang menuh-menuhin rumah. Dan jangan membuang space sedikit pun, manfaatkan space untuk simpan barang, supaya ruang gerak kita di rumah itu semakin luas. Kalau katanya penata interior di acara bedah rumah yang saya tonton di MTV: 

Every inch of space is useful.