Thursday, August 14, 2014

Ketika Bensin Naik

Suatu hari saya kebelet kepingin ke sebuah pusat pertokoan di kawasan Pengampon. Ada yang saya kepingin beli, dan saya merasa harga yang murah di Surabaya bisa saya dapatkan di area itu. My hunk mau nganter, tapi mobil lagi dipakai sama mertua saya. Saya, yang keinginannya nggak bisa dihambat oleh ketidakadaan mobil, milih naik bemo.

Dari rumah saya berjalan kaki sekitar 200 meter ke tempat bemo biasa lewat, pakai payung biar nggak panas. My hunk jalan di samping saya, nggak mau pakai payung. Bemo nongol dalam tempo lima menit setelah kami ngetem di pinggir jalan.

Kami terpaksa turun di kawasan Ambengan, karena bemo yang kami tumpangin nggak lewat Pengampon. Di Ambengan itu, kami oper ke bemo lainnya, dan dengan bemo kedua ini kami sampai di Pengampon.

Total perjalanan dengan bemo kira-kira 45 menit, jarak sekitar 10 km. Sebetulnya nggak perlu selama itu, karena itu termasuk 15 menit ngetem di Ambengan lantaran bemonya yang kedua itu lama datengnya.

Pulangnya, saya sempat rada kebingungan karena nggak tahu cara naik bemo dari Pengampon ke rumah. Seorang tukang becak akhirnya mengajari saya bahwa saya harus ngetem di sebuah pengkolan supaya saya dapet bemo yang sekali jalan langsung menuju rumah mertua saya.

Hari itu, saya nggak cuman senang coz saya dapet hampir semua item yang ada di dalam daftar things-to-buy saya. Tapi yang lebih penting lagi adalah saya tahu gimana cara naik angkutan umum dari rumah ke tempat belanja kesukaan saya. Duit yang semula saya alokasikan buat naik taksi, bisa saya pakai untuk senang-senang, misalnya buat beli Baskin Robbins.

Tapi pada saat yang sama, saya juga jadi agak sedih karena sadar ada orang yang nggak seberuntung saya. Saya punya tetangga-tetangga yang tinggal di blok lain, yang mana lebih jauh lagi posisi rumahnya dari tempat ngetem bemo. Kalau mereka maksakan diri naik bemo, mereka bisa jalan kaki sampek 500 meter, dan menurut saya itu terlalu jauh. Beginilah masalah perkotaan di Surabaya, jumlah kendaraan umumnya kurang memadai, trotoarnya kurang bagus buat pemakai high heels, dan jumlah pohon di pinggir jalan kurang banyak.

Tidak heran orang-orang di Surabaya punya ketergantungan tinggi terhadap taksi. Atau pada kendaraan pribadi.



Kita bisa aja gampang ngomong, "Makanya tho, harus punya sepeda motor.'

Tapi motor kan butuh bensin. Berapa persen anggaran yang bisa dipake seseorang buat makan Baskin Robbins malah berkurang karena dipakai buat bayar bensin motornya?

Jadi ketika Pemerintah berencana mau menghapuskan BBM subsidi, saya bisa mengerti kenapa orang-orang protes. Maka harga bensin akan naik. Yang akan jadi korban pertama-tama adalah orang-orang yang letak rumahnya 500 meter dari tempat ngetem bemo. Mereka akan dipaksa memilih, mau beli bensin yang harganya naik, atau mau beli sepatu yang enak supaya nggak pegel waktu jalan ke tempat ngetem bemo?

Persoalan ini akan lebih gampang solusinya jika:
1) ada kendaraan umum kecil-kecilan sejenis keor yang bisa masuk ke kompleks perumahan untuk bisa mengoper warga ke jalan raya yang dilintasi bemo
2) setiap orang mau menginvestasikan uangnya pada sepatu yang mutunya bagus dan nggak rusak kalau dipake jalan jauh di trotoar yang jelek
3) Dinas Pekerjaan Umum nggak korupsi semen dan mau bikin trotoar yang bersahabat buat pejalan kaki
4) tiap orang bersedia pakai payung supaya nggak takut kepanasan (lirik suami yang ogah-ogahan payungan bareng)
5) bemo diperbanyak supaya bisa nongol di tempat ngetem lima menit sekali
6) setiap orang bersedia naik kendaraan umum

Karena percaya deh, saat kita bisa mengirit anggaran untuk transpor, maka kita bisa mengalokasikan anggaran itu buat senang-senang, misalnya untuk makan es krim, main bowling, atau mandiin anjing kesayangan di salon..
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com