Beberapa hari yang lalu saya dikirimin kabar hasil IPK adek saya yang kuliah arsitek. Nilainya bagus, rata-rata 3. Kepadanya saya bilang nilainya bagus. Saya yakin dia akan gampang dapet pekerjaan kalau sudah lulus nanti.
Jujur aja, saya cuman berusaha terdengar menyenangkan.
Anak-anak yang lagi belajar S1 seringkali mendedikasikan waktunya untuk ngejar-ngejar IPK bagus. Sepertinya mereka bangga sekali kalau bisa lulus cum laude.
Yang saya penasaran, mereka mau mengejar kebanggaan IPK itu buat siapa? Buat orang tua mereka? Atau buat diri mereka sendiri? Atau buat orang lain?
Kalau buat orang tua, sepertinya wajar, soalnya kan orang tuanya yang bayarin kuliahnya. Tapi kalau buat diri mereka sendiri? Mungkin kepuasan akan terbit, tapi saya nggak yakin rasa puas itu akan permanen. Ketika mereka sudah menginjak lapangan pekerjaan, dengan segera kepuasan itu akan hilang karena ternyata IPK tidak mampu membereskan masalah-masalah baru mereka, seperti katakanlah, menghadapi klien yang sulit, boss yang pemaksa, dan sejawat yang tukang nikam dari belakang.
Karena pada saat nanti berurusan dengan klien, dalam bidang pekerjaan apapun, nggak ada itu klien nanya, "Mas, dulu waktu kuliah IPK-nya berapa?"
Waktu melamar pekerjaan atau promosi, (calon) boss nanti nanyanya pasti, "Sebelum ini pengalaman kerja di mana?" Bukan tanya IPK berapa.
Apa lagi kalau mau ketemu calon suami/istri, nggak ada itu calon mertua nanya IPK berapa. Saya aja dulu waktu ditanyain calon mertua yang kini jadi mertua saya sekarang, yang pertama kali ditanyain adalah, "Bisa bahasa Jawa?"
Karena saya kelamaan tinggal di Bandung dan sepertinya mata saya sipit, wkwkwkwk..
Kalau menurut saya sih, mereka yang berhasil bertahan hidup adalah mereka yang selama ini berhasil menjual, terutama menjual kepintaran otak mereka. Kepintaran otak mereka itu yang bisa meliputi macam-macam, misalnya kepintaran memecahkan masalah berdasarkan rumus-rumus logika, kepintaran merayu orang, sampai kepintaran memanipulasi produk yang biasa-biasa aja menjadi produk yang nampak luar biasa. Peran IPK dalam kepintaran otak ini, terus terang aja, tidak seberapa besar. Bagaimanapun IPK itu hanya sederetan angka, apalagi kalau angka itu tidak mengandung pelajaran spiritual.
Jangan sedih, mahasiswa-mahasiswa IPK nasakom (nasib satu koma). Mungkin kalian tidak ditakdirkan untuk bekerja di perusahaan bagus. Tapi bisa jadi, kalian ditakdirkan untuk bikin usaha sendiri dan jadi boss untuk banyak orang.