Lalu salah satu penonton di belakang bangku saya, seorang dokter entah dari Puskesmas manaa gitu, mengacungkan jarinya. "Prof, pertanyaan pertama saya, bagaimana membedakan asma dengan pneumonia? Lalu, yang kedua, saya pernah dengar bahwa daun katuk bisa digunakan untuk mengobati asma. Bagaimana caranya, Prof?"
Profesor menjawab pertanyaan pertama dengan jawaban panjang kali lebar sepanjang tiga menit (saya kok iseng banget ngitung ya waktu itu).
Lalu pertanyaan kedua dijawab singkat, "Maaf, saya belum baca itu."
Sewaktu itu saya terhenyak dengan sikap Profesor yang dengan gamblang berkata, "Saya belum baca."
Padahal semua orang juga tahu, saya yakin Profesor juga tahu, bahwa daun katuk nggak akan bisa dipakai untuk ngobatin asma. Tapi dos-q memilih untuk berujar saya-belum-baca.
Artinya dos-q memilih untuk jujur. Tidak sok tahu dengan berkata, "Daun katuk tidak bisa mengobati asma."
Karena sebenarnya memang kemungkinannya dua macam:
1. Mungkin daun katuk memang nggak bisa dipake ngobatin asma. Apa yang kauharapkan, daunnya kaukunyah lalu bengekmu hilang, begitu?
2. Mungkin daun katuk sebetulnya bisa dipake buat ngobatin asma, tapi sampai sekarang belum ada yang berani mencobakannya sebagai obat. Karena belum ada orang bengek yang sudi dipakai sebagai percobaan untuk mengunyah daun.
Dan itu juga seperti memberi tahu saya sebagai penonton, Hey Dok, kalau kau nggak tahu, jawab saja kau tidak tahu. Daripada mencelakai orang lain padahal kau tidak tahu benar apa yang kaukatakan.
Ini juga untuk menjawab komentar salah satu postingan saya bulan lalu, waktu itu salah satu jemaah blog saya berkomentar gini, "hmm, aneh sih, dokter kan seharusnya "paling tau" hehehe :D"
Saya adalah orang iseng yang menjawab komentar dengan menulis artikel baru, hihihi :D
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com