Sudah musim ujian. Orang-orang tua mulai kebat-kebit hatinya nganterin anak-anaknya ke tempat ujian masuk perguruan tinggi. Pekan ini di sebuah kampus kecil di Jawa, gempar gara-gara beberapa orang tertangkap lantaran jadi joki untuk ujian masuk kampus sana. Ditengarai remaja calon mahasiswa baru yang dijokiin itu lagi digadang-gadang buat masuk fakultas kedokteran. Dan yang mbayarin jokinya itu orang tua si calon itu. Saya ngakak waktu denger kabar itu. Segitunya kepingin anaknya masuk sarang beludak. Padahal, saya nggak bermaksud menghina, tapi kampus yang dijokiin itu juga kualitas mengajarnya juga nggak bagus-bagus amat.
***
Jarang dokter bercerita tentang perjalanan kariernya sendiri, karena mereka nggak punya waktu untuk mengoceh tentang itu, atau karena mereka sendiri bukan pencerita yang baik. Orang yang bukan dokter cuman melihat dari luar doang, tapi nggak pernah tahu jumpalitannya seorang dokter yang sebetulnya sudah dimulai semenjak masih di bangku kuliah.
Saya mengawali sekolah kedokteran saya di umur 18 tahun. Saya lulus SMA, lalu ikut ujian nasional yang waktu itu disebut UMPTN (sekarang namanya SPMB) dan melalui ujian itu saya masuk fakultas kedokteran (FK) di sebuah kampus negeri di Bandung.
Saya bersekolah di sana empat tahun dulu sesuai kurikulumnya, lalu lulus dan punya gelar bernama SARJANA KEDOKTERAN. Dengan gelar itu saya dianggap sudah punya ilmu kedokteran. Tapi saya belum jadi dokter. Karena sarjana kedokteran belum berkompetensi untuk jadi dokter.
Setelah jadi sarjana itu, saya bersekolah kembali di sana selama kurikulum dua tahun untuk belajar keterampilan menangani pasien. Setelah dua tahun ini saya boleh lulus dan baru bergelar DOKTER. Jadi total waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jadi dokter di Indonesia, semenjak lulus SMA adalah enam tahun.
Setelah lulus dokter itu, saya kepingin bekerja untuk cari uang sendiri. Saya fresh-graduated, dengan pengalaman kerja nol besar. Jadi saya mulai dari kerja ikut orang lain. Saya praktek jadi dokter jaga di klinik-klinik kecil dulu, lalu lama-lama saya melamar kerja ke rumah sakit.
Saya sempat melewatkan waktu tiga tahun dengan bekerja sebagai dokter jaga di rumah-rumah sakit di Bandung. Di tengah tiga tahun itu saya juga pernah mendaftarkan diri ke pemerintah Indonesia untuk jadi dokter di tempat terpencil. Untuk itu, Negara pernah mengontrak saya untuk kerja selama setahun di suatu desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saya sempat ditawarin jadi pegawai negeri untuk suatu posisi di salah satu direktorat jenderalnya Departemen Kesehatan, tapi saya menolak karena saya lebih seneng sekolah medis ketimbang jadi birokrat.
Saya berhasil sekolah lagi setelah saya pulang dari tugas negara itu. Saya ikut seleksi ujian masuk spesialisasi kandungan di sebuah kampus di Surabaya. Lalu saya lulus seleksi dan di sinilah saya sampek sekarang.
Teman-teman yang dulu sekolah bareng saya selama enam tahun di FK di Bandung, menjalani jalan hidup yang berbeda-beda. Setelah lulus, ada yang langsung melamar kerja untuk klinik-klinik swasta, ada yang langsung melamar jadi pegawai negara, ada juga yang langsung sekolah spesialis (sebagian kecil nggak bekerja dokter sama sekali, mereka malah jadi pengusaha atau jadi ibu rumah tangga).
Mereka yang bekerja sebagai dokter umum di klinik-klinik swasta rata-rata cuman setahun, seterusnya mereka pindah melamar jadi pegawai negara. Sebagian mendapatkan pengalaman kerja yang cukup, dan dengan itu mereka berani menawarkan diri mereka ke rumah sakit swasta yang reputasinya lebih bagus. Ada juga yang sudah langsung bosan bekerja, lalu mereka ikut seleksi ujian masuk sekolah spesialis di kota pilihan mereka. Yang lulus ujian pun ikut sekolah spesialis, yang tidak lulus pun kembali berusaha bekutetan untuk bekerja.
Teman-teman saya yang melamar jadi pegawai negara ada dua macam. Digaji kementerian kesehatan, atau digaji oleh bupati. Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang tetap bekerja sampek pensiun, atau sebagai dokter honorer tidak tetap yang dikontrak tahunan.
Mereka yang menjadi PNS, bisa ditempatkan sebagai pegawai struktural atau fungsional. Kalau sebagai fungsional, mereka menjadi dokter yang melayani pasien di rumah sakit pemerintah atau di puskesmas. Kalau sebagai struktural, mereka berkantor sebagai birokrat dan tidak melayani pasien.
Mereka yang menjadi dokter honorer tidak tetap pun tidak berkontrak lama-lama. Paling-paling 1-3 tahun. Setelah itu mereka melamarkan diri sendiri untuk jadi PNS, atau mereka hengkang dari departemen dan milih bekerja untuk swasta.
Pada golongan teman-teman dokter yang bekerja untuk swasta, ada yang betah bekerja di rumah sakit itu untuk bertahun-tahun, ada juga yang bosan ikut orang dan memilih daftar jadi PNS saja, dan ada juga yang nekat minta berhenti karena ingin sekolah spesialis.
Saya termasuk yang sudah mengincipi ikut swasta dan ikut negara, dan akhirnya memilih sekolah spesialis sampek sekarang. Ini perjalanan yang panjang, dan sepertinya masih akan lebih panjang lag. Umur saya baru 30 tahun.
***
Saya dan teman-teman sesama dokter menjalani kehidupan yang berbeda-beda. Sebagian dari kami berpenghasilan banyak, sebagian lagi berpenghasilan sedikit (saya malah nggak punya penghasilan karena saya bersekolah). Ada yang sudah malang-melintang dengan berbagai macam penyakit, ada juga yang hampir nggak pernah lihat pasien sama sekali (ini mereka yang kerja jadi PNS birokrat). Tapi yang pasti nggak ada yang gagal sebagai dokter. Suksesnya beda-beda, tergantung cara melihatnya.
Kalau dipikir-pikir, sebetulnya ada aja sekolah dan pekerjaan lain yang mungkin lebih menjanjikan daripada jadi dokter. Saya ingat sewaktu saya baru kuliah empat tahun, lulus sarjana dan masih harus sekolah profesi dua tahun lagi supaya saya punya ijin sah untuk boleh menyuntik, teman saya yang seumuran saya dari sekolah hukum udah jadi asisten pengacara untuk biro hukum kondang di Jakarta. Saat saya masih merangkak jadi dokter pas-pasan di Kalimantan, teman saya yang seumuran saya dan lulusan ITB sudah jadi manajer nasionalnya perusahaan retail asal Korea. Saat saya akhirnya baru dianggap cukup qualified untuk memulai sekolah spesialisasi, teman saya yang juga lulusan ITB malah sudah lulus dari Osaka dengan gelar MSc, dan dia sedang memulai sekolah PhD-nya. Singkatnya dengan umur yang sama, mereka dapet penghasilan yang lebih banyak, gelar akademik yang levelnya lebih tinggi, dan waktu liburan yang jelas lebih lebar.
Tapi anehnya, nggak ada satupun dari saya dan teman-teman yang nyesel sekolah dokter enam tahun sampek kelar (kami tidak ada yang drop out). Mereka yang jadi dokter fungsional untuk negara atau swasta senang karena punya cashflow tetap meskipun gajinya sedikit. Mereka yang buka usaha praktek sendiri senang karena penghasilannya dimakan sendiri meskipun tempat prakteknya masih sangat sederhana dan pasiennya belum banyak. Mereka yang jadi birokrat pun senang karena makan gaji (buta) tetap biarpun nggak tahu caranya nyuntik. Dan pada akhirnya, mereka yang bersekolah spesialis pun juga senang karena mereka senang dapet ilmu banyak meskipun mereka nggak punya penghasilan.
Sisi yang tidak pernah dibahas adalah orang tua mereka. Karena meskipun yang sekolah itu anaknya, nggak selalu orang tua puas dengan hasilnya. Banyak orang tua para dokter yang akhirnya nyesel karena anak mereka lebih seneng memelihara tempat praktek mereka yang sepi ketimbang jadi pegawai negeri. Banyak orang tua yang nyesel karena ternyata anak mereka sendiri yang jadi pejabat Dinas Kesehatan itu nggak bisa ngobatin diri yang sakit jantung, karena ternyata anaknya nggak punya surat ijin praktek (pegawai negeri nggak butuh SIP). Banyak orang tua fresh-graduated yang kecewa karena ternyata anaknya nggak bisa dipake jadi sumber berobat gratis buat sakit hernianya, karena ternyata setelah sekolah lama-lama, anaknya baru jadi sarjana kedokteran, belum jadi dokter sungguhan..
Dokter harus punya motivasi kuat untuk menjalani kerjaannya. Senang bertanggung jawab untuk penyakit orang lain. Menerima pasien keras kepala sebagai sumber tantangan untuk komunikasi kesehatan. Rela mengabaikan keluarganya sendiri untuk menolong pasien yang meregang nyawa. Dan bisa lihai memilih, antara memelihara tempat praktek supaya tetap ramai, atau mengunci tempat praktek supaya bisa ngambil rapor di sekolah anaknya..
Jadi, para orang tua, menyekolahkan anaknya di sekolah kedokteran bukan untuk menciptakan anaknya jadi orang kaya, apalagi untuk jadi sumber obat gratisan.
Kalau hati nggak kuat jadi dokter, mending nggak usah sekolah di FK. Masih banyak bidang kuliah yang nggak memberatkan jiwa dan potensial bikin duit banyak. Jadi, nggak perlulah sampek bayarin joki segala buat ujian. Apalagi untuk masuk perguruan tinggi yang dosennya sendiri jarang masuk kuliah..
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com
***
Jarang dokter bercerita tentang perjalanan kariernya sendiri, karena mereka nggak punya waktu untuk mengoceh tentang itu, atau karena mereka sendiri bukan pencerita yang baik. Orang yang bukan dokter cuman melihat dari luar doang, tapi nggak pernah tahu jumpalitannya seorang dokter yang sebetulnya sudah dimulai semenjak masih di bangku kuliah.
Saya mengawali sekolah kedokteran saya di umur 18 tahun. Saya lulus SMA, lalu ikut ujian nasional yang waktu itu disebut UMPTN (sekarang namanya SPMB) dan melalui ujian itu saya masuk fakultas kedokteran (FK) di sebuah kampus negeri di Bandung.
Saya bersekolah di sana empat tahun dulu sesuai kurikulumnya, lalu lulus dan punya gelar bernama SARJANA KEDOKTERAN. Dengan gelar itu saya dianggap sudah punya ilmu kedokteran. Tapi saya belum jadi dokter. Karena sarjana kedokteran belum berkompetensi untuk jadi dokter.
Setelah jadi sarjana itu, saya bersekolah kembali di sana selama kurikulum dua tahun untuk belajar keterampilan menangani pasien. Setelah dua tahun ini saya boleh lulus dan baru bergelar DOKTER. Jadi total waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jadi dokter di Indonesia, semenjak lulus SMA adalah enam tahun.
Setelah lulus dokter itu, saya kepingin bekerja untuk cari uang sendiri. Saya fresh-graduated, dengan pengalaman kerja nol besar. Jadi saya mulai dari kerja ikut orang lain. Saya praktek jadi dokter jaga di klinik-klinik kecil dulu, lalu lama-lama saya melamar kerja ke rumah sakit.
Saya sempat melewatkan waktu tiga tahun dengan bekerja sebagai dokter jaga di rumah-rumah sakit di Bandung. Di tengah tiga tahun itu saya juga pernah mendaftarkan diri ke pemerintah Indonesia untuk jadi dokter di tempat terpencil. Untuk itu, Negara pernah mengontrak saya untuk kerja selama setahun di suatu desa di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saya sempat ditawarin jadi pegawai negeri untuk suatu posisi di salah satu direktorat jenderalnya Departemen Kesehatan, tapi saya menolak karena saya lebih seneng sekolah medis ketimbang jadi birokrat.
Saya berhasil sekolah lagi setelah saya pulang dari tugas negara itu. Saya ikut seleksi ujian masuk spesialisasi kandungan di sebuah kampus di Surabaya. Lalu saya lulus seleksi dan di sinilah saya sampek sekarang.
Teman-teman yang dulu sekolah bareng saya selama enam tahun di FK di Bandung, menjalani jalan hidup yang berbeda-beda. Setelah lulus, ada yang langsung melamar kerja untuk klinik-klinik swasta, ada yang langsung melamar jadi pegawai negara, ada juga yang langsung sekolah spesialis (sebagian kecil nggak bekerja dokter sama sekali, mereka malah jadi pengusaha atau jadi ibu rumah tangga).
Mereka yang bekerja sebagai dokter umum di klinik-klinik swasta rata-rata cuman setahun, seterusnya mereka pindah melamar jadi pegawai negara. Sebagian mendapatkan pengalaman kerja yang cukup, dan dengan itu mereka berani menawarkan diri mereka ke rumah sakit swasta yang reputasinya lebih bagus. Ada juga yang sudah langsung bosan bekerja, lalu mereka ikut seleksi ujian masuk sekolah spesialis di kota pilihan mereka. Yang lulus ujian pun ikut sekolah spesialis, yang tidak lulus pun kembali berusaha bekutetan untuk bekerja.
Teman-teman saya yang melamar jadi pegawai negara ada dua macam. Digaji kementerian kesehatan, atau digaji oleh bupati. Sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang tetap bekerja sampek pensiun, atau sebagai dokter honorer tidak tetap yang dikontrak tahunan.
Mereka yang menjadi PNS, bisa ditempatkan sebagai pegawai struktural atau fungsional. Kalau sebagai fungsional, mereka menjadi dokter yang melayani pasien di rumah sakit pemerintah atau di puskesmas. Kalau sebagai struktural, mereka berkantor sebagai birokrat dan tidak melayani pasien.
Mereka yang menjadi dokter honorer tidak tetap pun tidak berkontrak lama-lama. Paling-paling 1-3 tahun. Setelah itu mereka melamarkan diri sendiri untuk jadi PNS, atau mereka hengkang dari departemen dan milih bekerja untuk swasta.
Pada golongan teman-teman dokter yang bekerja untuk swasta, ada yang betah bekerja di rumah sakit itu untuk bertahun-tahun, ada juga yang bosan ikut orang dan memilih daftar jadi PNS saja, dan ada juga yang nekat minta berhenti karena ingin sekolah spesialis.
Saya termasuk yang sudah mengincipi ikut swasta dan ikut negara, dan akhirnya memilih sekolah spesialis sampek sekarang. Ini perjalanan yang panjang, dan sepertinya masih akan lebih panjang lag. Umur saya baru 30 tahun.
***
Saya dan teman-teman sesama dokter menjalani kehidupan yang berbeda-beda. Sebagian dari kami berpenghasilan banyak, sebagian lagi berpenghasilan sedikit (saya malah nggak punya penghasilan karena saya bersekolah). Ada yang sudah malang-melintang dengan berbagai macam penyakit, ada juga yang hampir nggak pernah lihat pasien sama sekali (ini mereka yang kerja jadi PNS birokrat). Tapi yang pasti nggak ada yang gagal sebagai dokter. Suksesnya beda-beda, tergantung cara melihatnya.
Kalau dipikir-pikir, sebetulnya ada aja sekolah dan pekerjaan lain yang mungkin lebih menjanjikan daripada jadi dokter. Saya ingat sewaktu saya baru kuliah empat tahun, lulus sarjana dan masih harus sekolah profesi dua tahun lagi supaya saya punya ijin sah untuk boleh menyuntik, teman saya yang seumuran saya dari sekolah hukum udah jadi asisten pengacara untuk biro hukum kondang di Jakarta. Saat saya masih merangkak jadi dokter pas-pasan di Kalimantan, teman saya yang seumuran saya dan lulusan ITB sudah jadi manajer nasionalnya perusahaan retail asal Korea. Saat saya akhirnya baru dianggap cukup qualified untuk memulai sekolah spesialisasi, teman saya yang juga lulusan ITB malah sudah lulus dari Osaka dengan gelar MSc, dan dia sedang memulai sekolah PhD-nya. Singkatnya dengan umur yang sama, mereka dapet penghasilan yang lebih banyak, gelar akademik yang levelnya lebih tinggi, dan waktu liburan yang jelas lebih lebar.
Tapi anehnya, nggak ada satupun dari saya dan teman-teman yang nyesel sekolah dokter enam tahun sampek kelar (kami tidak ada yang drop out). Mereka yang jadi dokter fungsional untuk negara atau swasta senang karena punya cashflow tetap meskipun gajinya sedikit. Mereka yang buka usaha praktek sendiri senang karena penghasilannya dimakan sendiri meskipun tempat prakteknya masih sangat sederhana dan pasiennya belum banyak. Mereka yang jadi birokrat pun senang karena makan gaji (buta) tetap biarpun nggak tahu caranya nyuntik. Dan pada akhirnya, mereka yang bersekolah spesialis pun juga senang karena mereka senang dapet ilmu banyak meskipun mereka nggak punya penghasilan.
Sisi yang tidak pernah dibahas adalah orang tua mereka. Karena meskipun yang sekolah itu anaknya, nggak selalu orang tua puas dengan hasilnya. Banyak orang tua para dokter yang akhirnya nyesel karena anak mereka lebih seneng memelihara tempat praktek mereka yang sepi ketimbang jadi pegawai negeri. Banyak orang tua yang nyesel karena ternyata anak mereka sendiri yang jadi pejabat Dinas Kesehatan itu nggak bisa ngobatin diri yang sakit jantung, karena ternyata anaknya nggak punya surat ijin praktek (pegawai negeri nggak butuh SIP). Banyak orang tua fresh-graduated yang kecewa karena ternyata anaknya nggak bisa dipake jadi sumber berobat gratis buat sakit hernianya, karena ternyata setelah sekolah lama-lama, anaknya baru jadi sarjana kedokteran, belum jadi dokter sungguhan..
Dokter harus punya motivasi kuat untuk menjalani kerjaannya. Senang bertanggung jawab untuk penyakit orang lain. Menerima pasien keras kepala sebagai sumber tantangan untuk komunikasi kesehatan. Rela mengabaikan keluarganya sendiri untuk menolong pasien yang meregang nyawa. Dan bisa lihai memilih, antara memelihara tempat praktek supaya tetap ramai, atau mengunci tempat praktek supaya bisa ngambil rapor di sekolah anaknya..
Jadi, para orang tua, menyekolahkan anaknya di sekolah kedokteran bukan untuk menciptakan anaknya jadi orang kaya, apalagi untuk jadi sumber obat gratisan.
Kalau hati nggak kuat jadi dokter, mending nggak usah sekolah di FK. Masih banyak bidang kuliah yang nggak memberatkan jiwa dan potensial bikin duit banyak. Jadi, nggak perlulah sampek bayarin joki segala buat ujian. Apalagi untuk masuk perguruan tinggi yang dosennya sendiri jarang masuk kuliah..
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com