Sunday, May 26, 2013

Turis Religi

Di dunia ini ada beberapa hal yang ingin saya lakukan. Nonton parade orang pura-pura jadi Yesus di Larantuka pada bulan April. Nonton biksu pake jubah warna kuning meramal garis tangan di Nepal. Nonton teman saya si Ketut bakar-bakaran mayat di Bali. Saya bahkan punya cita-cita nonton orang Yahudi sembahyang di Tembok Ratapan.



Perhatikan bahwa saya menggunakan kata "nonton".

Tapi saya belum sempat melakukan semuanya. Saya baru sempat ke Uluwatu, ikutan baris bareng sekelompok pengumandang astungkara naik ke pura. Saya berhenti ketika rombongan itu masuk gerbang pura dan tidak ikut masuk. Saya merasa sudah terpuaskan setelah saya kena cipratan air dari seseorang yang saya pikir adalah pandita yang sedang memercikkan air berkah ke jemaahnya.

Sekitar dua tahun lalu saya pernah ikut my hunk dalam komunitas travelling yang acaranya adalah jalan-jalan lihat orang Konghucu lagi sembahyang di sebuah kuil di kawasan Pecinan di Surabaya Utara. Saya mencoba memotret-motret orang-orang yang lagi sembahyang itu, tetapi my hunk mendelik dan berbisik supaya saya ngaktifin tombol "mute" dan motret dari jarak jauh. Kendalanya adalah saya ini turis murah-meriah yang cuman bermodalkan kamera HP, efek sampingnya adalah saya cuman bisa motret jarak pendek padahal tindakan saya itu bisa mengganggu ketenangan sembahyang orang-orang itu.
Saya berasumsi orang-orang yang lagi sembahyang itu adalah tindakan eksotis. Jadi saya begitu excited motret-motret.

Malam ini saya baca liputan tentang perayaan Waisak di Borobudur yang nampaknya telah berubah menjadi sekaten versi Buddha. Terlalu banyak keramaian, terlalu banyak turis, terlalu banyak ritual yang dianggap eksotika. Salah satu adalah bagian lucu adalah seseorang mengomel di Twitter karena dia sudah bayar Rp 30k tapi cuman melihat biksu sembahyang, padahal dia jauh-jauh ke sana demi kepingin melihat lampion terbang. Very stupid person, pengomel itu.

Saya baru ngeh banyak orang menganggap nonton Waisak itu sebagai ekspektasi eksotis. Dan saya tercengang menyadari bahwa saya seperti mereka juga.

Ya nggak pa-pa sih nonton orang sembahyang. Tapi ya nggak usah motret-motret dari jarak pendek. Nggak usah maju merangsek menghalangi jalan barisan orang yang lagi berjalan sembari berdoa, demi Tuhan, itu bukan pawai. Minta ijinlah kalau mau motret ekspresi mukanya pas lagi berdoa dari jarak pendek. Dan tutup mulutlah, nggak usah komentar mengenai sesajen sesembahan mereka yang mereka taruh di (sesuatu yang Anda anggap) berhala mereka.

Paling simpel, coba kalau saya ini lagi sholat. Kebetulan sholat-nya di Timika, yang jarang ada muslimnya. Lalu seseorang yang jarang lihat muslim menganggap saya ini eksotis, lalu dia kepingin motret muka saya yang lagi khusyuk dalam balutan mukena. Seandainya dia sampek nyorongin HP ke muka saya pas saya lagi baca iftitah, niscaya saya langsung bilang istighfar dan segera menyambar semprotan obat nyamuk.

Empati, bo'! Empati!

Tapi saya masih kepingin ke Larantuka, Nepal, dan Tembok Ratapan itu. Saya masih kepingin motret mereka meskipun saya harus cari aplikasi yang bisa motret jarak jauh. Dan para turis religi sebaiknya wajib belajar tentang aplikasi "Mute". Memang kalau mau jadi wisatawan itu ada tips-nya supaya nggak jadi turis norak yang nggak tahu sopan-santun.

Menonton orang lain beribadah seharusnya membuat kita belajar tentang empati. Bukan sekedar atraksi. Karena di situlah sebenarnya tujuan menjadi turis itu. Membuka wawasan kita, dan pada akhirnya, menjadikan kita orang yang lebih baik.
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com