Friday, May 10, 2013

Mispersepsi, Argumentasi, dan Asertif

Bahkan bilang "tidak" itu pun ada seninya. Persoalannya, tidak semua dari kita itu lihai berseni, bagaimanapun kita bukan seniman.

***

Pekan ini saya dapet wangsit dari seorang kolega supaya saya bikin peringatan ke seorang kolega yunior supaya jangan "melawan".

Saya masih menimbang-nimbang apakah wangsit ini layak dieksekusi atau tidak.




Nah, nah, salah satu kolega yunior saya, sebut aja namanya Alexis, sekarang lagi deket sama saya. Lalu, beberapa kolega saya yang lebih senior daripada Alexis, sekarang lagi be-te sama Alexis ini, soalnya Alexis dianggap "melawan". Saya yang lagi deket sama Alexis, dimandat buat negor Alexis supaya menghentikan sikapnya itu.

Saya lagi berpikir keras gimana caranya nolongin Alexis. Saya sendiri kalau mau jujur, sebenernya saya nggak pernah nganggap Alexis itu melanggar instruksi di skuadron kami. Malah menurut saya pekerjaannya cukup baik. Tapi tentu aja saya ngerti bahwa kolega-kolega saya mungkin punya pandangan berbeda tentang Alexis.

Banyak sekali problem di skuadron kami selama ini yang sebetulnya lebih banyak disebabkan karena acara mispersepsi. Misalnya gini, ada pasien kanker serviks masuk ke klinik kami. Lalu seorang kolega senior suruh kolega yuniornya buat memeriksakan foto Rontgen si pasien, siapa tahu kankernya sudah nyebar ke saluran kencing. Lalu si kolega yunior melihat si pasien ini nggak punya uang buat foto Rontgen. Lagian si pasien masih bisa pipis ini, sehingga menurutnya kankernya belum nyebar ke saluran kencing. Jadi dia nggak programkan si pasien untuk difotoin.

Ketika si kolega senior tahu kalau pasiennya nggak di-Rontgen, dos-q marah besar, dan kolega yuniornya dianggap "melawan instruksi". Kira-kira begitu contoh kasusnya lah.

Padahal sederhananya, sang yunior bisa aja ngomong, "Kan secara klinis pasiennya belum ada gangguan traktus urinarius, Kak. Belum ada indikasinya kita melakukan foto Rontgen."

Tetapi kalau ini diucapkan sang yunior, mungkin akan ada distorsi pesan sehingga pesan yang sampek ke hati sang kolega senior adalah, "Gw rasa nggak usah di-Rontgen itu si pasien. Pasti nggak ada metastase ini."
Mungkin waktu menyampaikan pesannya, yunior ngomong pakai logat yang nggak disukai senior. Atau sebetulnya yuniornya ngomongnya ya udah pakai cara sopan, tapi karena si senior itu lagi kelaparan, kecapekan, dan udah kelamaan dielus-elus bininya, jadi seniornya bete berat.

Padahal, menurut ilmu yang sudah diemban sang kolega senior, komplikasi kanker cervix stadium IIIB seperti hidronefrosis pada ginjal, sering kali tidak disadari oleh si pasien apalagi oleh dokternya. Hidronefrosis itu kadang-kadang baru ketahuan setelah difoto Rontgen. Sang kolega yunior ini tidak tahu karena dia baru 1-2 tahun sekolah. Sedangkan sang kolega senior tahu ini karena dia sudah 4-5 tahun sekolah. Jadi di sini, makna penting dari feodalisme adalah pengalaman.


Lalu, karena kejadiannya ini seringkali berlangsung pada waktu malam hari, saat semua orang sudah kelelahan dan si pasien begitu berat, maka kolega senior itu ngamuk ke kolega yunior yang dianggapnya melawan dan sotoy itu. Ini adalah kesenjangan antara "si banyak pengalaman" dan "si banyak ilmu yang masih idealis".

Kira-kira itu yang menimpa Alexis, yang sekarang mesti saya tegor ini.

Karena pertimbangan itu, saya pusing kalau disuruh ngegojlok Alexis. Karena saya tahu, sebetulnya ini cuman problem komunikasi. Alexis mispersepsi, dia ngira instruksi yang datang kepadanya nggak penting-penting amat. Kolega seniornya Alexis mispersepsi, mereka ngira Alexis melanggar instruksi. Lalu argumentasi yang diucapkan Alexis mengalami distorsi, entah karena mungkin ada cara penyampaian pesan yang kurang enak didengar dan ini sebetulnya sangat subyektif.

Guru saya bilang bahwa sebetulnya kita ini mestinya belajar cara ngomong asertif. Syaratnya ialah menyampaikan argumentasi dengan berdasarkan data. Dan harus ada empati terhadap teman bicara. Artinya kalau mau bilang "tidak" kepada lawan bicaranya, harus pertimbangkan gimana kira-kira reaksi sang teman bicara kalau kita menolak permintaannya. Poin terakhir ini yang susah. Ini seperti harus menyampaikan berita buruk kepada orang lain padahal orang tersebut sangat tidak mungkin diberikan berita ini.


Makanya saya bingung gimana cara menasehatin Alexis. Saya kuatir Alexis nggak bisa nerima tegoran saya dan nganggap senior-seniornya lebay. Saya harus mikir gimana caranya ngomong ke Alexis dengan baek-baek. Siyalnya saya nggak tahu caranya ngomong baek-baek. Saya kan orangnya blak-blakan, belum lagi dialek saya yang lebih mirip interogatornya FBI. Saya tahu mestinya waktu kecil dulu saya cepet cuci kaki dan bobok aja, jangan kebanyakan bangun malem dan nonton X-Files. Tapi bagaimana mungkin saya bisa berhenti nonton film itu? David Duchovny itu ganteng sekali, meskipun dia Yahudi dan nggak pernah nyengir..