Adalah suatu malam ketika
saya menelepon nyokap, lalu nyokap bilang sama saya bahwa salah satu budenya
telah terkena stroke untuk kesekian kalinya dan saat itu terpaksa diopname. “Kalau
sempat, jenguklah,” pesan nyokap saya malam itu.
“Oke, nanti ta’ jenguk,”
jawab saya spontan. Tetapi setelah saya menutup telepon, saya malah jadi
kebingungan sendiri. How will I see her?
Si sakit itu bernama Mrs
Mar. Hubungan saya dengannya lumayan jauh. Mrs Mar adalah seorang wanita
berusia 90-an, punya adek laki-laki. Laki-laki itu punya anak 10 orang, salah
satunya adalah nyokap saya. Jadi kesimpulannya, Mrs Mar adalah kakak dari
Grandpa saya.
Seperti keluarga
Indonesia jaman purba pada umumnya, baik Mrs Mar dan nyokap saya sama-sama
lahir dari keluarga besar yang setiap pasangan bisa punya anak sampek 10 orang.
Anak pertama dan anak kedua adalah anak-anak yang dipuja-puji oleh paman dan
tante mereka, tapi anak ketiga dan seterusnya adalah “offspring” tambahan yang
mudah terlupakan. Dengan posisi Grandpa saya sebagai anak ketiga dari 10
bersaudara dan nyokap saya sebagai anak ke-8 dari 10 bersaudara, bisa
dipastikan saya sebagai keturunan garis belakangan akan sulit diingat.
Saya sendiri ketemu Mrs
Mar terakhir kali mungkin 10 tahun lalu sewaktu Mrs Mar menangis di tahlilan
Grandpa saya. Saya sebagai cucu keponakan mungkin tidak diingat banyak orang,
saya cuman dikenal sebagai anak dari ibu saya, titik. Mereka tahu nama saya pun
belum tentu.
Mrs Mar kena stroke dan
dementia. Jelas sekali dos-q nggak akan inget saya. Tapi nyokap saya minta saya
menjenguk wanita tua itu. Alasannya, it’s her aunt. Nyokap sebenarnya ingin
menjenguk, tapi my mom tinggal di Bandung. Mrs Mar diopname di rumah sakit
dekat rumahnya di Surabaya, dan saya adalah garis keturunan Grandpa yang
menduduki posisi strategis untuk menjenguknya karena saya satu-satunya keturunannya
yang tinggal di Surabaya sekarang. Jadi sepantas-pantasnya yang harus
menjenguknya adalah saya.
Saya harus menyelipkan
satu jam yang kosong di sela-sela hari-hari sekolah saya yang padat supaya bisa
pergi ke rumah sakit yang jauh banget itu. Belum apa-apa saya sudah stress
karena rumah sakit itu seperti rumah sakit tentara pada umumnya, nggak punya
resepsionis apalagi papan penunjuk jalan di dalam rumah sakit, dan perawat yang
bertugas di sana nampaknya tidak menyadari bahwa pembesuk macam saya ini buta
huruf. Nyokap saya nampaknya sudah lama tidak berhubungan lagi dengan
sepupu-sepupunya yang merupakan anak-anak kandung dari Mrs Mar itu, jadi saya
tidak bisa menghubungi mereka untuk minta ancer-ancer posisi kamar.
Tapi dasar kalau memang
sudah ada niat baik, Tuhan pasti akan kasih jalan. Akhirnya saya menemukan Mrs
Mar setelah tanya sana-sini secara njelimet terhadap perawat-perawat
non-komunikatif, dan mereka memberi tahu saya bahwa Mrs Mar dirawat di sebuah pavilyun
VIP di tengah rumah sakit. Yang namanya VIP, tapi tetep aja saya nggak ditanyai
kartu nama saya dan membiarkan saya masuk ke sebuah kamar opname yang tidak
terkunci. Kok tahu aja mereka kalau saya orang baik-baik?
Dengan ragu-ragu saya
masuk ke kamar itu. Dan ketemu seorang wanita yang sangat renta dan rambutnya
sudah beruban di sana-sini. Saya bilang saya mau membesuk Mrs Mar. Si wanita
itu tanya saya siapa.
Saya bilang saya cucu
dari adek Mrs Mar. Mendengarnya, dia membiarkan saya mendekati tempat tidur
pasien. Dan ketika saya menemukan pasien itu, saya langsung mengenali mata almarhum
Grandpa saya dan air mata saya jatuh tidak tertahankan.
Siapa yang butuh acara jenguk-jengukan ini? Mrs
Mar jelas sudah stroke, dia jelas tidak butuh dijenguk karena dia tidak bisa
mengenali lagi dunia di luar dirinya. Tapi saya yang butuh menjenguk. Saya yang
perlu mengingatkan diri saya lagi tentang dari keluarga mana saya berasal.
Lalu seorang laki-laki yang
sudah sangat tua muncul. “Kamu siapa, Nak?”
Saya menoleh. Saya
menelan ludah dan menjawab, “Saya cucu dari...” lalu saya sebut nama Grandpa
saya.
Laki-laki itu nampak
terperanjat. “Kamu anak dari siapa?”
Ketika saya sebut nama
nyokap saya, spontan laki-laki itu berseru, “Ya Allah, kamu anaknya X? Kamu
memang mirip dia! Aku ini sepupu mamamu! Apakah mama-papamu sehat di Bandung
sana?”
Saya mengangguk dan
tersenyum, dan mendadak saya jadi merindukan orang tua saya. Lalu laki-laki tua
itu memperkenalkan dirinya, ia anak dari Mrs Mar. Dia bilang dia setua Lily,
kakaknya nyokap saya yang sekarang tinggal di Jakarta. Kemudian dia mengoceh
tentang Lily, tentang nyokap saya, dan kakak-kakak nyokap saya yang lain.
Tentang anak-anak kecil dari Grandpa saya yang tinggal di sebuah rumah di
kawasan Indragiri-Surabaya sekitar 50 tahun yang lalu. Anak-anak itu kini
bertaburan di Jakarta, Malang, dan Bandung, telah beranak-pinak dan punya cucu
banyak sekali, salah satunya adalah saya.
Lalu ia menceritakan
tentang ibunya sendiri. Mrs Mar telah mengalami stroke beberapa tahun lalu, dan
kini serangan lagi, mengakibatkan Mrs Mar tidak bisa bicara dan harus makan
pakai selang melalui hidungnya. Otaknya sudah sangat terganggu. Saya menutup mulut
rapat-rapat, tak mau mengungkapkan opini saya pribadi bahwa nampaknya umur
kakaknya Grandpa saya itu sudah takkan lama lagi. Kerusakan otak itu telah
memutus komunikasinya dengan orang lain, ia tidak bisa melihat, mendengar,
apalagi bicara. Saya memandangi Mrs Mar lama-lama dan bertanya-tanya dalam hati
kapan Izrail akan datang. Rumah sakit membuat keluarga pasien manapun pasti
menderita, meskipun itu VIP sekalipun.
Saya mendekatinya,
menyentuh tangannya dan berbisik di telinganya. “Eyang..ini Vicky. Masih ingat?
Itu, yang waktu kecil dulu suka main ke rumah Eyang di Mulyosari kalau Papa
lagi ke rumah sakit. Vicky sudah besar sekarang, Eyang, sudah jadi dokter.
Vicky sekarang sudah 30 tahun, Eyang. Vicky sudah sekolah spesialis lagi, kayak
Papa dulu. Tapi Vicky nggak mau jadi dokter anak kayak Papa, Eyang. Vicky milih
sekolah spesialis dokter kandungan aja. Eyang doain ya, supaya sekolah Vicky
lancar dan cepet selesai? Ya? Ya?”
Lalu mendadak tangan Mrs
Mar bergerak. Dia menggenggam jari saya!
Saya terperanjat. Mrs Mar
ternyata masih bisa merespons. Atrofi otaknya nampaknya belum mematikan semua
sarafnya. Mrs Mar tahu saya ada di situ..
Saya mengecup kening Mrs
Mar dan mengucapkan selamat tinggal. Saya pamit kepada putra Mrs Mar itu, lalu
saya pergi tanpa menoleh lagi. Saat saya berjalan ke parkir, kamar Mrs Mar
telah jauh di belakang saya, dan saya teringat makam kecil di Jakarta tempat
Grandpa dan Grandma saya berada. Mereka sudah tiada, jadi anak-anaknya yang
menggantikan mereka untuk silaturahmi dengan saudara-saudara mereka. Tapi
ketika semua anak itu sudah terhalang jarak, maka sayalah yang harus
menggantikan mereka sekarang untuk menyambung tali persaudaraan. Grandpa selalu
berpesan ke anak-cucunya, sedapat mungkin tetaplah silaturahmi dengan
saudara-saudara orangtuamu. Nyokap saya selalu mengingat nasehat itu dan
menyuruh saya untuk tetap berhubungan dengan saudara-saudaranya meskipun hanya
lewat SMS. Katanya, “Supaya suatu hari nanti, jika Mama meninggal, akan tetap ada
yang memelukmu..”
Mrs Mar meninggal, sembilan
hari kemudian. Foto Little Laurent yang menjenguknya, masih ada di HP saya..