Thursday, November 6, 2014

Kurban Pertama

Tahun ini my hunk dan saya mutusin untuk berkurban Idul Adha dengan nitipin kurban di Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF). Alasan kami pilih yayasan ini, soalnya di iklannya ditulis bahwa daging-daging yang dikurbankan akan disalurkan ke desa-desa di Jawa Timur yang masih miskin.

Sebetulnya kami bisa aja milih nitipin kurban di salah satu dari sekian banyak mesjid yang berserakan di sekitar rumah mertua saya. Tapi kami tertarik kepada konsep YDSF yang janjinya mau bagiin daging kurbannya ke desa-desa yang miskin. Kami pikir kalau kami cuman naruh kurbannya di mesjid di Surabaya aja, paling banter kurbannya ya jatuhnya ke wilayah Surabaya aja. Padahal Surabaya sudah terhitung paling tajir, kalau dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten di Jawa Timur.

Prosesnya berkurban sebetulnya simpel aja. My hunk cuman nitipin uang untuk beli kambing ke yayasannya, terus ninggalin alamat e-mail dan alamat rumah. Setelah idul adha, my hunk dapet laporan via e-mail bahwa daging kambing yang dos-q beliin kurban udah diterima oleh seseorang di desa Maibit di daerah Tuban. Baru kemaren kami terima amplop segede folio berisi laporan tertulis dan foto orang lagi nerima kurban dari my hunk. Plus foto kambing yang dibelinya.



Komentar saya: Ih, kambingnya lucu, hihihihi..

Kurban tahun ini spesial buat kami karena mungkin ini pertama kalinya kami berkurban. Kami baru dua tahun menikah, dan tahun lalu untuk niat berkurban kami masih nebeng mertua. Sebelum menikah kami malah belum pernah berkurban, karena kami belum merasa menyisihkan penghasilan untuk itu. Sebetulnya tahun ini penghasilan kami pun belum banyak-banyak amat, tapi my hunk sudah merasa ngiler kepingin berkurban, sama seperti saya yang ngiler kalau liat moisturizer di counter-nya SK II. :D

Saya sendiri juga merasa ada perubahan mindset di kepala saya soal kurban-kurbanan ini. Jaman saya masih kecil dulu, tiap kali mau Idul Adha, saya ikut bokap ke mesjid, lalu nontonin bokap saya bayar transaksi untuk beli kambing. Ada kolom di formulirnya yang harus diisi bokap saya, semacam pertanyaan tentang bagian mana dari bodinya si kambing yang nanti mau dibagiin ke bokap saya selaku pengkurban. Selesai sholat Id, biasanya saya menunggu-nunggu kurir dari mesjid buat bawain daging kurban yang jadi bagian bokap saya. Nyokap akan memasak kambing itu jadi sop, kadang-kadang sate. Pendek kata, keluarga kami dapet bagian kurban.

Tetapi anehnya tahun ini saya sudah nggak peduli lagi apakah saya akan dapet daging kurban yang dibeli my hunk atau enggak. Mungkin karena saya belom merasa bisa memasak daging kambing sampai mantap. Dan lagian YDSF ternyata memang tidak memprogram pengkurban untuk mendapatkan bagian dari daging kurbannya, jadi ya cocoklah. :)

Di kota-kota lain, saya masih sering dengar banyak pengkurban justru mendapatkan daging kurban lebih dari yang ia kurbankan. Tante saya yang tinggal di Malang, pada hari Idul Adha, bisa dapet tiga sampai empat kantong daging kurban dari tetangga-tetangganya. Padahal logikanya kalau orang hanya berkurban satu ekor kambing, ya mestinya ia hanya dapet satu kantong. Setelah ditilik-tilik, ternyata kebiasaan di desa itu, pada hari idul Adha, rakyatnya nggak cuman bagi-bagi daging kurban ke orang miskin, tapi mereka juga nyembelih daging kurban untuk dimakan bersama-sama satu desa..!

Semestinya saya nulis ini bulan lalu, pas hari idul Adha masih angot-angotnya. Tapi saya baru bisa nulis ini sekarang, coz foto kambing kurbannya baru kami terima kemarin, hihihi.

Maaf, saya nulis ini bukan maksud niat mau pamer apalagi riya. Saya nulis ini karena tergerak melihat banyak teman yang umurnya sudah sepantaran sama saya, yang kira-kira gaya hidupnya sama mahalnya kayak saya, yang kira-kira jilbabnya lebih rapet daripada saya, tapi kalau mau berkurban ternyata masih tergagap-gagap. Alasan orang tidak berkurban biasanya simpel: 1) nggak tahu di mana mesjid yang komunikatif untuk menampung daging kurban, 2) merasa biaya playgroup anak-anaknya lebih besar daripada biaya untuk berkurban, 3) nggak percaya bahwa daging yang mereka kurbankan akan jatuh ke orang-orang yang miskin sungguhan. Sebetulnya kita nggak perlu kuatir, karena alhamdulillah sekarang sudah banyak yayasan yang mau nerima bayaran kurban kita, dan bayaran pun boleh ditransfer pakai internet banking (beberapa yayasan bahkan buka stand di mall, supaya kita bisa nyetor duit di sana aja, sehingga kita pun bahkan nggak perlu setor muka ke kantor yayasannya yang tempat parkirnya sempit ituu..) Dan sebetulnya berkurban itu bisa direncanakan, sama seperti kita menyisihkan uang untuk merencanakan tahun depan liburan ke tempat jauh atau tahun depan mau beli handphone baru. Dan sudah banyak yayasan penerima kurban yang dengan senang hati mau memamerkan orang-orang miskin yang menerima daging kurbannya, untuk menarik kepercayaan para investor kurban. Iya dong, kurban itu juga investasi, terutama investasi akhirat :)

Saya mengharap suatu hari nanti bisa berkurban sapi. Bukan cuman urunan bareng orang-orang lain untuk beli seekor sapi, tapi beli sapi kurban atas diri saya sendiri dan anak-anak saya. Sebetulnya saya mengharap bisa berkurban onta juga, tapi sampai sekarang tiap kali browsing internet saya belom pernah nemu yayasan yang bersedia nampung daging onta..
http://georgetterox.blogspot.com
http://laurentina.wordpress.com