East Coast Center, Keputih, Surabaya, semalam. |
Sebenarnya akan jauh lebih baik jika sayap piano diputar balik, sehingga sayap berada di depan, dan pemain akan bisa main piano sembari melihat wajah penonton. Dia bisa main sembari sesekali melempar senyum ke penonton, dan itu akan membuat penonton lebih betah menikmati pertunjukannya.
Jika saya main piano di hadapan keluarga besar dan teman-teman saya, saya selalu nanya dulu, lagu apa yang mereka ingin saya mainkan. Saya lebih seneng kalau saya main dan penonton ikutan nyanyi. Kadang-kadang sementara jari saya main, saya memandang tajam ke seorang penonton tanpa mengucapkan apa-apa. Itu cara saya mengkomunikasikan musik yang saya mainkan, seolah-olah saya bermain piano itu hanya untuk dia.
Penonton mungkin tidak ikutan nyanyi jika aslinya lagu itu memang instrumentalia. Apalagi kalau nomernya klasik macam The Swan Lake atau Fur Elise. Makanya saya jarang mainkan lagu-lagu semacam itu jika saya sedang berada di depan penonton. Meskipun saya sendiri punya background musik klasik, tapi saya memakai aliran klasik itu sebagai gaya, sedangkan lagu yang saya suka mainkan rata-rata dari genre rock. Saya sendiri pemuja Axl Rose, orangnya sangar tapi dia sendiri menang kontes piano klasik pada umur sembilan tahun. Itu adalah genre yang cukup tidak nyambung, mengingat musik klasik sebetulnya diajarkan untuk membuat seseorang jadi lembut dan anggun (yang kalau kebablasan, orangnya akan jadi melankolis alias menye-menye).
Yang jelas, seorang pianis baiknya tidak menjadi artis sendirian. Kecuali dia bermain seorang diri di ruangan tertutup, hendaknya dia sadar bahwa musik yang dia mainkan harus bisa dinikmati orang lain. Jadi kalau disuruh main di mall, bermainlah sambil menghadap penonton, dan mainkan lagu di mana penonton bisa ikutan nyanyi dengerin lagu itu. Karena musik adalah alat komunikasi, bukan sekedar alat pamer bakat dan kemampuan belaka.