Departemen saya dikonsulin departemen Psikiatri. Alkisah, ada seorang perempuan putus dari pacarnya, lalu dikawinpaksa dengan cowok yang nggak dia maui. Semenjak kawin paksa ini, menurut keluarganya, si cewek jadi berubah kepribadian. Yang tadinya rame jadi pendiam, yang tadinya cerewet jadi banyak mengurung diri di kamar. Sampek kemudian dia hamil.
Repotnya, semenjak hamil, dia jadi beringas dan marah-marah nggak jelas melulu. Dia benci semua orang, ya bonyoknya, ya sodaranya, lebih parah lagi dia benci suaminya. Keluarganya yang panik, membawanya ke dokter. Singkat kata, dia dirawat di rumah sakit, masuk ke bangsal untuk pasien-pasien sakit jiwa.
Pasien ini ternyata ngidap skizofrenia paranoid. Penjelasan gampangnya, penyakit ini adalah penyakit nggak bisa membedakan kenyataan dengan khayalan. Dan yang menjengkelkan, dia curigaan terhadap semua orang. Dia mengira semua orang ingin mencelakai dia. Sekarang kami para dokter yang mau jadi dokter kandungan, takut si ibu curigaan sama bayinya juga. Lha kalau dia berusaha membunuh anaknya sendiri gimana?
Untungnya si janin masih bagus, dan dosen-dosen saya pikir mendingan tuh pasien nanti melahirkan dengan operasi Caesar aja. (Nggak kebayang kalau nanti dia melahirkan lewat vagina, orang gila + stress mengejan bukanlah kombinasi yang menyenangkan. Oops..nggak boleh sebut "orang gila" ya?)
Kedua orang tua si ibu sudah bilang, nanti kalau bayinya lahir, bayinya akan diasuh oleh mereka berdua (kakek-nenek si bayi). Nggak masalah sih yang itu. Sekarang yang jadi masalah, si pasien ini ternyata susah banget disuruh minum obat buat nyembuhin sakit jiwanya. Sebulan lalu dia sempat rada enak diajak ngomong, karena itu psikiater memulangkannya ke rumah sambil membekalinya pil kecil-kecil. Ternyata selama di rumah, si pasien pundung nggak mau minum obat lagi, dan akibatnya si pasien jadi kumat lagi gokilnya sehingga keluarga terpaksa mengopnamekannya lagi.
Kami yang kerja di bagian kandungan, bingung mikirin gimana kalau nanti si ibu ini hamil lagi? Bisa-bisa nanti skizonya kumat lagi dan bukan tidak mungkin kalau hamil lagi dia akan berusaha membunuh janinnya. Maka nggak ada jalan lain selain merayu keluarga si pasien supaya pasien ini boleh ikut KB. Persoalannya, metode KB apa yang cocok buat ibu dengan sakit jiwa yang disuruh minum obat sendiri aja nggak mau?
Sebagian kolega saya bilang, baiknya si ibu dioperasi steril aja. Nanti kan dia melahirkan dengan Caesar, sambil dikeluarin janinnya ya sambil dibikin mandul, gitu. Kan gampang tuh tinggal sekali jalan. Nggak perlu kuatir lagi dia bakalan hamil, kumat nggak waras lagi dan mencelakai janinnya.
Tapi sebagian kolega saya yang lain nggak setuju. Perempuan berhak hamil. Dan perempuan berhak menentukan sendiri apakah dia ingin hamil atau tidak. Termasuk menentukan apakah dia ingin membuat dirinya tidak hamil. Ya, meskipun dia sakit jiwa.
Si suami sendiri nggak bisa bikin keputusan. (Kami kalau mau bikin operasi mandul pasti harus minta ijin suami pasiennya dulu. Itu protokolnya). Dia menyadari bahwa istrinya nggak layak mengasuh anaknya sendirian, tapi dia juga nggak kepingin istrinya dibikin mandul. Mungkin, jauh di lubuk hatinya yang dalam, dia berharap suatu hari nanti istrinya akan sembuh, dan mereka bisa mengasuh anak mereka bersama-sama seperti keluarga normal (dan mungkin si istri perlahan akan belajar mencintainya pelan-pelan). Dan operasi steril jelas akan mengacaukan impian itu.
Tadi pagi, kami putuskan untuk tidak mensterilisasi si pasien. Soalnya, kolega-kolega di Psikiatri bilang bahwa bisa aja kemungkinan si pasien ini sembuh. Kalau si ibu sampek sembuh, dan dia sudah keburu dioperasi steril, bisa jadi suatu hari nanti dia akan menuntut dokter-dokter karena telah sengaja membuatnya mandul. Meskipun mungkin, dokter membuatnya mandul karena ingin menyelamatkan si pasien dari kehamilan yang sulit dihadapi oleh si pasien.
(Saya sendiri tidak yakin dia akan sembuh. Dulu saya diajari bahwa skizofrenia yang timbul pada usia muda seperti ini akan sulit sekali sembuhnya. Tapi saya bukan mahasiswa psikiatri, ini jelas bukan kompetensi saya, barangkali lebih baik kalau saya mempercayai kolega-kolega saya di Psikiatri saja, karena mungkin mereka benar karena mereka punya ilmunya).
Saya menulis ini untuk kasih wacana ke Jemaah blog saya, bahwa setiap manusia punya hak yang sama. Setiap perempuan berhak hamil jika dia ingin. Setiap perempuan berhak mengenakan kontrasepsi jika dia ingin. Dan yang juga sama pentingnya, setiap perempuan berhak untuk menolak kontrasepsi jika dia masih kepingin punya anak lagi.
Dan kita tidak bisa memutuskan bahwa seseorang tidak berhak untuk punya anak. Siapapun dia, meskipun kita mengira dia tidak punya cukup akal untuk bersikap rasional. Entah karena dia masih di bawah umur, atau karena dia sakit jiwa..