Sering terjadi, pasien hamil di rumah sakit tempat saya bersekolah nggak bisa kontrol berobat lantaran nggak bisa bayar. Alasannya, karena surat asuransi pemerintah yang membayarinya berobat belum diperpanjang. Padahal, ibu hamil kan harus kontrol berobat rutin supaya kita bisa memastikan ibu dan bayi sehat wal afiat pada persalinan nanti.
Jemaah Georgetterox mungkin tahu bahwa Pemerintah menanggung biaya pengobatan sebagian rakyat miskin di negeri ini. Penanggungan itu dilakukan melalui asuransi bernama Jamkesmas alias Jaminan Kesehatan Masyarakat. Dengan asuransi Jamkesmas ini, pemegang kartu Jamkesmas bisa berobat gratis ke rumah-rumah sakit pemerintah. Termasuk pasien hamil pemegang kartu Jamkesmas, dia boleh kontrol hamil dan melahirkan gratis, selama kartunya masih berlaku, tentu saja.
Di lapangan, konsep gratis ini nggak berjalan semudah yang dijalankan. Kartu Jamkesmas itu cuman berlaku selama sebulan. Jika masa berlakunya habis, pemegangnya kudu perpanjang lagi ke Puskesmas. Tidak sembarang Puskesmas berwenang untuk memperpanjang kartu seseorang, karena Puskesmas yang berwenang adalah Puskesmas di kecamatan tempat orang itu tinggal. Bisa dibayangkan, seorang pemegang kartu Jamkesmas kudu dateng ke Puskesmas setiap bulan hanya untuk perpanjang masa berlaku kartunya, setiap kali dia ingin pergi berobat ke rumah sakit pemerintah.
Mungkin kedengerannya ribet karena seseorang kudu bolak-balik setiap bulan cuman buat berobat. Tapi saya memandangnya dari sisi lain. Ini seperti kamu punya kartu diskon buat karaokean di suatu tempat dugem, tapi kartu diskon itu hanya berlaku sebulan. Penyelenggara tempat karaoke tentu nggak mengharapkan kamu nyanyi gratis di situ seumur hidup, sama seperti Pemerintah nggak mengharapkan kamu miskin terus hanya untuk supaya kamu bisa berobat gratis. Karena itu dibikin setting seolah kamu cuman miskin selama "sebulan". Moga-moga dalam sebulan, kamu bisa menabung cukup supaya kamu bisa bayar pengobatan, jadi kamu nggak usah ngejar-ngejar perpanjang kartu Jamkesmas lagi.
Tapi konsep itu tinggal mimpi karena orang ternyata lebih seneng miskin terus (baca: dibayarin Pemerintah terus-menerus) supaya bisa berobat. Saat ini, separuh lebih pasien rumah sakit tempat saya bersekolah, adalah pemegang kartu Jamkesmas yang sudah langganan berobat. Rumah sakit tempat saya bersekolah kewalahan, lantaran nombokin pasien Jamkesmas yang penyakitnya memang butuh banyak biaya, sementara Pemerintah nggak kunjung bayarin asuransi Jamkesmas yang seharusnya di-cover oleh Pemerintah. Dalam bentuk sederhana, persediaan obat-obatan di rumah sakit mulai habis karena rumah sakit kesulitan beli stok baru. Rumah sakit nggak bisa belanja obat banyak-banyak karena uang saku yang dimiliki rumah sakit sudah habis. Rumah sakit kehabisan uang, karena Pemerintah belum bayar utang asuransi Jamkesmas-nya kepada rumah sakit. Pelik.
Beberapa hari yang lalu, rumah sakit tempat saya bersekolah, dengan tenang mengumumkan bahwa penduduk miskin di Surabaya yang ingin berobat di situ, harus bayar. Soalnya, Pemerintah Kota Surabaya belum bayarkan utang Jamkesmas atas warganya ke rumah sakit. Warga Surabaya ngamuk setengah mati, coz kesannya, orang miskin dilarang sakit. Meskipun kalau ditilik-tilik, sebetulnya rumah sakit tempat saya bersekolah tidak akan sampek hati menolak pasien miskin seandainya Pemerintah-nya Surabaya mau bayarkan utang Jamkesmas-nya yang nunggak milyaran itu ke rumah sakit.
Dulu saya pernah ditanyain seorang jemaah Georgetterox, kenapa di negeri ini, dokter begitu pelit sekali mengijinkan orang miskin berobat gratis? Saya selalu tersenyum baca pertanyaan itu, karena pertanyaan itu menandakan jelas bahwa penanya tidak tahu situasi yang sebenarnya. Coba gantilah kata "dokter" di atas dengan kata "rumah sakit", maka kau akan ketemu jawabannya. Di dunia ini nggak ada yang gratis, Bung. Kau bisa saja tanya-tanya gratis ke dokter, tapi untuk mendapatkan obat tentu akan ada yang harus kaubayarkan. Jika kau tidak bisa membayar obat, maka kau harus cari orang lain untuk membayarkannya untukmu. Pemerintah sudah baik hati mau membayarkan obatmu asalkan kau masuk dalam daftar pasien Jamkesmas, tinggal rumah sakit yang akan bekerja mengobatimu. Tetapi rumah sakit juga tidak akan bisa bekerja kalau Pemerintah belum membayar atas nama dirimu, gitu lho.
Dalam pendapat saya yang paling jujur, di negeri ini nggak ada orang yang miskin-miskin amat. Semiskin-miskinnya orang, kalau dia masih bisa beli rokok, maka dia nggak miskin. Kenapa? Coz berarti dia menaruh rokok sebagai prioritas lebih utama ketimbang membelikan keluarga dan dirinya sendiri beberapa bungkus nasi. Sedangkan, nggak ada sejarahnya orang bisa mati gara-gara dia nggak bisa merokok, tapi sudah banyak orang mati kelaparan gara-gara dia nggak bisa makan. Karena itu, coba tengoklah pasien-pasien Jamkesmas yang keluarganya berserakan di ruang tunggu rumah sakit, dan hitunglah berapa keluarganya yang merokok. Anda akan tahu, bahwa nggak semua pemegang asuransi Jamkesmas itu memang betul-betul miskin..
Kita ini nggak miskin duit. Melarat jelas tidak. Tapi yang sudah dipastikan, sebagian besar dari kita memang miskin mental. Miskin mental untuk menjaga diri tetap sehat. Miskin mental untuk mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Miskin mental untuk tidak bergantung kepada selembar kartu bernama Jamkesmas..