Saturday, March 10, 2012

Pusing Milih Baju Cowok

Alkisah saya pernah nemenin kakak belanja di mal. Setelah puas ngider keliling mal belanja-belanji, mendadak kakak saya nepok jidat karena ternyata waktu sudah hampir sore dan dos-q belum beli oleh-oleh baju buat suaminya. Jadi masuklah kami ke department store yang super besar.

Saya selalu berharap store yang gede dan mewah bisa menyediakan pilihan baju yang beragam, tapi ternyata saya lagi-lagi overekspetasi. Saban kali kakak saya nyodorin pilihan ke saya, "Ky, yang ini bagus buat Mas, nggak?" Saya selalu menggeleng sembari mengernyit.
"Standar," jawab saya. Atau, "Waduh, pasaran."

Lama-lama kakak saya bosen denger jawaban saya dan protes, "Jadi Mas dibeliin yang mana doong?"
Saya ngangkat tangan dan nyerah, "You know what, aku bahkan nggak akan mau beliin my hunk baju motif itu, bagaimana aku tega mau sarankan itu ke suami orang?"
"Ini motif setrip-setrip," keluh kakak saya. Makudnya, bagaimana bisa cowok nggak pantes dipakein motif setrip?
Saya malah menjawab, "Again?" Batin saya, setiap cowok pasti punya baju motif setrip di lemarinya. Karena motif apa lagi yang bisa dipake cowok selain motif setrip-setrip? *pasrah*

Saya baru sadar alangkah beruntungnya saya dilahirkan jadi cewek karena saya bisa pilih motif baju apapun yang saya inginkan. Tapi cowok nggak bisa, mereka cuman bisa bergulat di antara motif setrip-setrip atau motif kotak-kotak. Motif polkadot jelas akan membuat mereka nampak seperti badut, dan kemiripan mereka terhadap badut berbanding lurus dengan diameter polkadotnya. Motif pantai akan membuat mereka nampak seperti mau ke Hawaii, itu sebabnya motif ginian nggak laku dijual oleh Raoul atau Executive 99. Lebih parah lagi kalau cowok sampek pakai baju motif kembang-kembang. Jangankan ditaksir cewek, homo pun ogah mau naksir mereka.

Akhirnya sore itu berakhir dengan kakak saya menyambar kemeja cowok berwarna cokelat setrip-setrip. Dan saya menggeleng, lagi.
"Nggak ada alternatif motif lain," gerutu kakak saya.
"Bukan itu," kata saya. "Mas kan sudah punya baju cokelat garis-garis."
Kakak saya mengernyit. "Tidak mungkin. Dia belum punya."
Jawab saya dengan nada bersumpah, "Sudah. Aku pernah liat kok."
"Kamu gimana sih? Aku tau dia nggak punya kok. Aku kan istrinya?" protes kakak saya.
Lalu saya mulai menyesali daya ingat saya yang tajam tentang baju-baju yang dimiliki teman-teman cowok saya.

Saya harus perluas wawasan saya, tidak hanya berjibaku dengan website-website yang membahas trend make up pengantin, rumah-rumah dijual dengan harga miring, atau ibu hamil dengan penyakit jantung. Saya harus mulai lirik juga website-website yang membahas baju cowok. Sesungguhnya, kekerenan para pria adalah tanggung jawab dari istri-istri atau pacar-pacar mereka. Persoalannya cuman satu, kebanyakan butik-butik cowok yang keren-keren di Surabaya ternyata lebih banyak didatangin oleh para homo ketimbang para hetero..