Pertanyaan yang paling sering saya dengar dari beberapa pasien yang ketakutan menjelang dioperasi adalah, "Kalo dioperasi (dibelah) itu sakit nggak, Dok?"
Saya selalu jawab, "Bu, Ibu kan dibius sebelum dioperasi. Jadi nanti Ibu dibikin tidur selama operasi. Lalu kami buka perut Ibu, kami keluarkan anak/penyakitnya, lalu kami tutup lagi. Setelah selesai ditutup, obat biusnya berhenti, lalu Ibu bangun. Jadi selama dioperasi, Ibu tidur aja dan tidak terasa apa-apa".
Sebetulnya saya rada ngibul. Memang pasiennya nggak terasa apa-apa, tapi setelah operasinya selesai dos-q akan menyadari bahwa tiba-tiba ada bekas luka di kulit perutnya. Biasanya ini yang bikin pasien stres setelah operasinya, karena bekas luka itu lama hilangnya.
Sekarang sudah ada teknik operasi yang lebih modern, yaitu laparoskopi. Dengan laparoskopi ini dokter nyaris nggak perlu membelah perut pasien untuk mengeluarkan sumber penyakit. Lho, kok bisa?
Ambil contoh simpel. Katakanlah seorang pasien menderita tumor di dalam perut pasien, dan untuk menyembuhkannya maka tumor itu harus diangkat. Logika simpelnya, perut harus dibuka, lalu tumornya diambil, kemudian perut ditutup lagi, gitu kan? Nah, pada operasi laparoskopi, dokter akan menusukkan jarum ke dalam perut, sehingga menciptakan lobang yang kecil. Lobang ini digunakan untuk memasukkan alat-alat operasi segede bolpen, yang mana sebetulnya alat ini adalah pisau bedah, gunting bedah, jepitan bedah yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa dilipat menjadi setipis bolpen. Lokasi pembolongan di perutnya nggak cuman satu, tapi kadang-kadang sampek empat lokasi (tergantung kebutuhan), dan salah satu lobang dipakai buat nyelipin lensa kamera yang lagi-lagi cuman setipis bolpen. Lensa kamera ini disambungin ke monitor tivi, sehingga dokter bisa melihat tumor yang mau diangkat melalui tivi. Canggih kan?
Tentu saja ada kelemahan operasi laparoskopi ini ketimbang operasi biasa yang pakai acara buka perut itu. Karena pada laparoskopi ini dokter cuman melihat isi perut hanya dengan mengandalkan kamera, maka bisa ditebak bahwa lapang pandang dokter cuman sesempit yang terekspos oleh kamera, lebih sempit ketimbang lapang pandang yang sangat luas pada operasi buka perut biasa. Efeknya, waktu yang dibutuhkan lebih lama, bisa makan waktu 2-3x lebih lama ketimbang operasi biasa. Maka operasi gini butuh obat bius lebih banyak, sehingga biaya operasi bisa lebih mahal lantaran bahan biusnya juga nggak cuman sedikit.
Juga nggak semua rumah sakit bisa melakukan operasi ini, karena operasi ginian butuh alat yang cukup canggih dan dokter bedah yang pengalamannya lebih spesifik.
Tidak semua penyakit bisa disembuhkan dengan operasi yang nggak bikin bekas luka ini. Semisal, penyakit yang bisa dilakukan ini antara lain tumor yang kecil-kecil. Kalau tumornya segede-gede batok kelapa jelas buang waktu, soalnya kamera laparoskopinya nggak akan bisa mengekspos tumornya karena ukuran tumornya pasti lebih gede ketimbang luas pandang kameranya.
Pasien biasanya lebih seneng dioperasi laparoskopi ketimbang dibuka perut biasa. Soalnya jelas mereka nggak akan menjumpai luka bekas operasi yang menyebalkan, yang jelas ganggu banget secara kosmetis, terlebih lagi kalau profesi mereka adalah peragawati atau model bikini. Paling banter mereka cuman nemu beberapa lobang kecil aja di perut mereka yang nggak terlampau mencolok. Atau dompetnya aja yang jadi kempes karena mereka kudu merogoh kocek dalem-dalem. Memang kalau mau bodi jadi sembuh itu kudu berkorban banyak, tapi teknologi kedokteran selalu berusaha cari teknik operasi yang lebih baik untuk memuaskan hati penderitanya.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com