Sekedar gaya-gayaan. Gitu lho.
Orang rame-rame foto prewed dengan begitu ribet. Ribet nyari background-nya, ribet mikirin mau pakai baju apa, bahkan fotografernya sibuk ngatur setting kamera ini itu. Saya masih inget dua tahun lalu segerombolan kaum religius pernah gatel ngomong, foto prewed ini haram karena mengekspos orang-orang yang berpelukan padahal belum menikah. Seorang fotografer pernah berkomentar bahwa mestinya foto prewed ini nggak perlu ribet segitunya, soalnya mau dibikin bagus gimana juga, sesungguhnya tujuan akhir foto prewed ini cuman satu: Hanya menggambarkan sebuah pasangan yang lagi bahagia.
Batin saya, "Iya, kalo cara mikirmu memang sesempit itu."
Saya sendiri sudah kemecer kepingin foto prewed bahkan semenjak masih jomblo. Saya bilang ke bonyok kalau mau nikah nanti kepingin foto prewed.
Lalu nyokap saya bilang, "Kowe arep foto prewed ambek sopo, pacar ae gak duwe.." (Aduh, Mom..)
Dan bokap saya berkata, "Wis gak usah foto prewed-prewed-an, nanti kalian ta' foto sendiri ae.." Aduh, bokap saya kan senengnya moto-moto keluarga yang lagi liburan di rumah Nenek, bukan foto artistik gituu.. *keluh*
Lalu sedikit demi sedikit, saban kali saya ke kondangan, saya selalu berhenti di depan foto masing-masing penganten yang sering dipajang di karpet merahnya itu. Saya mulai mengenali mana foto yang bagus, mana foto yang biasa aja (nggak ada sih foto yang jelek, sesungguhnya semua hal itu jadi keliatan bagus di pernikahan. Termasuk muka pengantennya yang aselinya kecut banget kayak cuka di warung Pak Minto). Saya mulai meneliti komentar orang-orang saat melihat foto prewed itu.
"Oh, ini tho anaknya Pak Utoyo?" (Bu Halimah, yang sudah bercucu lima)
"Hwaa..ceweknya cakep banget." (Chicha, umur 19 tahun, mahasiswi galau yang lagi bingung nggak punya pacar)
"Itu apa seeh kok nunuknya ditempel-tempelin ke orang lakinya?" (Grandma saya, konservatif dan rajin mengaji sebelum kena dementia)
"Itu si Tommy ya? Perasaan waktu sama gw dulu dia nggak secakep itu.." (Linda, umur 25 tahun, mantannya si penganten pria)
"Busyet! Ini pake lensa apa yah? Perasaan kalo infra red juga hasilnya nggak akan kayak gini!" (Joe, umur 23 tahun, lagi belajar fotografi otodidak)
Lebih parah lagi, "Lho, kayaknya kita salah masuk kondangan orang deh.."
Yang paling saya nggak seneng adalah: "Ini foto di mana ya?" (Kok jadi ngomongin background-nya sih? Bukan orangnya yang di foto?)
Saya mau ikutan ngritik, kok nggak tega. Kalau ingat bahwa saya mau pasang foto saya dan my hunk di internet aja suka mikir-mikir. Nggak semua foto pasangan itu bagus lho dijadiin foto prewed. Ada yang cuman berjalan spontan di pinggir pasar aja bagus banget begitu dipasang di gedung pernikahan, ada juga yang biasa aja dan nggak punya nilai artistik blas. Ada foto yang kalau diliat di display kamera sih bagus, tapi begitu diliat di komputer kok rasanya biasa aja, apalagi begitu dicetak gede langsung keliatan aspek-aspek jeleknya.
Bikinnya juga susah.
Cari mood yang bagus, supaya ekspresi modelnya keliatan alami, nggak dibikin-bikin.
Foto-fotoan pada jam 10 pagi ternyata hasilnya lebih bagus ketimbang foto jam 6 pagi. Padahal kalau pengantennya punya ide gila foto-fotoan di tengah jalan raya, bisa-bisa dilindas mobil.
Si model juga kudu di-briefing supaya nggak pake bra item kalo bajunya transparan, dan coba tuh si penganten cowok diingetin jangan nyimpen Nokia Communicator-nya di saku kemejanya supaya nggak keliatan mammae-nya gede sebelah.
Si fotografer bisa ngamuk kalau udah asik-asik moto di tengah pantai, nggak taunya ternyata di kejauhan tengah laut ada perahu kecil berbendera kuning cap pohon beringin..
Kayak gini kok mau bilang foto prewed itu foto yang gampang??
Jadi, Sodara-sodara, saya mau tanya Anda dong, jika Anda dateng ke pernikahan, foto prewed yang bagus itu foto yang kayak gimana sih?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com