Saturday, January 26, 2013

Setelah Pesta Siraman

Saya pernah kena fobia berat sama pernikahan. Alasan simpel, saya ogah dijadikan barang pajangan, disuruh berdiri di panggung menyalami orang-orang yang nggak saya kenal. Saking fobianya, saya sampek berkali-kali nulis di blog ini kalau saya boleh menikah nanti, saya kepingin kawin lari. Supaya saya nggak usah salaman sama orang yang nggak saya kenal.

Tentu saja pada akhirnya keinginan itu adalah hil nan mustahal. Alasannya, kawin lari itu capek, tau. Sepatu pengantennya aja udah cukup bikin pegel, apalagi kalau dibawa lari-lari. Lagian di mana-mana juga kawin itu enaknya ya sambil tiduran, bukan sambil lari-lari!

Tidak, bukan itu. My hunk bilang orangtuanya itu sesepuh di kantornya, jadi nggak mungkin kalau anak mereka kawin lari, membuat saya terpaksa mencoret rencana itu jauh-jauh.

Lalu saya ngalah. Oke, terserah kalau orang tua kami mau bikin resepsi dan ngundang orang banyak-banyak dan menjadikan saya dan my hunk sebagai boneka pajangan. Tapi, daripada saya ngitung berapa tangan tamu yang salaman sama saya dan tidak saya kenali, lebih baik saya ngitung berapa tangan yang saya kenali, dan makin banyak jumlahnya maka saya akan makin puas.

Dan percayalah, saya lebih merasa aman kalau berada di tengah sepupu-sepupu saya. Buat saya, nggak peduli berapa tamu yang datang memenuhi undangan orang tua saya, yang penting sepupu-sepupu saya datang. Jadi saya bergerak menelusuri semua phonebook saya, di HP, di Twitter, di Facebook, saya kirimin message ke mereka satu per satu. Saya nggak pakai fasilitas Send To All, jelas. Saya betul-betul nulis nama mereka di setiap e-mail, saya tuliskan bahwa saya mau resepsi hari X jam segini, saya mau disiram hari Y jam segitu, dan saya tegaskan bahwa saya mau mereka hadir. Saya sebut nama-nama istri/suami mereka dan saya bilang saya ingin spouse mereka itu datang juga. Lalu karena sebagian sepupu saya masih kecil, dan untuk datang ke resepsi masih numpang mobil orangtuanya, saya tulis pesan undangan ke paman-paman dan tante-tante saya juga. Saya cukup beruntung sepupu-sepupu ayah/ibu saya menguasai Facebook.

Hal yang menakjubkan adalah hampir semuanya membalas balik dan bilang terima kasih sudah saya undang secara pribadi. Saya tahu tentu saja bahwa bonyok saya sudah kirim mereka undangan cetak, tapi saya menulis message saya dengan bahasa saya sendiri via online. Tahu sendirilah saya orangnya personalization banget.

Tadi pagi, pas saya lagi dirias di kamar rumah menjelang siraman, saya dengar suara orang-orang mulai riuh di ruang tamu. Sambutan riang menyambut saudara yang sudah lama nggak ketemu. Sepupu saya yang sudah dua tahun nggak ketemu saya, dengan sinting menyelinap masuk ke ruang rias pura-pura jadi paparazzi dan mencuri motret saya. Kakak ipar sepupu saya yang lain, menjengukkan kepalanya dan menyeringai, membuat saya tidak tahan untuk tidak menghambur memeluknya; kami terakhir kali bertemu 10 tahun lalu, waktu Grandpa meninggal.

Saya tidak bisa menghitung berapa tamu yang hadir, karena aturannya mempelai harus duduk tegak dan nggak boleh noleh-noleh. Tapi ketika saya berjalan ke ruang tamu untuk sungkeman, saya sempat menoleh ke seluruh ruang, dengan pandangan menyapu semua tamu, senang menyadari rumah begitu penuh. Semuanya nampak kepingin nonton saya dimandikan, semuanya nampak berebutan kepingin motret dengan berbagai lampu kilat sana-sini. Kamera pocket, kamera DSLR si kakak, iPad yang lebih mirip talenan, Galaxy Note yang saya kirain buku tulis, dan HP dengan lampu flash yang bikin silau. Saya terperangah. Semua yang datang dan menuh-menuhin rumah itu adalah sepupu-sepupu saya dan bapak ibu mereka, tak ada orang lain.

Siraman itu khidmat sekaligus meriah dan penuh ketawa. Ketika my hunk datang dengan keluarga untuk seserahan, sepupu-sepupu saya diam memenuhi setiap sudut sembari pamer gadget masing-masing. Begitu acara seserahan selesai dan keluarga my hunk pulang, saya keluar dari kamar pingitan dan ditarik foto sana foto sini. Keluarga nyokap dan keluarga bokap sama besarnya, sama centilnya, sama hebohnya. Saya pasti penganten yang beruntung karena saya jingkrak-jingkrak sepanjang siang itu. Saya dengar bude-bude saya berteriak, "Vicky, awas sanggulnya jatuh!" Halah, siapa peduli sanggul jatuh? Paling-paling kalau jatuh sanggulnya ya ditangkep om-kakak-adek-ponakan saya dan dijadikan objek main bola..

Seindah-indahnya menikah adalah menikah di tengah-tengah sepupu-sepupumu. Family does matter, mereka pasukan setia yang paling mencintaimu dan mendukungmu :)

P.S. Foto-foto siraman ditunda dulu upload-nya. Soalnya sampek akad nikah, my hunk nggak boleh ngeliat tampang saya dulu..
www.laurentginekologi.wordpress.com
www.laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com