Menonton berita dalam empat hari terakhir ini, isinya banjir terus membuat saya merenung, bertanya-tanya Jokowi kerasukan apa kok sampai mau-maunya meninggalkan Solo yang sederhana untuk mengurusi Jakarta yang sulit diatur.
Banjir ini bukan salah Jokowi, Foke, Sutiyoso, Basofi, atau entah siapa lagi. Bicara tentang banjir tidak bisa melupakan bicara tentang resistensi masyarakat, tentang kekeraskepalaan, tentang kebodohan, tentang ketidakmauan untuk keluar dari sumber masalah. Tidak bisa kita menyeret warga untuk dievakuasi karena permasalahan pokoknya sudah jelas: Mereka sudah terbiasa kebanjiran di situ.
Saya ingat sekitar beberapa tahun lalu, saat saya baru tamat dokter dan sedang menimbang-nimbang untuk sekolah spesialisasi, sempat kepikiran di daftar sekolah yang ingin saya lamar, adalah saya ingin sekolah di Salemba. Lalu tangan saya dengan lemah mencoret Salemba dari daftar.
Universitas Indonesia adalah sekolah terbaik yang ada di negeri ini, tapi jika untuk bersekolah di sana saya harus menikahi Jakarta selama 4-5 tahun, maka saya tidak sanggup. Saya tidak sanggup membayangkan diri saya tua di jalan karena kemacetan. Saya tidak sanggup terperangkap di sekolah, tidak bisa pulang ke kost hanya karena jalanan kebanjiran. Atau sebaliknya, tidak bisa pergi ke sekolah karena jalanan depan kost kebanjiran padahal di sekolah ada pasien meregang nyawa yang harus dioperasi.
Gampang buat saya untuk bersimpati kepada teman-teman di Jakarta yang terperangkap di jalan dan tidak bisa pulang karena jalanan banjir. Tapi saya sulit bersimpati kepada orang-orang yang rumahnya di area padat dan kebanjiran. Kenapa tinggal di situ, Bu? Ya memang rumahnya di sini kok. Kok nggak mau dievakuasi ke Posko? Ah enggak ah, takut barang saya ilang. Lagian banjir ini nggak lama kok, paling-paling seminggu juga banjirnya udah surut lagi. Yang dulu lebih parah lagi, banjirnya lebih tinggi dari ini kok, saya sampek tidur di atap..
Saya nonton berita pun jadi geregetan. Sudah tau rumah situ langganan banjir kok situ tetep aja tinggal di situ!
Gambar dari www.justisianews.com |
Lalu saya kembali mikir kenapa saya begitu ngeri sekolah di Jakarta, seperti langkah pencoretan yang saya lakukan bertahun-tahun lalu: Saya takut jika saya telanjur betah di Jakarta maka saya tidak akan mau meninggalkan tempat itu begitu lulus. Saya takut saya akan seperti teman-teman saya yang terpaksa pindah ke Jakarta demi cari kerja dan setelah tinggal di sana bertahun-tahun pada akhirnya berkata "Jakarta adalah tempat terbaik untuk hidup dan mencari uang". Saya takut saya akhirnya akan beranak-pinak di Jakarta dan pada akhirnya harus mengajari anak-anak saya tentang "Sore ini kamu jangan pulang lewat situ, Little Laurent. Mama dengar pintu air Katulampa baru saja dibuka dan tempat itu akan kebanjiran."
Tapi jika kamu tidak berani menghadapi kerasnya hidup, maka kapan kamu akan "naik kelas"?
Itu sebabnya kenapa saya pikir-pikir sepuluh kali sebelum mengecam warga Jakarta yang masih betah kebanjiran ini. Postingan ini harus saya rombak berkali-kali karena saya tidak boleh menulis tanpa mengabaikan perasaan pembaca saya. Jemaah Georgetterox begitu kritis dan gampang tersinggung.
Saya nonton berita lagi dan mata saya nggak bisa lepas dari reporter-reporter Metro TV yang anehnya tetap cakep biarpun lagi meliput banjir di lapangan. Naik-turun perahu karet, celana kebasahan sampai bokongnya ikutan basah. Mereka tidak tersenyum, tapi tetap enak dilihat di depan kamera. Ajaib, saya bertanya-tanya bagaimana mereka bisa mempertahankan mood yang bagus dengan celana mereka sebasah itu. Apakah mereka tidak takut kena leptospirosis?
Lalu saya menjawab dalam hati, mereka tahu risikonya tapi mereka menghadapinya. Dalam kehidupan ini ada semacam mata kuliah bernama "Manajemen Risiko", mungkin bobotnya 5-6 SKS. Perbedaan antara mereka yang rela kebanjiran dengan saya yang takut pada Jakarta ini adalah, mereka lulus mata kuliah itu, sedangkan saya tidak. Itu sebabnya mereka naik kelas, sedangkan saya belum.
Apakah Anda sudah lulus mata kuliah "Manajemen Risiko"?