Kami tiba di gedung hall jam 4, di sana ketemu tukang rias. Tukang riasnya tanya apakah saya bisa tidur semalem, saya jawab nggak bisa. Dos-q ngerti saya gelisah, jadi dos-q berdoa dan bilang dos-q bakalan bikin saya cantik sekali hari itu. Saya nyerah dan pasrah, saya cuman berdoa semoga hari itu tidak akan ada tamu yang nekat menyanyi dangdut.
Saya dan nyokap selesai dirias jam 6, dan nyokap melarang saya bergerak-gerak, takut bulu mata saya yang setebel ulet bulu itu lepas. Saya dijemput jam 7 oleh wedding organizer dan dianter ke belakang hall, disembunyikan di balik semak-semak pot kembang dan dikawal oleh tante-tante saya (biar saya sebut aja namanya di sini supaya saya inget: Titiek Rubingah Harsono, Mimi Patrianto, Rozilia Hartoyo, semoga Allah merahmati mereka semua). Saya sendiri heran kenapa pengawal saya harus sebanyak itu, apa mungkin takut saya lari? Well, meskipun secara teori itu mungkin, tapi sebetulnya itu sulit sekali, karena sepatu pemberian my hunk yang saya pakai sangat tinggi, jadi susah kalau dipake lari.
Asisten penghulu menghampiri saya, nyodorin selembar buku dan nanyain apakah betul itu foto dan data saya. Saya jawab, iya dulu tampang saya kayak gitu. Baru di kemudian saya tahu kalau itu yang disebut buku nikah.
My hunk muncul di pintu jam 7.30, dos-q dihadang oleh Om Jazzy (suami Tante Rozi) dan Om Heru (suami Tante Mimi). (Tradisi mengatur supaya penghadang pengantin pria adalah suami dari para pengawal pengantin cewek). Lalu my hunk mereka kawal ke meja, di sana penghulu menanti bersama bokap saya dan saksi. (Saya senang bokap telah minta Grandpa Hartoyo, adeknya Grandma saya, untuk jadi saksi. My hunk sendiri membawa Pak Bagyo Winoto, besan orangtuanya untuk jadi saksinya. Untunglah saksi-saksi yang muncul akhirnya masih keluarga kami sendiri, bukan pejabat dari antah-berantah yang tahu nama kami sendiri pun tidak).
Lalu saya dipanggil, dan saya bersama para tante pengawal pun muncul dari balik semak-semak. Dari sudut entah mana saya denger sebuah suara terus-menerus berbisik memperingatkan, "Mbak Vicky, jalannya pelan.. Ayo pelan.. Ayo pelan.." Padahal saya bersumpah jalan saya lebih lelet dari siput. Tapi saya harus tetap tersenyum. Bukan cuman karena fotografer-fotografer pesanan siap memakan saya, juga bukan cuma karena semua tamu dengan kamera-HP-talenan mereka siap mencaplok muka saya dengan blitz-blitz mereka yang menyilaukan itu, tapi karena..calon penganten prianya sudah nunggu saya di meja.
Penghulunya enak pidatonya. Dia tidak membuat saya bosan. Ketika dia memimpin doa, saya ikut menunduk dan saya langsung lupa semua rasa gugup yang saya takutkan semenjak bangun pagi. My hunk gemetaran ketika menjabat tangan bokap, saya mengeloni pahanya untuk memberi semangat.
Dan ijab kabul itu pun terjadilah. Saya dinikahi.
***
Itu hari yang melelahkan, tapi saya bahagia (karena akhirnya saya punya suami untuk jadi korban percobaan masak-masakan saya, dan karena tamu-tamunya nggak ada yang nekat menyanyi dangdut). Beberapa jam setelah pesta berakhir, adek saya ngembaliin HP saya yang telah dos-q sita (dos-q melarang saya memegang HP selama prosesi pernikahan). Notifikasinya penuh sekali, ucapan dari sana sini. Tapi salah satu SMS yang muncul persis jam 7.30 itu, sebuah SMS yang dikirimkan dari mantan pacar saya, isinya kurang lebih begini, "Vicky, semoga kamu bahagia.." Dan begitulah, salah satu fase berat saya tentang mantan pun berakhir sudah.
Penghulunya janji kepada kami pada khotbah nikah itu, pada saat sudah jadi suami-istri, maka masing-masing pribadi itu, akan langsung ketahuan aslinya. Ternyata dia menepati janjinya. Dua hari sesudah kami menikah, apa yang nggak pernah saya bayangkan tentang my hunk ternyata ketahuan. Dia begini, dia begitu. Dan dia terus-menerus mengejutkan saya setiap hari. Dan ternyata, saya juga begitu.. Sampek sekarang.
Kami sudah menikah setahun sekarang, tapi saya masih merasa baru mengenal my hunk tidak sampek 10 persennya. Becandanya masih sama seperti ketika kami baru ketemu pertama kali, ketika dia mengantar saya pulang ke rumah paman saya. Dia masih saja membuat saya marah seperti pertama-tama kali kami bertengkar dulu. Tapi cintanya kepada saya masih hangat, malah mungkin jauh lebih hangat daripada awal-awal kami pacaran dulu. Dan anehnya, begitu juga cinta saya kepadanya..
Happy anniversary, Eddy Fahmi. I love you so much..