Era sekarang kita nggak bisa lepas dari social media. Mulai dari punya blog, punya Twitter, Instagram, dan entah apa lagi. Bertingkah eksis nampaknya juga bukan kegiatan langka. Pasang status, nulis posting, upload foto. Dan semuanya mengundang komentar. Dan, akuin aja deh.. kita selalu nunggu komentar.
Yang jadi problem, komentar itu nggak selalu pro dengan kita. Ada juga yang kontra. Siyalnya, nggak semua orang punya bekal ilmu berkomentar dengan sopan. Nggak jarang komentar itu malah bikin kita tersinggung.
Minggu ini seenggaknya udah tiga kali saya baca parodi tentang bininya pejabat tinggi yang menjawab komentar pemirsanya di Instagram. Nampaknya buat sebagian orang, si ibu terkesan ketus kalau membalas komentar. Kesan ketus ini jadi domino karena ngundang komentar lanjutan yang intinya nggak senang dengan kesan ketus si ibu.
Saya nggak niat membahas kebiasaan si ibu yang dikit-dikit suka upload foto di Instagram, tapi saya lebih seneng ngomongin cara menyikapi komentar.
Saya malang-melintang di blog sudah bertahun-tahun, dan kenyang menghadapi komentar yang mendarat di posting-posting saya. Gaya nulis saya yang blak-blakan ternyata menohok banyak orang, ada yang senang, tapi banyak juga yang nggak suka. Mereka yang nggak suka (isi) tulisan saya dengan sukarela berkomentar di blog saya, mereka sebut itu mengkritik, tapi kalau saya sih lebih suka menyebut itu mengecam. Soalnya banyak dari isi kritik yang datang itu, tidak konstruktif.
Hal yang paling mendasar sebaiknya kita ketahui adalah, di internet kita bisa jadi apa aja: malaikat, setan, terserah. Dengan tulisan kita, kita bisa terkesan baik hati, bisa juga terkesan bitchy. Kesan itu yang mendorong orang lain berkomentar. Kita bisa memposting sesuatu yang sebenarnya tujuannya baik, tapi bisa jadi orang yang melihat posting kita itu menilai kita ini jelek. Karena perbedaan persepsi orang lain itulah, maka feedback yang mereka lontarkan jadi nggak enak didengar di kuping kita. Akibatnya komentar sinis mereka pun jadi nyinggung perasaan kita.
SIAPA KOMENTATORNYA ?
Untuk menyikapi komentar sinis, saya lebih seneng selidiki dulu siapa yang berkomentar. Kalau orangnya sering ngobrol sama saya di dunia nyata, saya akan manggut-manggut dan berpikir oh-barangkali-dia-benar, karena-kita-sudah-kenal-lama. Tapi kalau orangnya nggak pernah ngobrol sama saya, maka saya akan buka profilnya, terus saya bongkar semua account socmed-nya, lalu saya baca posting-posting-nya. Apa yang seseorang tulis, seseorang upload, seseorang share, itu sebetulnya mencerminkan karakter orang itu dan itu cukup untuk menjelaskan apakah dia cukup kompeten untuk menilai (posting-an) saya secara obyektif atau enggak. Dan itu membantu saya memutuskan apakah saya mempercayai isi komentarnya atau enggak.
Gimana kalau si komentator itu nggak ada identitasnya? Anonim? Profilnya nggak bisa dibuka? Maka saya cukup mengangkat bahu, lalu tekan "delete comment". Persoalan selesai.
Anti kritik? Ah, enggak juga. Saya cuman kesulitan bersikap respek terhadap pengecut. Bagaimana orang yang sinis di dunia maya bisa dipercaya bila dia sendiri nggak berani mamerin batang hidungnya?
CIPTAKAN "SIDEKICK"
Melawan komentar sinis tidak selalu efisien. Iya kalau yang komentator sinis itu adalah jenis pembaca langganan yang selalu baca posting kita. Lha kalau cuman pengunjung yang hanya dateng satu kali? Jadi ya nggak perlu sewot.
Sebaliknya balikkan isi komentar tidak konstruktif itu dengan karya yang lebih membangun. Contoh: bila saya dikomentarin "Anda ini lebih sering ng-upload foto pake filter, jangan-jangan Anda memang nggak pe-de kalau nggak pake filter." Komentator ini nampaknya nggak tahu bahwa pakai filter itu ada manfaatnya. Maka besoknya saya akan posting "Cara-cara Menggunakan Filter untuk Foto". Posting sidekick kayak gini jauh lebih membangun karena kasih ilmu ke pembaca kenapa kita milih melakukan intervensi (menggunakan filter) daripada sekedar mengungkapkan ketidakpedean untuk tampil apa adanya (tidak pakai filter).
Atau bila saya dikomentarin saya terlalu banyak nulis status bahwa saya check in di restoran steak. Isi komentarnya biasanya gini "Ah, gw sih makan indomi aja di rumah", ini sebenarnya setengah menyindir lu-tukang-pamer-makan-di-restoran-fancy. Saya rasa besoknya saya akan nulis (di socmed yang sama) cara bikin steak di rumah dengan bahan-bahan yang bisa dibeli di warung Mak Ijah. Mungkin sang komentator tukang kecam akan kembali menyindir lu-tukang-pamer-mentang-mentang-bisa-masak-menu-fancy-di-rumah-sendiri.
SAMPERIN ORANGNYA
Menulis komentar itu perlu waktu, dan bandwidth. Apalagi di negerinya Tiffy Sembiring yang kecepatan koneksi internetnya menggenaskan ini. Jadi kalau ada orang rela buang komentar sinis ke posting kita, pasti dia sebetulnya peduli sama kita sampek-sampek mau membuang waktu dan bandwidth-nya yang berharga.
Saya punya kebiasaan nengokin satu-satu komentator-komentator saya, bahkan mereka-mereka yang berkomentar sinis. Foto-foto mereka di Instagram saya sambangin, dan saya kasih komentar dengan nada yang baik. Account Twitter-nya saya datengin, lalu saya follow. Blognya saya sumbangin komentar, dan saya selalu berupaya supaya isi komentar saya ada solusinya (nggak cuman ngomong "Setuju!" atau "Nggak setuju!"). Ternyata itu berdampak baik. Mereka yang tadinya sinis, jadi lebih ramah sedikit. Alhamdulillah, nggak jarang dari para pembaca asing yang dulu sinis sama isi blog saya sekarang malah jadi teman baik.
TERIMA SAJA
Bagian yang merepotkan adalah kalau kita ini public figure. Misalnya kita ini Angelina Jolie. Atau kita ini presiden Maladewa. Atau minimal kita ini ketua RT di kampung. Nggak usah gembar-gembor pun orang sudah akan datang dan lihat posting-an kita. Dan ada aja komen-nya, mulai dari yang sepedas sambel Mak Ijah atau yang sepahit pil kina. Dalam hal ini kita yang kudu dewasa legowo nerima status kita sebagai seleb. Berani jadi public figure berarti harus berani disinisin setiap saat.
Kalau nggak berani disinisin? Ya sudah, gembok aja account kita supaya nggak gampang dikomentarin yang enggak-enggak. Kolom komentar blognya dipasangin moderasi. Account Twitter atau Instagram-nya dipasangin lock. Facebook-nya di-setting supaya yang bisa ngintip cuman orang-orang tertentu aja. Nggak tahu caranya setting privacy, moderasi, atau pasang lock? Ya jangan buka account social media dong ah. Singkatnya, kalau gaptek ya jangan marah kalau dikomentarin oleh orang sinis..
Selalu ada seribu cara mengekspresikan diri. Dan akan ada sepuluh ribu anjing menggonggong. Kalau bisa, anjing yang menggonggong itu dirangkul, diajarin supaya nggak nggonggong ke kita. Tapi kalo sudah dibaik-baikin ternyata masih galak, ya sudah, pasang pager setrum aja. Yang jelas, gonggongan anjing manapun itu, nggak perlulah sampek gangguin hidup kita..
Yang jadi problem, komentar itu nggak selalu pro dengan kita. Ada juga yang kontra. Siyalnya, nggak semua orang punya bekal ilmu berkomentar dengan sopan. Nggak jarang komentar itu malah bikin kita tersinggung.
Minggu ini seenggaknya udah tiga kali saya baca parodi tentang bininya pejabat tinggi yang menjawab komentar pemirsanya di Instagram. Nampaknya buat sebagian orang, si ibu terkesan ketus kalau membalas komentar. Kesan ketus ini jadi domino karena ngundang komentar lanjutan yang intinya nggak senang dengan kesan ketus si ibu.
Saya nggak niat membahas kebiasaan si ibu yang dikit-dikit suka upload foto di Instagram, tapi saya lebih seneng ngomongin cara menyikapi komentar.
Saya malang-melintang di blog sudah bertahun-tahun, dan kenyang menghadapi komentar yang mendarat di posting-posting saya. Gaya nulis saya yang blak-blakan ternyata menohok banyak orang, ada yang senang, tapi banyak juga yang nggak suka. Mereka yang nggak suka (isi) tulisan saya dengan sukarela berkomentar di blog saya, mereka sebut itu mengkritik, tapi kalau saya sih lebih suka menyebut itu mengecam. Soalnya banyak dari isi kritik yang datang itu, tidak konstruktif.
Hal yang paling mendasar sebaiknya kita ketahui adalah, di internet kita bisa jadi apa aja: malaikat, setan, terserah. Dengan tulisan kita, kita bisa terkesan baik hati, bisa juga terkesan bitchy. Kesan itu yang mendorong orang lain berkomentar. Kita bisa memposting sesuatu yang sebenarnya tujuannya baik, tapi bisa jadi orang yang melihat posting kita itu menilai kita ini jelek. Karena perbedaan persepsi orang lain itulah, maka feedback yang mereka lontarkan jadi nggak enak didengar di kuping kita. Akibatnya komentar sinis mereka pun jadi nyinggung perasaan kita.
SIAPA KOMENTATORNYA ?
Untuk menyikapi komentar sinis, saya lebih seneng selidiki dulu siapa yang berkomentar. Kalau orangnya sering ngobrol sama saya di dunia nyata, saya akan manggut-manggut dan berpikir oh-barangkali-dia-benar, karena-kita-sudah-kenal-lama. Tapi kalau orangnya nggak pernah ngobrol sama saya, maka saya akan buka profilnya, terus saya bongkar semua account socmed-nya, lalu saya baca posting-posting-nya. Apa yang seseorang tulis, seseorang upload, seseorang share, itu sebetulnya mencerminkan karakter orang itu dan itu cukup untuk menjelaskan apakah dia cukup kompeten untuk menilai (posting-an) saya secara obyektif atau enggak. Dan itu membantu saya memutuskan apakah saya mempercayai isi komentarnya atau enggak.
Gimana kalau si komentator itu nggak ada identitasnya? Anonim? Profilnya nggak bisa dibuka? Maka saya cukup mengangkat bahu, lalu tekan "delete comment". Persoalan selesai.
Anti kritik? Ah, enggak juga. Saya cuman kesulitan bersikap respek terhadap pengecut. Bagaimana orang yang sinis di dunia maya bisa dipercaya bila dia sendiri nggak berani mamerin batang hidungnya?
CIPTAKAN "SIDEKICK"
Melawan komentar sinis tidak selalu efisien. Iya kalau yang komentator sinis itu adalah jenis pembaca langganan yang selalu baca posting kita. Lha kalau cuman pengunjung yang hanya dateng satu kali? Jadi ya nggak perlu sewot.
Sebaliknya balikkan isi komentar tidak konstruktif itu dengan karya yang lebih membangun. Contoh: bila saya dikomentarin "Anda ini lebih sering ng-upload foto pake filter, jangan-jangan Anda memang nggak pe-de kalau nggak pake filter." Komentator ini nampaknya nggak tahu bahwa pakai filter itu ada manfaatnya. Maka besoknya saya akan posting "Cara-cara Menggunakan Filter untuk Foto". Posting sidekick kayak gini jauh lebih membangun karena kasih ilmu ke pembaca kenapa kita milih melakukan intervensi (menggunakan filter) daripada sekedar mengungkapkan ketidakpedean untuk tampil apa adanya (tidak pakai filter).
Atau bila saya dikomentarin saya terlalu banyak nulis status bahwa saya check in di restoran steak. Isi komentarnya biasanya gini "Ah, gw sih makan indomi aja di rumah", ini sebenarnya setengah menyindir lu-tukang-pamer-makan-di-restoran-fancy. Saya rasa besoknya saya akan nulis (di socmed yang sama) cara bikin steak di rumah dengan bahan-bahan yang bisa dibeli di warung Mak Ijah. Mungkin sang komentator tukang kecam akan kembali menyindir lu-tukang-pamer-mentang-mentang-bisa-masak-menu-fancy-di-rumah-sendiri.
SAMPERIN ORANGNYA
Menulis komentar itu perlu waktu, dan bandwidth. Apalagi di negerinya Tiffy Sembiring yang kecepatan koneksi internetnya menggenaskan ini. Jadi kalau ada orang rela buang komentar sinis ke posting kita, pasti dia sebetulnya peduli sama kita sampek-sampek mau membuang waktu dan bandwidth-nya yang berharga.
Saya punya kebiasaan nengokin satu-satu komentator-komentator saya, bahkan mereka-mereka yang berkomentar sinis. Foto-foto mereka di Instagram saya sambangin, dan saya kasih komentar dengan nada yang baik. Account Twitter-nya saya datengin, lalu saya follow. Blognya saya sumbangin komentar, dan saya selalu berupaya supaya isi komentar saya ada solusinya (nggak cuman ngomong "Setuju!" atau "Nggak setuju!"). Ternyata itu berdampak baik. Mereka yang tadinya sinis, jadi lebih ramah sedikit. Alhamdulillah, nggak jarang dari para pembaca asing yang dulu sinis sama isi blog saya sekarang malah jadi teman baik.
TERIMA SAJA
Bagian yang merepotkan adalah kalau kita ini public figure. Misalnya kita ini Angelina Jolie. Atau kita ini presiden Maladewa. Atau minimal kita ini ketua RT di kampung. Nggak usah gembar-gembor pun orang sudah akan datang dan lihat posting-an kita. Dan ada aja komen-nya, mulai dari yang sepedas sambel Mak Ijah atau yang sepahit pil kina. Dalam hal ini kita yang kudu dewasa legowo nerima status kita sebagai seleb. Berani jadi public figure berarti harus berani disinisin setiap saat.
Kalau nggak berani disinisin? Ya sudah, gembok aja account kita supaya nggak gampang dikomentarin yang enggak-enggak. Kolom komentar blognya dipasangin moderasi. Account Twitter atau Instagram-nya dipasangin lock. Facebook-nya di-setting supaya yang bisa ngintip cuman orang-orang tertentu aja. Nggak tahu caranya setting privacy, moderasi, atau pasang lock? Ya jangan buka account social media dong ah. Singkatnya, kalau gaptek ya jangan marah kalau dikomentarin oleh orang sinis..
Selalu ada seribu cara mengekspresikan diri. Dan akan ada sepuluh ribu anjing menggonggong. Kalau bisa, anjing yang menggonggong itu dirangkul, diajarin supaya nggak nggonggong ke kita. Tapi kalo sudah dibaik-baikin ternyata masih galak, ya sudah, pasang pager setrum aja. Yang jelas, gonggongan anjing manapun itu, nggak perlulah sampek gangguin hidup kita..