Tuesday, July 1, 2014

Kartu Lebaran, Jaman Doeloe

Jaman saya kecil dulu, setiap menjelang Lebaran, kesibukan bokap adalah pesen kartu Lebaran atas nama dirinya. Bokap biasanya pesen 100-200 lembar. Lalu, dos-q ngetik label alamat sanak-sodara dan teman-temannya pake mesin ketik Brother yang pitanya kayaknya nggak abis-abis itu.
Saya seneng banget sama kartu ini.
Orang yang milihin kartu ini pasti niat banget, soalnya bikinnya rada butuh usaha.
Gambar diambil dari sini

Saya selalu terpesona sama kesibukan bokap itu, dan saya selalu nandak-nandak kepingin ikutan. Maka tugas saya adalah nempelin label-label alamat itu di tiap amplop. Gara-gara itu, saya jadi kenal nama-nama sodara-sodara tua dan teman-temannya bokap sampek sekarang.

Bokap punya catetan khusus berisi daftar nama itu. Tiap tahun jumlah isi daftar itu selalu berubah. Ada yang nggak dikirimin lagi, biasanya karena dua tahun berturut-turut nggak pernah mbalas kartu. Ada nama baru yang ditulis tangan, biasanya karena baru kenal.

Nyokap saya bilang, dengan kebiasaan kirim kartu ini, bokap saya jadi ngerti siapa yang udah pindah rumah, siapa yang udah meninggal. (Dan siapa yang mutusin silaturahmi, hihihi.)



Setiap hari, kotak pos di rumah saya selalu penuh dengan kartu Lebaran, dan saya selalu excited melihat siapa-siapa aja yang kirim kartu. Bokap selalu harus buka amplopnya duluan, baru nyokap. Setelah itu saya boleh buka. Hati saya selalu senang kalau pengirimnya nyebut-nyebut seperti, "Salam buat Mbak Vicky, sekarang sudah kelas berapa?" Rasanya senang disebut namanya oleh orang sepuh, padahal waktu itu saya cuman bocah ingusan yang menstruasi aja belom. Dasar haus perhatian.

Oh ya, kebiasaan ini nggak cuman Lebaran aja lho. Kebiasaan yang sama juga berlaku menjelang Natal, meskipun jumlah kartu Natal yang dikirimin lebih sedikit daripada kartu Lebaran. Kami tidak punya teman beragama Nasrani yang cukup banyak untuk menuh-menuhin lapangan bola.

Sekarang hampir-hampir nggak ada lagi orang kirim-kirim kartu Lebaran. Malah buku catetan bokap saya yang berisi daftar alamat udah berubah jadi data digital di dalem laptop. Secara menggila data itu baru di-update kemaren, waktu saya dan adek saya menikah, haha. Itu pun sebelumnya pake kirim pesen dulu di Facebook ke orang yang bersangkutan, "Nyuwun sewu, saya mau kirim undangan. Apakah Anda masih beralamat rumah di Jl X nomer Y kota Z kode pos 12345?"

Budaya pesan digital yang menggantikan budaya kartu Lebaran memang lebih irit dan lebih ramah lingkungan. Tetapi saya bertanya-tanya apakah sekarang pesan digital yang kita kirimkan saban Lebaran itu masih sama jumlahnya dengan jumlah kartu Lebaran yang kita kirimkan dulu? Seharusnya social media membuat teman kita nambah banyak, bukan nambah sedikit. Jadi mestinya, masih adakah alasan untuk tidak mengirimkan ucapan selamat Lebaran?

Jawabannya, ada. Fasilitas "Send to All" pada e-mail dan sms membuat emosi yang tercipta dalam silaturahmi menjadi sirna. Apalagi fasilitas broadcast BBM yang menyebalkan itu. Pesan seragam yang copy-pasted kadang-kadang bikin saya merasa


 "I'm just another number inside your phonebook."


Dan itu membuat setan kecil dalam diri saya berkata, "Masih untung nomermu belom di-delete, dasar bibir silet."