Bahwa untuk setiap ayah yang mendapat musibah, selalu ada anak perempuan yang harus menanggung akibat dari bencana itu.
Tahun 1996, di tengahnya lagi upacara bendera di sekolah gw. Uyya, 14, nama aslinya dilindungi demi nama baiknya sendiri, jatuh semaput. Guru-guru ngira Uyya belum sarapan. Tapi teman-temannya nyangkal lain. Menurut mereka, Uyya emang sering lesu dan nggak semangat. Dan anehnya, temen gw ini bawaannya suka pengen nangis melulu.
Nyokapnya Uyya adalah temen arisan nyokap gw. Suatu ketika dalam sebuah safari rohani, si tante masuk ke kamar nyokap gw dan mewek tersedu-sedu. Katanya, bokapnya Uyya udah lama selingkuh sama perempuan lain.
Ketika nyokap gw cerita itu ke gw, gw langsung ingat betapa seringnya Uyya nampak sedih di sekolah.
***
Tahun lalu, pas gw lagi jaga di rumah sakit, seorang pasien diabetes yang lagi dirawat mendadak kena stroke. Gw nolong dengan nulis resep, lalu perawat ngasih resep itu ke keluarganya. Sang keluarga ngeluh, coz mereka nggak bisa beli obatnya malam itu juga. Anak perempuan pasien itu lari ke kamar jaga gw, untuk minta konsul apakah dia boleh nunda beli obatnya.
Begitu melihat gw, anak perempuan itu lepas kendali dan memeluk gw kencang-kencang. Ternyata dia Winia, temen gw pas SMP. Winia memohon-mohon supaya gw ngusahain yang terbaik buat nyelamatin bokapnya.
Gw merasa tanggung jawab gw jadi berlipat-lipat coz anak dari pasien ini adalah sahabat kecil gw sendiri. Tapi laki-laki ini terlalu sulit. Diabetesnya nggak karuan, strokenya parah. Gw terpaksa menandatangani surat pemindahannya ke ICU. Winia nangis malam itu dan hati gw remuk redam karena gw nggak berdaya dan cuma bisa menangani sebagai dokter umum.
Pasien itu nggak lama di ICU. Winia sendiri yang meng-SMS gw ketika bokapnya meninggal sebelum jam kantor dimulai. Boss gw, yang megang kendali tertinggi atas terapi pasien itu, bilang bahwa diabetes udah bikin ginjalnya porak-poranda. Ketika gw menemui Winia di ruang jenazah, dia nggak balas pelukan gw coz terlalu sibuk nangis sambil baca Yasin di sebelah bokapnya.
***
Hari ini, waktu gw baca Detik.com, gw nemu nama ayahnya Annisa divonis 4,5 tahun penjara atas korupsi yang dituduhkan kepadanya waktu dia jadi deputi gubernur Bank Indonesia.
Perasaan gw nggak sesensi ini kalo yang diomongin adalah bokapnya orang lain. Tapi ini bokapnya Annisa, almamater fakultas ekonomi di kampus gw, dua angkatan di atas gw. Dan temannya sering cerita ke gw bahwa Annisa adalah cewek biasa yang periang dan supel, nggak pernah sombong biarpun Annisa udah jadi model dan bokapnya jadi pejabat.
Waktu gw buka iklan batik Allure di mana Annisa jadi model ini, gw bertanya-tanya apa yang dia rasakan kalo ayahnya divonis jadi narapidana. Bisakah dia tetap tersenyum seperti ini?
***
Kita anak perempuan nggak pernah ingin bokap kita kena musibah. Nggak ada yang berandai-andai bokap kita berakhir begini. Uyya nggak pernah minta bokapnya selingkuh sampai akhirnya nyakitin hati nyokapnya. Winia nggak pernah minta bokapnya ngebul melulu sampai akhirnya meninggal karena gagal ginjal. Dan Annisa nggak pernah minta bokapnya korupsi sampai akhirnya kudu dipenjara. Kita cuma mau ayah yang biasa aja. Yang gagah, yang sehat, yang setia, yang terhormat, yang bisa hadir merayakan setiap ulang tahun cucu-cucunya.
Mendadak gw jadi kangen bokap gw, laki-laki yang paling gw cintai karena masih normal. Please lah, gw dapet suami yang baik-baik aja, yang bisa dibanggain anak perempuan gw setiap saat.
*I love you, Pops. Vicky pulang paling lambat 75 hari lagi yaa..*
(Tersenyum sembari dengerin Beverley Craven - Promise Me)
http://georgetterox.blog.friendster.com
www.georgetterox.blogspot.com