Huehehe..gw tau kadang-kadang masyarakat begitu awam. Tapi gw pikir pers nggak boleh mengekspresikan kesotoyan mereka kalo mereka awam juga. Coz pers yang sotoy sangat berbahaya, karena bisa menyesatkan masyarakat.
Seperti yang ditulis di sebuah koran terbitan Kalimantan Tengah hari ini, "...dokter spesialis anak F mengatakan bahwa bayi J mengalami masalah dengan paru-parunya. Namun selama menderita paru-paru, tapi tidak ditangani oleh dokter spesialis penyakit dalam."
Gw sampai ngakak bacanya. Inilah akibatnya kalo orang nggak kompeten disuruh jadi wartawan. Nih orang nggak pernah gaul ya? Emang kenapa bayi sakit paru kalo nggak ditangani dokter penyakit dalam? Nggak ada hubungannya toh?
Lalu gw mikir barangkali ini bukan masalah wartawannya yang nggak tau, tapi mungkin orang awam umumnya juga nggak tau. Berkat ketidaktahuan masyarakat kita yang specialist-minded, orang sering ngira bahwa penyakitnya kudu langsung ditanganin dokter spesialis. Misalnya kasus bayi J yang sakit paru di atas, wartawan menyangka si bayi mestinya ditangani dokter spesialis penyakit dalam. Padahal seharusnya bayi dalam usia berapa pun kudu ditangani dokter anak. Dokter umum juga boleh menolong, untuk kasus-kasus di mana dokter umum itu kompeten. Tapi yang jelas, bayi tidak boleh ditangani dokter penyakit dalam.
Kapan dokter anak boleh lepas tangan? Ya tunggu sampai anak itu udah nggak pantas didefinisikan sebagai anak lagi, yaitu setelah umur 15 tahun.
Atau kalo penyakitnya lebih berat ke organ tubuhnya, bukan karena sifat anak-anaknya. Misalnya kasus bayi yang saraf matanya copot, ya kudu ditangani dokter mata, bukan dokter anak. Anak umur lima tahun mengalami pecah usus buntu, dibawa ke dokter bedah, bukan ke dokter anak. Anak dipanggil nggak mau noleh coz kupingnya congekan, kudu ditangani dokter THT, bukan dokter anak. Hal ini dikarenakan dokter anak nggak pernah dapet kurikulum buat diajari nyambungin saraf mata bayi, membuka usus, atau ngambil congek di kuping anak.
Jadi bayi yang sakit paru karena prematur kudu ditangani siapa? Ya harusnya tetap oleh dokter anak. Dokter penyakit dalam, ataupun dokter spesialis paru, nggak boleh ikut campur. Coz dokter penyakit dalam cuman boleh meladeni orang yang berumur 15 tahun ke atas. Dan dokter paru juga nggak kompeten di sini, coz penyakitnya terjadi karena prematur. Dokter paru nggak ada urusan sama apapun yang prematur.
Tentu saja masyarakat awam tidak tahu ini. Dokterlah yang berwenang menentukan apakah seorang pasien harus dirujuk atau tidak, asalkan pasiennya setuju atau pasiennya sendiri yang ngusulin. Tetapi pers? Nggak boleh ikut campur, menggurui, apalagi sampai bikin tulisan sesat yang potensial menggiring publik menuju opini liar. Termasuk bikin pembaca mengira bahwa bayi yang sakit paru kudu ditangani dokter spesialis penyakit dalam.
Nggak semua wartawan itu sok tau. Tapi menurut gw, orang sok tau nggak boleh jadi wartawan. Duh, koran-koran ini harus menelaah ulang kualitas wartawan mereka deh.