Semua guru agama samawi di sekolah kita nyeritain kisah David vs Goliath, bikin kita ingat selalu tentang si lemah vs si kuat, si pintar vs si bodoh, si baik vs si jahat. Tuhan nulisin itu dalam kitab suci-Nya buat ngajarin kita supaya kita berpegang teguh pada ilmu (agama) kita supaya kita nggak pernah kesasar. David a.k Daud telah membuktikan itu, dia mungkin lemah, tapi karena dia tetap beriman dan bersikap baik, maka Tuhan membuka akalnya supaya David dengan pintar bisa ngalahin Goliath si durjana.
Kisah itu terulang terus hingga masa kini, cuman dengan versi baru. Skenarionya sama, tapi pemeran utamanya beda. Selalu aja ada si jahat vs si baik, si kuat vs si lemah, si pinter vs si bloon. Sialnya kita dengan gampangnya nyebut si ini jahat dan si itu baik, maka dengan gampangnya kita serta-merta membela apa yang kita sangka itu baik. Yang mana kita lupa bahwa apa yang kita kira baik itu belum tentu benar, dan apa yang nampaknya jahat belum tentu salah.
Kisah klasik ini diceritain sebelum gw berangkat ke Cali. Dulu tuh, tahun '70-an, rakyat Kapuas tinggal dengan kondisi yang amit-amit. Kurang pengetahuan, kurang harta, kurang sopan.
Lalu Presiden mengutus seorang dokter untuk tugas di situ, gantiin dokter sebelumnya yang meninggal. Tiba di sana, dokter itu nyadar betapa mengharukannya Kapuas itu. Penduduk senang boker sembarangan, ngga ada yang pergi ke sekolah, dan yang menyedihkan: semua orang masih percaya dukun.
Karena pasien-pasien lokal bolak-balik mencret melulu, maka Pak Dokter nyuruh rakyat berhenti boker sembarangan dan bantuin ngajarin bikin WC. Ini susah, coz kan secara turun-temurun mereka udah boker apa adanya, ngapain pake acara bikin WC segala. Di sinilah perlahan-lahan Pak Dokter dianggap oleh rakyat sebagai si rese pengganggu.
Suatu hari, ada anak kecil sakit panas gitu, lalu orangtuanya bawa dia ke dukun yang nganggap anaknya kerasukan setan. Buat ngusirnya, bodi si anak dijungkirin hingga kaki di atas dan kepala di bawah. Dengan posisi itu, si dukun ngerendam kepala anak itu ke ember, berulang-ulang sampai dikiranya panasnya ilang.
Pak Dokter nyuruh rakyat berhenti ngobatin anak dengan cara itu. Bilangnya, ini dukun apakah pernah sekolah perawat atau kedokteran, kok sampai dipercayai bisa nyembuhin penyakit?
Akhirnya, seluruh rakyat kumpul, berunding, dan sepakat: Pak Dokter harus diusir, coz udah ganggu keyakinan warga. Atau kalo tidak, "sesuatu yang buruk" akan terjadi.
Pak Dokter menghadapi dengan tenang. Dia bilang, dia dateng ke Kapuas, coz disuruh Pemerintah, bukan keinginan sendiri. Dan sebelum dia ke situ, dia sudah tau bahwa temannya yang dulunya dokter di situ, meninggal karena penyakit "yang tidak diketahui sebabnya". Jadi kalo sudah tau itu, tapi masih mau dateng juga ke Kapuas, berarti Pak Dokter sudah siap mau mati di situ. "Nah, sekarang Sodara-sodara ini mau apa?"
Sejak itu, rakyat ngga pernah lagi musuhin Pak Dokter. Pak Dokter melaksanakan tugasnya di sana sampai selesai, dan pulang ke Jawa tanah airnya bawa segudang cerita. Cerita itu dikisahkannya pada keluarganya, termasuk pada ponakannya, Little Laurent.
Entah kenapa gw malah nemu unsur-unsur David vs Goliath di situ.
Si kuat vs si lemah. Buat penduduk lokal, Pakde gw nggak ubahnya macam perpanjangan tangan Pemerintah kuat yang telah mengeksploitasi kayu-kayu di Kapuas tanpa kasih kompensasi pembangunan buat rakyat yang lemah. Tapi di sisi lain, Pakde gw lemah coz kudu berjuang sendirian, melawan dukun lokal yang kuat coz didukung rakyat yang mempercayainya sejak jaman nenek moyang mereka.
Si pintar vs si bodoh. Dukun dianggap pinter coz bisa langsung mendinginkan anak yang demam setelah nyeburin kepala anak ke ember, bandingin sama dokter yang buat nyembuhin anak pake acara minum obat dulu dan sembuhnya berjam-jam kemudian. Tapi di sisi lain, dokter itu pinter coz dia sekolah, dan dukun itu bego coz dia nggak sekolah.
Si baik vs si jahat. Rakyat yang nyaman boker sembarangan merasa terusik oleh dokter jahat yang nyuruh mereka bikin WC. Dan di sisi lain, Pakde gw kudu melawan dukun yang tega-teganya merendam kepala anak yang demam demi nurunin panasnya. Siapa yang jahat, coba?
Jadi, yang mana item, yang mana putih, itu sangat relatif!
Kasus Prita vs RS Omni telah sukses menggiring opini publik untuk mengecap seenaknya tentang yang mana yang jahat, yang mana yang lemah. Berterima kasihlah kepada para media massa dan netizen yang telah mem-blow up kasus ini berlebihan. Sampai-sampai kita lupa yang mana yang mestinya layak dituntut: Yang sudah mengabaikan hak bertanya pasien atas keadaan tubuhnya sendiri, atau yang sudah mencemarkan nama baik orang lain? Ini "David vs Goliath" versi baru. Yang ngerti hukum lawan yang nggak ngerti hukum. Yang didukung media massa lawan yang nggak punya teman wartawan. Tapi nggak jelas yang mana "David", yang mana "Goliath".
Dan untuk yang satu ini, kita lupa bahwa yang lemah belum tentu tidak berdosa, dan yang kuat belum tentu durjana..