Andai aku jadi pria, aku tidak perlu cari semak-semak belukar yang lebat hanya untuk menghindari orang dan semut merah yang melihatku pipis sambil jongkok.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu tiap bulan buang-buang duit untuk membeli satu paket pembalut yang ada sayapnya untuk siang hari dan yang ekstra panjang untuk malam hari. Dan akt tidak perlu sedia minuman haid di tas pada hari-hari tertentu untuk mencegahku mencakar siapapun yang berani menggangguku.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu bangun dua jam lebih awal hanya untuk mandi, keramas, mengoleskan moisturizer, menyemprotkan parfum, memilih baju, memilih sepatu, memilih tas, mengganti baju, mengganti sepatu, mengganti tas, memasang make-up, menyisir rambut, dan turun ke dapur untuk membuatkan sandwich dan teh buat kekasihku yang masih enak-enak mendengkur.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu repot-repot mencukur bulu ketiak tiap dua kali seminggu atau repot-repot membedakinya supaya kalau aku tidak sengaja mengangkat lenganku orang akan melihat hutan hujan tropis kena salju.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu memisahkan braku dari mesin cuci supaya kawatnya tidak sampai merusak ukurannya yang semula A menjadi C. Dan aku tidak perlu minder kalo toko bra yang kudatangi tidak menyediakan ukuran 32 atau bahkan 38.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu belajar memasak hanya karena takut tidak disukai calon ibu mertua. Dan aku tidak akan menghabiskan waktu di dapur hanya untuk menghapal yang mana jahe, yang mana kemiri, yang mana pala, yang mana lengkuas.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu membusungkan perutku selama sembilan bulan sambil mencari posisi enak buat tiduran sambil duduk. Dan aku tidak perlu mengakhirinya di atas meja jagal sementara bidan yang galak menjahit selangkanganku yang robek di bawah biusan lidokain 2% setelah aku mengeluarkan hasil karya kolaborasiku dengan kekasihku.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu dituduh kekasihku sebagai "high-maintenance" hanya karena aku menyiapkan ekstra anggaran untuk membeli krim anti-aging ketika usia sudah mulai menginjak 25 tahun. Dan aku tidak perlu sepanik kemaren ketika ada pengumuman bahwa krim anti-aging bikinan Thai yang selama ini kupakai ternyata telah masuk daftar cekal BPOM.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu kuatir salah menyetir dengan membelokkan mobil di jalan yang salah, dan orang tak perlu membunyikan klakson keras-keras sambil memakiku, "Dasar cewek!"
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu semarah ini waktu Brad Pitt meninggalkan Jennifer Aniston, tidak perlu berang ketika Tom Cruise mencampakkan Nicole Kidman, dan tidak perlu mencaci waktu Ariel Peterpan selingkuh dari Sarah Amalia. Dan tidak perlu ikut-ikut menyebut Angelina Jolie, Penelope Cruz, dan Luna Maya sebagai perusak rumah tangga orang.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu terharu untuk setiap film "Pretty Woman" yang kutonton berkali-kali, apalagi menatap sayu ketika Julia Roberts pergi meninggalkan hotel yang diinapi Richard Gere sementara Roxette menyanyikan "It Must Have Been Love".
Andai aku jadi pria, tidak perlu perutku mulas melihat warna kebiru-biruan di dagunya yang baru cukuran, ketika mencium aftershave-nya yang harum, apalagi sampai mengerang perih sekaligus bahagia waktu mulutku terparut oleh janggutnya yang mulai tumbuh 2-3 hari kemudian.
Andai aku jadi pria, aku tidak perlu resah menunggu ditembak, dicium, dilamar oleh orang yang kusukai, sehingga hatiku takkan segalau ini apalagi jika dia tidak menelepon, mengirim pesan, atau sekedar menyalakan lampu apartemennya untuk membuktikan bahwa dia akan selalu ada untukku; dan bahwa aku seharusnya bisa membuatnya mencintaiku, tapi takut dibilang agresif.
Kenapa aku malah jadi perempuan? Aku ingin mengejar, tapi aku tak boleh mengejar dan malah harus menunggu untuk dikejar. Kalo harus menunggu, kapan mau dapetnya?
Tuhan, jika kecantikan adalah sebuah dosa, maka tolong ampunilah dosa saya..