Alkisah ada seorang emak punya duit nganggur. Dos-q kepingin putar duit itu supaya bisa berbuah jadi duit lagi sekaligus cari pahala dengan nolongin orang lain bikin usaha. Karena dos-q kepingin duitnya diputar secara profesional, nggak mengandung riba, dan untung banyak, jadi terpikirlah buat dos-q untuk bikin reksadana saham syariah.
Setelah browsing sana sini akhirnya nemu dua produk reksadana saham syariah yang kinerjanya paling bagus di Indonesia, sebut aja yang satu namanya Reksadana Amanah dan satu lagi namanya Reksadana Amaliah. Reksadana Amanah ini dijual oleh manajer investasi Amanah, sedangkan Reksadana Amaliah dijual oleh manajer investasi Amaliah (saya ini kok nggak kreatif banget yak kalo ngarang nama?).
Amanah maupun Amaliah sama-sama bikin return yang lebih gede dari indeks return-nya JII. Sama-sama bisa bangun dari anjloknya musim lesu di tahun 2008. Cuman bedanya, Amanah dijual di bank, sedangkan Amaliah ini nggak ketemu dijual di bank mana-mana.
Akhirnya sang emak buka website-nya manajer Amaliah dan nemu alamat e-mail manajer tersebut. Dos-q pun kirim e-mail ke manajernya, bilang dos-q kepingin beli produk mereka tapi nggak tahu mau beli di mana.
Dalam tempo kurang dari 24 jam, ternyata marketing perusahaan manajer Amaliah di Jakarta langsung nelfon sang emak dan bilang kalau sang emak boleh beli reksadana itu secara online. Asalkan pembelian awalnya minimal Rp 500k.
Tapi sang emak penasaran kepingin tahu Amaliah itu cara kerjanya kayak apa selama lima tahun terakhir, dan hal-hal gituan nggak puas dos-q dapetin cuman dengan ngomong kepada seseorang di telfon. Jadi sang marketing persilakan sang emak dateng ke kantor cabang mereka di Surabaya, coz kebetulan sang emak itu tinggal di Surabaya. Sang marketing juga kirimin fact sheet-nya reksadana itu ke e-mail sang emak buat jadi bahan info sang emak.
Liat isi fact sheet-nya bagus, dan respons perusahaannya bagus ke calon customer, plus dibukain undangan buat ke kantor cabang deket rumahnya pula, maka sang emak pun bersemangat mau dateng ke kantor itu. Saking semangatnya, dos-q udah tiba di kantor cabang Amaliah semenjak jam 8 pagi, tapi sayangnya pintu kantor itu masih ditutup. Jadi sang emak nunggu dengan sabar sembari nge-brunch di seberang kantor itu sampek pintu kantor itu terbuka. 1,5 jam dos-q nunggu tapi pintunya nggak terbuka-buka juga. Akhirnya dos-q pun mutusin buat masuk kantor itu sendiri. (Mungkin kantor itu nggak punya kebiasaan membuka pintu.)
Masuk ke kantor itu, sang emak tercengang karena ternyata tuh kantor nggak ada resepsionisnya. Seorang office boy lewat dan nanya ada perlu apakah sang emak. Sang emak bilang mau ketemu marketing dan berencana beli reksadana. Sang OB pun persilakan emak nunggu dulu.
Beberapa menit kemudian seorang pegawai keluar dan menemui sang emak. Paham bahwa sang emak berminat mau nanem modal, maka sang pegawai minta sang emak nunggu supaya sang pegawai bisa cari informasi yang emak butuhkan.
Sambil duduk nunggu, sang emak cetek-cetek HP. Beberapa pegawai lalu lalang lewat dan sang emak melirik. Pegawai cantik-cantik, tapi sayang rambutnya diuwel-uwel nggak keruan a la mbok tukang cuci, jalannya ceplek-ceplek menyesuaikan dengan kakinya yang cuman pake sendal. Ebuset, ini kantor apaan kok pegawainya cuman pake sendal di depan calon pelanggan?
Lalu sang marketing kembali dan nyodorin beberapa brosur. Sang emak langsung nyari grafik kinerja si reksadana. Dan sang marketing langsung ngeh bahwa brosurnya itu keluaran empat tahun lalu. Eiaaa..brosur jaman jebot kok dipamer-pamerin..
Sang marketing lari lagi ke dalem, dan balik lagi dengan fact sheet keluaran sebulan lalu. Sang emak cuman baca sekilas, coz dos-q udah apal contekan fact sheet yang dos-q download sendiri dari kiriman manajer itu di Jakarta.
Emak: "Berapa biaya pembeliannya, Mbak?"
Mbak: "Mmm.. Maksimal 2%, Bu."
Emak: "Maksimal? Jadi minimal berapa persen?" (Emak lagi berhitung di kepala berapa persisnya biaya yang kudu dos-q keluarin.)
Mbak: "Mmm.. Tergantung yang di Jakarta, Bu."
Sang emak bingung. Apakah dos-q kudu nunggu keputusan perusahaan itu buat menentukan biaya atau ini hanya semata-mata gara-gara dos-q belom bilang berapa modal yang mau dos-q tanem? Dos-q mulai melempar pandangan lu-ngga-bisa-jelasin-ke-gw-faktor-apa-aja-yang-bisa-bikin-biaya-pembelian-itu-berubah-ubah ke sang mbak-mbak nan malang.
Emak: "Oke." (Mulai kasihan kepada sang mbak yang kayaknya nggak hapal produk yang mestinya dos-q jual.) Ini aja deh yang paling gampang. "Minimal beli berapa?"
Mbak: "Minimal pembeliannya lima, Bu."
Emak (terkejut): "Lima juta?"
Mbak: "Iya, Bu."
Emak: "Lho, kemaren marketing Jakarta nelfon saya bilang katanya minimal belinya Rp 500 ribu?"
Mbak (sekarang ganti kaget): "Oh iya, Bu? Baik, nanti saya tanyakan lagi."
Sang emak mengerutkan kening. Padahal di fact sheet yang dikasih si mbak barusan ditulis di situ kalau pembelian minimal Rp 1 juta.
Maka sang emak pun bilang terima kasih, meninggalkan kantor dan mencatat bahwa dos-q nggak mau nanem modal di reksadana Amaliah atau beli produk apapun di perusahaan itu.
Semalem sang emak telah membaca bahwa Amanah yang menjadi saingan berat Amaliah tahun lalu, boleh dibeli dengan minimal Rp 1 juta aja. Dan dijual di sebuah bank yang kebetulan sang emak udah jadi nasabahnya. Bank itu punya customer service yang cukup bagus dan officer-nya bisa menjelaskan produk reksadana titipannya dengan baik biarpun udah jelas kalau bukan dia yang jualan.
Saya ngomongin cerita ini dengan my hunk, dan menilai bagaimana error marketing ini mengakibatkan kegagalan penjualan cuman gegara "wrong sales" dan "wrong company". Padahal sang emak udah seneng sama kesan pertama produknya. Sudah rela kalau mau bayar banyak. Sudah mau sediain waktu untuk dateng ke pemilik produknya dan kasih kesempatan sang marketing untuk merayunya.
Sayang banget sang emak malah jadi pindah ke produk saingan. Coba kalo sales-nya bisa cerita ke sang emak bagaimana produk ini gampang dijual, bayarnya dengan cara X, dengan biaya pembelian Y yang ditentukan dari Z, sang emak mungkin akan tertarik untuk bayar biarpun pada akhirnya dia harus keluar banyak biaya.
Atau bisa jadi ini salah perusahaannya. Marketing-nya kantor induk dengan marketing anak cabangnya di Surabaya nggak kordinasi sehingga nyanyian sales-nya nggak sinkron. Atau memang kantor anak cabang itu cuman administrasi dan diperparah karena nggak didesain untuk ketemu konsumen langsung. Itu menjelaskan kenapa pintu kantor nggak dibuka-buka sampek siang, kenapa pegawainya cuman pake sendal teplek, kenapa nggak ada resepsionis untuk jadi representatif perusahaan.
Perusahaannya nggak siap ditodong calon konsumen yang kepingin tahu. Mereka menyodorkan stafnya yang nggak bisa nyanyi. Dan kesulitan bikin konsumennya percaya bahwa konsumennya aman kalau mau nanem modal sama mereka. Pada akhirnya, perusahaan ini kehilangan kesempatan untuk mendapatkan konsumen yang bisa jadi calon klien berharga buat mereka.
Atau jangan-jangan ini masalah wrong client. Produk ini cuman dijual untuk scope konsumen tertentu, dan sang emak bukan bagian dari scope itu.
Pembeli itu adalah raja. Jangan dibikin penasaran. Kalau mereka puas, mereka akan setia (dan pasti promosi ke calon pembeli yang lain). Tapi kalau mereka kecewa, mereka akan minggat.
Setelah browsing sana sini akhirnya nemu dua produk reksadana saham syariah yang kinerjanya paling bagus di Indonesia, sebut aja yang satu namanya Reksadana Amanah dan satu lagi namanya Reksadana Amaliah. Reksadana Amanah ini dijual oleh manajer investasi Amanah, sedangkan Reksadana Amaliah dijual oleh manajer investasi Amaliah (saya ini kok nggak kreatif banget yak kalo ngarang nama?).
Amanah maupun Amaliah sama-sama bikin return yang lebih gede dari indeks return-nya JII. Sama-sama bisa bangun dari anjloknya musim lesu di tahun 2008. Cuman bedanya, Amanah dijual di bank, sedangkan Amaliah ini nggak ketemu dijual di bank mana-mana.
Akhirnya sang emak buka website-nya manajer Amaliah dan nemu alamat e-mail manajer tersebut. Dos-q pun kirim e-mail ke manajernya, bilang dos-q kepingin beli produk mereka tapi nggak tahu mau beli di mana.
Dalam tempo kurang dari 24 jam, ternyata marketing perusahaan manajer Amaliah di Jakarta langsung nelfon sang emak dan bilang kalau sang emak boleh beli reksadana itu secara online. Asalkan pembelian awalnya minimal Rp 500k.
Tapi sang emak penasaran kepingin tahu Amaliah itu cara kerjanya kayak apa selama lima tahun terakhir, dan hal-hal gituan nggak puas dos-q dapetin cuman dengan ngomong kepada seseorang di telfon. Jadi sang marketing persilakan sang emak dateng ke kantor cabang mereka di Surabaya, coz kebetulan sang emak itu tinggal di Surabaya. Sang marketing juga kirimin fact sheet-nya reksadana itu ke e-mail sang emak buat jadi bahan info sang emak.
Liat isi fact sheet-nya bagus, dan respons perusahaannya bagus ke calon customer, plus dibukain undangan buat ke kantor cabang deket rumahnya pula, maka sang emak pun bersemangat mau dateng ke kantor itu. Saking semangatnya, dos-q udah tiba di kantor cabang Amaliah semenjak jam 8 pagi, tapi sayangnya pintu kantor itu masih ditutup. Jadi sang emak nunggu dengan sabar sembari nge-brunch di seberang kantor itu sampek pintu kantor itu terbuka. 1,5 jam dos-q nunggu tapi pintunya nggak terbuka-buka juga. Akhirnya dos-q pun mutusin buat masuk kantor itu sendiri. (Mungkin kantor itu nggak punya kebiasaan membuka pintu.)
Masuk ke kantor itu, sang emak tercengang karena ternyata tuh kantor nggak ada resepsionisnya. Seorang office boy lewat dan nanya ada perlu apakah sang emak. Sang emak bilang mau ketemu marketing dan berencana beli reksadana. Sang OB pun persilakan emak nunggu dulu.
Beberapa menit kemudian seorang pegawai keluar dan menemui sang emak. Paham bahwa sang emak berminat mau nanem modal, maka sang pegawai minta sang emak nunggu supaya sang pegawai bisa cari informasi yang emak butuhkan.
Sambil duduk nunggu, sang emak cetek-cetek HP. Beberapa pegawai lalu lalang lewat dan sang emak melirik. Pegawai cantik-cantik, tapi sayang rambutnya diuwel-uwel nggak keruan a la mbok tukang cuci, jalannya ceplek-ceplek menyesuaikan dengan kakinya yang cuman pake sendal. Ebuset, ini kantor apaan kok pegawainya cuman pake sendal di depan calon pelanggan?
Lalu sang marketing kembali dan nyodorin beberapa brosur. Sang emak langsung nyari grafik kinerja si reksadana. Dan sang marketing langsung ngeh bahwa brosurnya itu keluaran empat tahun lalu. Eiaaa..brosur jaman jebot kok dipamer-pamerin..
Sang marketing lari lagi ke dalem, dan balik lagi dengan fact sheet keluaran sebulan lalu. Sang emak cuman baca sekilas, coz dos-q udah apal contekan fact sheet yang dos-q download sendiri dari kiriman manajer itu di Jakarta.
Emak: "Berapa biaya pembeliannya, Mbak?"
Mbak: "Mmm.. Maksimal 2%, Bu."
Emak: "Maksimal? Jadi minimal berapa persen?" (Emak lagi berhitung di kepala berapa persisnya biaya yang kudu dos-q keluarin.)
Mbak: "Mmm.. Tergantung yang di Jakarta, Bu."
Sang emak bingung. Apakah dos-q kudu nunggu keputusan perusahaan itu buat menentukan biaya atau ini hanya semata-mata gara-gara dos-q belom bilang berapa modal yang mau dos-q tanem? Dos-q mulai melempar pandangan lu-ngga-bisa-jelasin-ke-gw-faktor-apa-aja-yang-bisa-bikin-biaya-pembelian-itu-berubah-ubah ke sang mbak-mbak nan malang.
Emak: "Oke." (Mulai kasihan kepada sang mbak yang kayaknya nggak hapal produk yang mestinya dos-q jual.) Ini aja deh yang paling gampang. "Minimal beli berapa?"
Mbak: "Minimal pembeliannya lima, Bu."
Emak (terkejut): "Lima juta?"
Mbak: "Iya, Bu."
Emak: "Lho, kemaren marketing Jakarta nelfon saya bilang katanya minimal belinya Rp 500 ribu?"
Mbak (sekarang ganti kaget): "Oh iya, Bu? Baik, nanti saya tanyakan lagi."
Sang emak mengerutkan kening. Padahal di fact sheet yang dikasih si mbak barusan ditulis di situ kalau pembelian minimal Rp 1 juta.
Maka sang emak pun bilang terima kasih, meninggalkan kantor dan mencatat bahwa dos-q nggak mau nanem modal di reksadana Amaliah atau beli produk apapun di perusahaan itu.
Semalem sang emak telah membaca bahwa Amanah yang menjadi saingan berat Amaliah tahun lalu, boleh dibeli dengan minimal Rp 1 juta aja. Dan dijual di sebuah bank yang kebetulan sang emak udah jadi nasabahnya. Bank itu punya customer service yang cukup bagus dan officer-nya bisa menjelaskan produk reksadana titipannya dengan baik biarpun udah jelas kalau bukan dia yang jualan.
Saya ngomongin cerita ini dengan my hunk, dan menilai bagaimana error marketing ini mengakibatkan kegagalan penjualan cuman gegara "wrong sales" dan "wrong company". Padahal sang emak udah seneng sama kesan pertama produknya. Sudah rela kalau mau bayar banyak. Sudah mau sediain waktu untuk dateng ke pemilik produknya dan kasih kesempatan sang marketing untuk merayunya.
Sayang banget sang emak malah jadi pindah ke produk saingan. Coba kalo sales-nya bisa cerita ke sang emak bagaimana produk ini gampang dijual, bayarnya dengan cara X, dengan biaya pembelian Y yang ditentukan dari Z, sang emak mungkin akan tertarik untuk bayar biarpun pada akhirnya dia harus keluar banyak biaya.
Atau bisa jadi ini salah perusahaannya. Marketing-nya kantor induk dengan marketing anak cabangnya di Surabaya nggak kordinasi sehingga nyanyian sales-nya nggak sinkron. Atau memang kantor anak cabang itu cuman administrasi dan diperparah karena nggak didesain untuk ketemu konsumen langsung. Itu menjelaskan kenapa pintu kantor nggak dibuka-buka sampek siang, kenapa pegawainya cuman pake sendal teplek, kenapa nggak ada resepsionis untuk jadi representatif perusahaan.
Perusahaannya nggak siap ditodong calon konsumen yang kepingin tahu. Mereka menyodorkan stafnya yang nggak bisa nyanyi. Dan kesulitan bikin konsumennya percaya bahwa konsumennya aman kalau mau nanem modal sama mereka. Pada akhirnya, perusahaan ini kehilangan kesempatan untuk mendapatkan konsumen yang bisa jadi calon klien berharga buat mereka.
Atau jangan-jangan ini masalah wrong client. Produk ini cuman dijual untuk scope konsumen tertentu, dan sang emak bukan bagian dari scope itu.
Pembeli itu adalah raja. Jangan dibikin penasaran. Kalau mereka puas, mereka akan setia (dan pasti promosi ke calon pembeli yang lain). Tapi kalau mereka kecewa, mereka akan minggat.