Sunday, February 16, 2014

Tribut untuk Mama Kantoran

Di social media akhir-akhir ini beredar status-status yang isinya simpati terhadap para mama kantoran. Mama kantoran adalah populasi ibu yang juga kerja di kantor, dan populasi ini sering dihujat karena mereka nitipin anaknya sama pembokat.

Saya sendiri nggak inget persis semenjak kapan isu ini mencuat. Memang semenjak buku Ainun dan Habibie booming, seseorang rupanya mengutip quote Ainun yang mengungkapkan bahwa Ainun adalah seorang dokter umum lulusan Jakarta namun melepaskan kariernya untuk membesarkan anak-anak suaminya. Quote ini booming sekali di Facebook, dan menarik simpati sekelompok wanita rumahan yang kebetulan memang tidak punya pekerjaan. Kelanjutan dari booming quote ini sungguh tidak enak, banyak sekali isu yang meskipun mengangkat kemuliaan status ibu rumah tangga, ternyata malah menyepet para ibu yang bekerja kantoran.


Kita sering denger ungkapan seperti ini:
"Mama yang kerja di kantor mengabaikan anak-anaknya di rumah bersama babysitter/pembokat."
"Anak-anak yang ditinggal kerja oleh ibunya pada akhirnya menjadi 'anak dari pengasuhnya', bukan 'anak dari ibunya'."

Saya kuatir kalau mindset ini dibiarkan berkembang biak tidak karuan, lama-lama kita akan punya stigma baru: "Anak dari ibu rumah tangga lebih bagus mutunya daripada anak dari ibu kantoran." Alangkah cupetnya pikiran itu.

Teman saya, Alexis (sorry bukan nama sebenarnya), yang ibunya adalah ibu rumah tangga yang bersih-bersih rumah saban hari dan nggak pernah bekerja kantoran, dan sekarang Alexis sudah kabur dari rumah untuk menikahi cewek yang nggak disetujui ibunya. Sepupu saya, Morgan, yang seumur hidupnya ditinggal ibunya kerja di Pancoran, dan menurut pendapat saya Morgan adalah cewek yang paling alay dan manja di Jakarta.

Contoh-contoh ini bikin saya ngerti bahwa mau ditinggal pake pembokat atau dikawal terus oleh mami di rumah, bukanlah harga mati untuk menentukan anak itu bakalan jadi orang yang rajin solat atau enggak, jadi dokter bedah atau enggak, bisa masak atau enggak. Jadi kenapa harus jelek-jelekin mama yang ninggalin anak sama pembokat?

Di negara-negara yang pendapatan kapitanya gede, orang nggak biasa nyewa pembokat untuk tinggal di rumah mereka. Toh mereka masih bisa menghasilkan sumber-sumber daya manusia yang bisa jadi insinyur, jadi atlet olimpiade, atau minimal jadi anak yang nggak buang sampah ke sungai sampek bikin ibukota negaranya kebanjiran. Di Indonesia, gaji pembokat di sebuah rumah bisa tinggi sekali bahkan melewati tarif listrik + air bulanan di rumah itu. Tetapi sebagian keluarga masih tetap maksa buat pekerjakan pembokat. Temen saya, yang udah kecanduan pakai pembokat semenjak kecil, ketika harus pergi ngekost di kota lain untuk kuliah, sampek minta emaknya kirim pembokatnya setiap bulan untuk beresin kamar kostnya yang cuman ukuran 3 x 2 meter.

Kenapa mama-mama pada minta pembokat untuk rumah mereka? Karena, supaya ada yang bantu nyapu dan ngepel, sementara mama-mama sendiri sibuk ngelapin piring dan panci. Supaya ada yang bantu nyetrika baju, sementara mama-mama sibuk nyusuin si bungsu dan nganterin si sulung ke sekolah. Pendek kata, ya untuk efisiensi pekerjaan.

Dan jangan kira ngatur pembokat itu gampang. Ngajarin seseorang untuk nyapu sesuai selera kebersihan kita itu susah. Pernah denger anak perempuan dan ibu berantem di rumah gegara perbedaan selera ngepel? Ibu maunya ngepel sampek lantai mengkilat, tapi anak kepingin ngepelnya a la kadarnya aja supaya lantai cepet kering dan bisa segera diinjek. Ngajarin anak ngepel sesuai selera aja susah, apalagi ngajarin pembokat yang notabenenya adalah orang lain?

Dan saya rasa, mama yang milih untuk mempekerjakan pembokat adalah tindakan mulia. Soalnya, namanya aja mempekerjakan, berarti mama tersebut udah bisa kasih makan orang lain. Berarti dia sanggup menyediakan lapangan pekerjaan (meskipun mungkin baru bisa untuk satu orang). Satu orang yang bekerja sebagai pembokat, kira-kira dia bisa menghidupi empat orang keluarganya. Apanya yang nggak mulia itu tindakan si mama? Bandingkan dengan mama yang masih harus kerja kantoran alias masih harus ikut orang supaya bisa menghidupi diri (anak-anak-)nya.

Mama-mama yang udah biasa berumah tangga tanpa pembokat juga nggak perlu merasa lebih hebat daripada mama-mama dengan pembokat. Nggak berani liburan ke luar kota lama-lama lantaran takut nggak ada yang jagain rumah? Maksa anak yang udah menikah untuk tetap tinggal di rumah karena nggak ada sumber daya buat ngepel? Merasa punggung mulai kena osteoporosis karena nyapu rumah sendirian mulai nggak sekuat jaman dahulu? Dan ini waktunya bertanya, "So you think you can live without any maid?"

Saya yakin kalau hidup bisa ideal, semua ibu pasti ingin bisa tinggal di rumah, mengawasi anaknya selama 24 jam sehari bagaikan kamera CCTV. Kalau pun mereka ingin bekerja, pasti karena duitnya untuk diwarisin ke anak-anaknya, dan hanya sedikit dari gaji mereka yang mereka sisihkan buat beli tas Hermes. Dan kalo mereka boleh milih, mereka pasti kepingin bisa kerja di rumah supaya bisa pura-pura jadi kamera CCTV di kamar anaknya.

Tapi kan hidup nggak selalu bisa seideal itu. Makanya mereka pergi bekerja. Makanya mereka perlu pembokat. Dan mereka pasti mendoakan setiap saat supaya pembokat mereka bisa jagain anak-anak mereka di rumah dengan kualitas kamera CCTV..

Pembokat adalah sumber daya manusia yang nilainya tak terhingga. Anak memang protes kalau mama nggak ada, tapi kesabaran untuk membuat anak mengerti itu akan diganjar Tuhan dengan pahala yang besar. Mama yang bisa membantu suami untuk menambah nafkah, sekaligus bisa bikin anak jadi orang baik-baik, dan sekaligus bisa bikin para pembokat membebaskan keluarga mereka dari kemiskinan, sesungguhnya adalah perempuan hebat yang sangat mulia..