Saban kali saya lewat bank itu, saya selalu mengelus-ngelus dada. Coz saya inget suaminya kerabat saya kerja di sana. Entah kenapa saya selalu seneng image bankir. Penampakannya rapi, kantor kerjanya sejuk ber-AC, sistem kerjanya efisien. Dan yang paling penting, nggak dimarahin keluarganya pasien cuman gegara pasiennya ternyata meninggal dan dituduh penyebab meninggalnya karena dirawat di kelas tiga.
Pagi ini saya baca koran dan terkejut mengenali muka seseorang yang saya kenal di koran. Lho, ini kan suaminya kerabat saya yang kerja di bank itu? Di koran itu ditulis bahwa si Mas itu baru dibebaskan oleh Tipikor dari perkara korupsi. Ya Allah..saya mau nangis..
Jadi ceritanya, si Mas itu kerja di bank. Suatu hari, ada orang dari perusahaan entah apa, dateng ke bank itu ngajuin permohonan pinjaman uang. Si Mas dipanggil bossnya, bersama tiga orang koleganya, disuruh oleh bossnya itu untuk tanda tangan kertas-kertas ini itu. Surat-suratnya udah komplit, pokoke tinggal tanda tangan aja. Si Mas, pekerja muda yang baru berumur sekitar 30-an, nurut aja tanda tangan. Maka duit dari bank itu pun mengalir ke perusahaan itu.
Belakangan, entah kapan, ketahuan kalau perusahaannya abal-abal. Direkturnya juga abal-abal. Alhasil, kreditnya pun diputusin fiktif. Padahal duit sudah kadung ngalir. Si nasabah kredit yang direktur itu abal-abal pun ditangkep polisi. Edannya, empat orang pegawai bank yang nanda tangan persetujuan kredit fiktif itu juga ikutan diseret ke pengadilan tipikor. Termasuk si Mas.. :(
Si Mas pun dipecat dari bank itu. Dos-q didakwa ngebobol duit dari bank tempatnya bekerja. Diancam penjara tiga tahun. Ini nggak adil, coz si direktur perusahaan abal-abal yang ngajuin kredit fiktif cuman dituntut dua tahun..
(Sekarang saya ngerti kenapa saban kali saya ketemu si Mas dan istrinya, mukanya selalu nampak galau.. Bo', kejadian tanda tangan kredit fiktif ini ternyata sudah ada sembilan tahun lalu..)
Dan hari ini, koran pun menulis bahwa Tipikor memutuskan untuk membebaskan empat orang terdakwa, termasuk si Mas. Karena boss mereka mengaku, bahwa keempat petugas bank itu nggak punya maksud ngebobol bank itu. Mereka cuman tanda tangan, dan tindakan tanda tangan itu pun juga karena disuruh sama bossnya..
Yang nggak enak, si wartawan koran itu menulis judulnya "Empat Terdakwa Korupsi Dibebaskan". Plus foto close up terdakwa-terdakwanya segede-gede gaban.
Di rumah, anaknya yang baru berumur sembilan tahun, nanya sama kerabat saya dengan keheranan, "Bu, ada apa kok Bapak masuk koran?"
Ini gimana cara ngejelasinnya..?
***
Gampang-gampang sulit memberantas korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang bikin korupsi begitu gampang mengakar, adalah budaya orang Indonesia yang terlalu egaliter menjunjung kekerabatan, sampek-sampek nggak waspada. Ditambah faktor "asal boss senang", maka lengkap sudah kemudahan seorang boss untuk menyalahgunakan wewenang dan membuat bawahan-bawahannya rela bergotong-royong untuk mensukseskan kemauan sang boss.
Si Mas yang tidak tahu apa-apa, karena tuntutan lingkungan pekerjaan, tidak tanya-tanya kenapa dia harus tanda tangan persetujuan kredit karena surat itu sudah disiapin sendiri oleh bossnya.
Kisah kredit macet yang sudah berumur sembilan tahun itu, yang membuat si Mas diancam hukuman penjara, membuat ngeri seluruh keluarganya dan mencemarkan nama baik dirinya sendiri. Cuman gegara sedikit coretan oleh sebatang pena di selembar kertas, sukses membuat keluarga itu luntang-lantung bertahun-tahun nunggu putusan sidang yang jadwalnya nggak jelas.
Interpretasi orang awam, dalam hal ini wartawan, terhadap penderitaan si Mas, bisa beragam. Orang yang nggak ngerti betul masalahnya, bisa-bisa nuduh si Mas ngambil uang yang bukan haknya. Apalagi wartawan yang punya posisi strategis untuk menentukan citra seseorang.
Kok bisa ini terjadi? Apakah ini karena si Mas ketemu boss yang salah? Apakah ini karena si Mas kerja di bank yang salah? Apakah ini karena si Mas memilih bekerja pada orang lain, bukan bikin usaha pimpinan sendiri?
Sekarang saya lewat tempat itu lagi. Lalu mengelus dada lagi. Berterima kasih kepada Tuhan, karena lembaga yang saya nilai bagus ternyata selama ini jelek, makanya Tuhan nggak ijinkan saya kerja di situ. Berterima kasih karena saban kali saya ketemu boss yang nampak keren, Tuhan selalu menyeret saya jauh-jauh dari boss itu karena ternyata bossnya bisa mencelakakan saya. Dan mungkin apa yang selama ini saya kirain bagus, sebetulnya banyak jeleknya, saking aja Tuhan nggak kasih tahu saya semuanya sekaligus. Dan berterima kasih punya suami yang masih bisa saya kelonin tiap malem, tanpa takut suami saya diancam masuk penjara sewaktu-waktu. Itu rejeki kan ya? Rejeki itu, ternyata ada-ada aja..
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com
Pagi ini saya baca koran dan terkejut mengenali muka seseorang yang saya kenal di koran. Lho, ini kan suaminya kerabat saya yang kerja di bank itu? Di koran itu ditulis bahwa si Mas itu baru dibebaskan oleh Tipikor dari perkara korupsi. Ya Allah..saya mau nangis..
Jadi ceritanya, si Mas itu kerja di bank. Suatu hari, ada orang dari perusahaan entah apa, dateng ke bank itu ngajuin permohonan pinjaman uang. Si Mas dipanggil bossnya, bersama tiga orang koleganya, disuruh oleh bossnya itu untuk tanda tangan kertas-kertas ini itu. Surat-suratnya udah komplit, pokoke tinggal tanda tangan aja. Si Mas, pekerja muda yang baru berumur sekitar 30-an, nurut aja tanda tangan. Maka duit dari bank itu pun mengalir ke perusahaan itu.
Belakangan, entah kapan, ketahuan kalau perusahaannya abal-abal. Direkturnya juga abal-abal. Alhasil, kreditnya pun diputusin fiktif. Padahal duit sudah kadung ngalir. Si nasabah kredit yang direktur itu abal-abal pun ditangkep polisi. Edannya, empat orang pegawai bank yang nanda tangan persetujuan kredit fiktif itu juga ikutan diseret ke pengadilan tipikor. Termasuk si Mas.. :(
Si Mas pun dipecat dari bank itu. Dos-q didakwa ngebobol duit dari bank tempatnya bekerja. Diancam penjara tiga tahun. Ini nggak adil, coz si direktur perusahaan abal-abal yang ngajuin kredit fiktif cuman dituntut dua tahun..
(Sekarang saya ngerti kenapa saban kali saya ketemu si Mas dan istrinya, mukanya selalu nampak galau.. Bo', kejadian tanda tangan kredit fiktif ini ternyata sudah ada sembilan tahun lalu..)
Dan hari ini, koran pun menulis bahwa Tipikor memutuskan untuk membebaskan empat orang terdakwa, termasuk si Mas. Karena boss mereka mengaku, bahwa keempat petugas bank itu nggak punya maksud ngebobol bank itu. Mereka cuman tanda tangan, dan tindakan tanda tangan itu pun juga karena disuruh sama bossnya..
Yang nggak enak, si wartawan koran itu menulis judulnya "Empat Terdakwa Korupsi Dibebaskan". Plus foto close up terdakwa-terdakwanya segede-gede gaban.
Di rumah, anaknya yang baru berumur sembilan tahun, nanya sama kerabat saya dengan keheranan, "Bu, ada apa kok Bapak masuk koran?"
Ini gimana cara ngejelasinnya..?
***
Gampang-gampang sulit memberantas korupsi di Indonesia. Salah satu faktor yang bikin korupsi begitu gampang mengakar, adalah budaya orang Indonesia yang terlalu egaliter menjunjung kekerabatan, sampek-sampek nggak waspada. Ditambah faktor "asal boss senang", maka lengkap sudah kemudahan seorang boss untuk menyalahgunakan wewenang dan membuat bawahan-bawahannya rela bergotong-royong untuk mensukseskan kemauan sang boss.
Si Mas yang tidak tahu apa-apa, karena tuntutan lingkungan pekerjaan, tidak tanya-tanya kenapa dia harus tanda tangan persetujuan kredit karena surat itu sudah disiapin sendiri oleh bossnya.
Kisah kredit macet yang sudah berumur sembilan tahun itu, yang membuat si Mas diancam hukuman penjara, membuat ngeri seluruh keluarganya dan mencemarkan nama baik dirinya sendiri. Cuman gegara sedikit coretan oleh sebatang pena di selembar kertas, sukses membuat keluarga itu luntang-lantung bertahun-tahun nunggu putusan sidang yang jadwalnya nggak jelas.
Interpretasi orang awam, dalam hal ini wartawan, terhadap penderitaan si Mas, bisa beragam. Orang yang nggak ngerti betul masalahnya, bisa-bisa nuduh si Mas ngambil uang yang bukan haknya. Apalagi wartawan yang punya posisi strategis untuk menentukan citra seseorang.
Kok bisa ini terjadi? Apakah ini karena si Mas ketemu boss yang salah? Apakah ini karena si Mas kerja di bank yang salah? Apakah ini karena si Mas memilih bekerja pada orang lain, bukan bikin usaha pimpinan sendiri?
"Nggak semua yang kau baca atau kau dengar itu benar. Coba kau pikirkan baik-baik dan pakai hatimu."
Sekarang saya lewat tempat itu lagi. Lalu mengelus dada lagi. Berterima kasih kepada Tuhan, karena lembaga yang saya nilai bagus ternyata selama ini jelek, makanya Tuhan nggak ijinkan saya kerja di situ. Berterima kasih karena saban kali saya ketemu boss yang nampak keren, Tuhan selalu menyeret saya jauh-jauh dari boss itu karena ternyata bossnya bisa mencelakakan saya. Dan mungkin apa yang selama ini saya kirain bagus, sebetulnya banyak jeleknya, saking aja Tuhan nggak kasih tahu saya semuanya sekaligus. Dan berterima kasih punya suami yang masih bisa saya kelonin tiap malem, tanpa takut suami saya diancam masuk penjara sewaktu-waktu. Itu rejeki kan ya? Rejeki itu, ternyata ada-ada aja..
http://laurentina.wordpress.com
http://georgetterox.blogspot.com