Waktu itu hujan turun hampir jam tiga sore dan saya baru keluar dari sebuah mal di Cihampelas. Badan saya capek dan saya kepingin pulang, jadi saya siap-siap berdiri di pinggir jalan pakai payung sambil nungguin angkot yang mau bawa saya pulang.
Sebelah saya ada sepasang perempuan, nampaknya ibu dan anak, keliatan kebingungan.
“Mbak, Mbak,” si ibu nyapa saya. “Mbak, kalau mau ke BTC pakai angkot apa ya?”
Saya mikir sebentar, terus saya jawab, “Ibu, Ibu ambil angkot jurusan Station Hall, terus turun di depan rumah sakit. Nanti dari situ Ibu ambil angkot jurusan Gunung Batu, lalu turun di depan BTC.”
Si ibu kayaknya bengong dengar jawaban saya yang sepanjang sekilo. “Waduh, ribet ya?” Lalu dia melirik ke anaknya, “Udah telepon si Kakak aja deh, suruh jemput ke sini. Mudah-mudahan Cipedes nggak lagi banjir.”
Dalam hati saya mbatin, waduh kesiyan, cuman mau ke Jalan Pasteur yang deket sini aja pakai minta dijemput segala oleh anaknya yang tinggalnya empat kilo dari situ. Saya ngitung-ngitung, sebenarnya lebih puyeng nungguin orang nyetir dari Cipedes ke Cihampelas ketimbang naik angkot dari Cihampelas ke Pasteur. Dari Cipedes ke Cihampelas mesti macet dulu di Setiabudi dan Cihampelas Atas-nya, dan macetnya itu luamaa apalagi kalau udah ujan gini. Belum lagi saya tahu jalan dari Cipedes ke Cihampelas masih banyak yang bopeng-bopeng, bikin macet makin menggila lantaran banyak genangan. Lha dari Cihampelas kalau mau ke BTC di Pasteur paling-paling problemnya cuman kudu ganti angkot doang.
Dari tadi juga nggak ada taksi. Cihampelas macet berat. Supir taksi ogah lewat situ. Boros gasnya ketimbang nyari penumpangnya.
Saya kadang-kadang kesiyan kalau lihat orang nggak tahu caranya naik angkot. Berarti ke mana-mana dia mesti tergantung sama kendaraan pribadi atau minimal taksi. Sepupu saya pernah bilang sebenarnya naik taksi itu boros banget kalau dipakai sehari-hari ketimbang naik kendaraan pribadi, jadi ya orang memang mestinya pakai kendaraan pribadi. Cuman kan kadang-kadang kondisi tidak memungkinkan kita untuk itu. Misalnya, kendaraannya di rumah cuman satu, padahal di rumah ada empat orang anggota keluarga yang butuh pergi ke tujuan yang beda-beda. Atau kendaraannya lagi masuk bengkel. Atau SIM-nya lagi ditahan. Ujung-ujungnya adalah kita mesti naik kendaraan umum.
Hendaknya kita mesti tahu jalur angkot di kota kita sendiri. Minimal ya disesuaikan dengan aktivitas sendiri. Kalau kerjaan kita di kantor, ya mesti tahu dari rumah kita ke kantor bisa pakai angkot apa. Kalau hobinya belanja, kita mesti tahu naik angkot yang mana kalau mau ke mal tujuan kita. Kalau sukanya dugem ya mesti ngeh di depan tempat dugem itu lewat angkot apa yang menuju arah rumah kita. Pokoknya, jangan sampek cuman gara-gara nggak ada kendaraan pribadi lantas kita jadi batal bepergian di kota kita sendiri dengan kaki sendiri. Mosok cuman mau ke mal yang cuman sekilo dari sini aja mesti nungguin dianterin suami/kakak/anak sih?