Setelah itu kita pasti akan bertanya-tanya, kenapa kita mesti nungguin terjemahan? Kenapa kita nggak bikin buku teks a la kita sendiri aja. Toh ilmu a la luar negeri belum tentu cocok kalau dipakai di Indonesia. Saya kasih contoh ilmu saya aja, karena saya nggak tahu ilmu lain selain kedokteran. Pengobatan malaria di Inggris jelas nggak akan sama dengan pengobatan di Indonesia. Apa sebabnya? Ya soalnya kan nyamuk penyebar malaria kan cuman beredar di negara tropis, jadi sepantas-pantasnya yang bikin buku teks tentang malaria ya negara tropis, bukan negara empat musim macam Inggris. Dan siapa yang bertanggung jawab buat bikin teks a la Indonesia itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah dosen-dosen Indonesia. Maka sekarang pertanyaan pun ganti: Sudahkah dosen Indonesia bikin buku teks sendiri?
Kampus Salemba-Jakarta adalah contoh kampus yang sudah dari dulu merintis bikin buku teks sendiri meskipun ngerjainnya dengan susah-payah. Bikin buku teks adalah kerjaan yang sangat berat, dari segi manapun. Pertama, ngumpulin materi bahannya yang susah. Kedua, dosen nggak pernah punya waktu buat menuliskan ilmu-ilmu yang dia punya, lantaran sibuk ngatur waktu antara mengajar dan cari proyek tambahan. Ketiga, dosen seperti pengarang lainnya, paling takut karyanya dibajak. Coba Sodara-sodara Jemaah ngaku aja, siapa dari Anda yang waktu kuliahnya suka motokopi buku teks?
Padahal, kalau sampek banyak tersedia buku teks bikinan Indonesia, sebenarnya yang diuntungkan adalah dosen dan mahasiswa Indonesia sendiri. Dosen yang berhasil bikin buku teks, selain dapet royalti, jelas akan dapet nama karena berhasil bikin prestasi. Bayangkan kalau dosen dari kota X bikin buku teks, lalu buku itu dipakai sebagai pegangan oleh mahasiswa-mahasiswa di kota-kota seluruh Indonesia, tentu nama dosen pengarangnya akan beken di seluruh mahasiswa bidang itu di Indonesia. Mahasiswa juga dapet untung yang berlipat ganda. Pertama, mereka nggak usah beli buku teks impor yang jatuhnya pasti mahal. Kedua, mereka nggak usah nerjemahin buku teks ke dalam bahasa lokal mereka cuman gara-gara kepingin ngerti apa yang mereka pelajarin di kuliah mereka.
Dan ujung-ujungnya, ngomongin kesulitan buku teks pasti akan mandeg di pembahasan tentang pencegahan pembajakan. Sebenarnya, selama di dunia ini masih ada mesin fotokopi, maka pembajakan pasti akan tetap eksis. Maka yang bisa kita lakukan adalah mendesain buku teks itu sedemikian rupa supaya nggak gampang dibajak. Triknya bisa macem-macem, mulai dari bikin buku yang banyak gambar berwarnanya, dan kalau bisa warna gambar itu dipilih yang susah banget buat difotokopi. Bisa juga dari segi penjilidan, misalnya kalau bukunya dijilid dengan cara dijahit, sewaktu difotokopi maka akan menimbulkan bayangan hitam di area jilid yang bikin hasil fotokopian jadi nggak sedap dipandang. Buku juga enaknya jangan segede-gede gaban seukuran halaman folio, tapi lebih enak kalau dikemas dalam kemasan setengah folio, supaya kalau difotokopi jatuhnya malah bikin rugi bandar. Buku yang pakai kemasan ukuran handy jelas lebih nyaman dibaca, bisa dibawa-bawa masuk ke tas, nggak malu-maluin kalau dibaca pas lagi ngopi di kedai donat, bahkan cukup nyaman kalau lagi dibaca pas lagi pup di kamar mandi. Trik yang nggak kalah asyik adalah menyediakan versi buku teks itu dalam bentuk e-book, dan e-book itu bisa didesain sedemikian rupa supaya nggak bisa di-copy paste.
Nah, sudahkah dosen-dosen di Indonesia punya kesadaran buat menuliskan ilmunya sendiri di dalam buku teks yang berbahasa negerinya sendiri?
Gambarnya ngambil dari sini