Jaman dulu tuh, guru atau dosen diidentikkan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu dengan dandanan kuno dan ke mana-mana mengayuh sepeda atau naik motor bebek. Tapi hari gini, sekarang banyak sekali dosen tampil dengan gaya dandy yang trendy sambil bawa leptop atau kompie tablet. Kurang lebih hampir mirip tokoh Bu Guru di video klipnya Boyzone “Key to My Life” itu deh. Yang cukup signifikan adalah mereka tidak lagi selalu nampak tua. Sebagian dari mereka ternyata seumuran saya, membuat saya merasa ironis bahwa umur segini saya masih jadi mahasiswa.. (Halah, kamu kan mahasiswa spesialis, Vic.. Ya beda dong!)
Saya nulis ini karena barusan baca tulisan teman saya, yang kini seorang dosen di sebuah perguruan tinggi dan umurnya lebih muda daripada saya. Karena umur kami masih muda beginilah, umur kami jadi nggak beda-beda jauh dari mahasiswa S1 yang dia ajar. Efeknya, temen saya nggak merasa seperti “ibu-ibu dosen”, maka dia membolehkan mahasiswanya manggil dia “mbak”. Efek sampingnya, beberapa mahasiswanya itu jadi sikapnya, yaah..gimana ya? Jadi nggak sopan gitu deh.
Lalu saya bertanya-tanya, ini sebenarnya salah siapa? Salah dosen yang nggak mau dikira ibu-ibu? Atau salah mahasiswa yang nggak mau menempatkan diri sebagai anak didik terhadap dosennya? Atau salah kampusnya yang mengangkat dosen yang bahkan belum jadi ibu-ibu? Saya sendiri masih sering dicap stigma “Masih muda kok sudah jadi dokter ya..” gara-gara tampang saya yang babyface. *dikeplak*
(Padahal saya pikir, kalo sampeyan nggak mau berobat sama saya, silakan cari dokter lain yang sudah beruban, botak, dan sudah tuwir.. Toh yang sampeyan cari kan cuman umurnya, bukan profesionalismenya, ya toh?)
Nah, mengenai problemnya temen saya, maka saya mencoba cari-cari referensi ke lingkungan saya. Hasilnya saya dapet fenomena yang cukup menarik.
Sekolah saya, kedokteran spesialisasi kandungan, punya banyak dosen dan punya lebih banyak murid. Dosen saya semuanya adalah dokter spesialis kandungan, dan salah satu dosen saya, ternyata usianya cuman beda lima tahun di atas saya. Tapi saya sudah melihatnya pidato, dan tidak ayal lagi saya harus mengakuinya sebagai public speaker yang sangat pintar dan menarik. Jujur aja, saya jarang banget nemuin dosen yang bisa membuat semua orang di dalam ruangan bisa mendengarkan pidatonya dengan antusias seperti itu.
Murid-murid tempat saya bersekolah, semuanya adalah dokter umum. Paling muda usianya 26 tahun, dan yang paling tua kalau nggak salah berusia 39 tahun (beda 10 tahun di atas saya). Artinya, dosen saya punya murid yang umurnya lima tahun lebih tua dari dirinya!
Pertanyaan kecil saya, kakak kelas saya yang berumur 39 tahun itu manggil dosen saya yang lima tahun lebih muda itu dengan sebutan apa?
Jawabannya, tetap manggil “Dok”. Bukan “Mbak”. Apalagi “Dek”.
Di sekolah saya, yang paling penting dihargai adalah taraf keilmuannya. Siapa yang punya ilmu lebih duluan, dia lebih dihormati. Tidak masalah berapapun umurnya.
Bahkan, kakak kelas saya yang lain, yang umurnya sudah hampir 40 tahun, ngaku sendiri kalau dos-q sudah pernah diamuk-amuk oleh dosen yang umurnya lebih muda daripada dirinya, gara-gara dos-q salah prosedur. Dan dos-q menerima amukan itu dengan jiwa besar.
Umur hanyalah sebuah angka yang tidak bisa kita atur-atur. Tetapi kita bisa memilih sikap dan cara pembawaan diri macam apa yang ingin kita tampilkan.
Jadi, saya rasa, urusan gap antara umur ini hanyalah bisa diselesaikan kalau kita mau bersikap menyesuaikan diri dengan posisi yang kita miliki. Artinya kalau kita jadi murid, bersikaplah seperti murid yang berguru kepada dosennya. Dan kalau kita jadi dosen, bersikaplah seperti guru yang mendidik muridnya. Kecuali kalau memang tujuan dosennya hanyalah mengajar, bukan mendidik. Karena mengajar hanyalah urusan transfer ilmu. Sedangkan mendidik bukan cuman sekedar transfer ilmu, tetapi juga membentuk murid jadi manusia yang lebih berbudi luhur dan punya sopan santun.