Saturday, June 25, 2011

Derita Korban Bebek KW

Di Surabaya, saya melihat banyak banget pengusaha sukses dan berhasil buka cabangnya di seluruh penjuru kota. Selama enam bulan saya tinggal di sini, saya nemu 10 rumah makan penyetan miliknya Bu Kris, tiga toko alat pecah-belah bernama Cafe Glass,  dan bahkan lima toko buku milik Togamas. Saya sendiri sampek terbengong-bengong, coz saya pikir, kalau sebuah toko buka cabang di kota-kota lain sih udah biasa, tapi mosok iya satu toko buku buka cabang sampek lima biji sekaligus hanya dalam satu kota aja? Apakah dia berniat membuka cabangnya di setiap kecamatan?

Nah, ada sebuah rumah makan multicabang yang saya incar dari dulu bernama Bebek Palupi. Selaku pengganyang setia bebek, sejak dulu saya faham bahwa Bebek Palupi adalah bebek yang wajib dicicipi kalau kita mengaku seorang penggemar bebek dan tinggal di Surabaya. Persoalannya, di Surabaya ada selusin depot bernama Bebek Palupi, dan saya nggak tahu yang mana yang aseli!

Menurut dongengnya my hunk, jaman dulu kala, Bebek Palupi masih berupa warung tenda di trotoar sebuah jalan di Rungkut, yang buka cuman malem dan subuh-subuh sudah gulung tikar lantaran keberadaannya nutupin fasad sebuah kantor. Yang biasa beli bebek di situ bejibun, dan antreannya meluber sampek ke jalan. Suatu ketika, warung tersebut betul-betul digusur karena pembenahan kota, sehingga Bebek Palupi pun lenyap. Pelanggannya pun merana, karena mereka sudah kadung demen dan bingung cari pemilik Bebek Palupi itu ke mana..

Sampek kemudian ada lagi seseorang membuka rumah makan bebek, dan di plangnya tertulis Bebek Palupi. Banyak yang beli bebek di situ, tapi akhirnya sebagian kecewa lantaran ternyata itu bebek Palupi KW 2, alias itu bukan bebek Palupi asli, dan cuman seseorang aja ngaku-ngaku bahwa namanya Bebek Palupi. Bersamaan dengan itu, lama-lama makin banyak orang buka rumah makan bebek di Surabaya. Entah itu di kawasan Darmahusada, Baratajaya, Citraland, dan lain sebagainya, dan semuanya mengaku bernama Bebek Palupi!

Akhirnya, setelah bertahun-tahun meraba-raba dalam gelap dan dibikin bingung oleh bermacam-macam Bebek Palupi KW 2, lama-lama nongollah titik terang bagi para pemburu bebek. Santer beredar isu, bahwa Bebek Palupi yang aseli ada di Jalan Rungkut Asri Tengah. Spontan saya dan my hunk pun meluncur ke kawasan itu, yang sebetulnya cukup asing bagi kami lantaran kami jarang main ke sana, soalnya kan jauh dari tempat tinggal kami, sekitar 10 kilo gitu deh. Begitu tiba di sana, semakin bingunglah kami, karena ternyata di satu jalan itu ada tiga tempat makan yang berdekatan dan ketiga-tiganya adalah Bebek Palupi..

*haduh, bagaimana ini?* (dengan nada panik a la Nobita)

Hasil perburuan bebek yang tidak sia-sia.
Foto : Eddy Fahmi
Syukurlah, atas bantuan Dina Edriani, akhirnya kami nemu Bebek Palupi yang aseli dan ternyata memang enak banget. Sekali ini saya berharap Dina sendiri nggak tertipu. Kalau restoran tempat kami makan ini ternyata juga Bebek Palupi palsu, tempat ini layak dituntut soalnya di temboknya jelas-jelas ada tulisan, “Tidak buka cabang di tempat lain.”

Saya sendiri gemas, kenapa sih orang mesti ngejiplak nama usaha orang lain. Mbok pakai nama karangan sendiri, ‘napa? Kan orang asing yang kesasar kayak saya gini yang jadi korban, lantaran kebingungan nyari-nyari mana bebek goreng yang aseli dan mana bebek goreng yang KW.

Tetapi mungkin ini juga salah satu alasan kenapa pengusaha kecil-kecilan susah maju. Karena saat mereka mulai menggarap usaha mereka dari partai ceperan, sudah ada orang lain yang meniru dan menjiplak nama mereka. Mestinya pedagang warung kaki lima itu juga sudah diajari masalah hak paten. Retribusi yang mereka bayarkan karena sudah menyita trotoar seharusnya diberi kompensasi dengan pelatihan mengenai hukum kewirausahaan. Misalnya Pak Kumis kepingin bikin warung bakso di trotoar, mbok ya Pak Kumis harus mempatenkan usahanya dengan nama Bakso Pak Kumis. Jadi kalau ada orang lain buka usaha warung bakso juga dan pakai nama Bakso Pak Kumis, Pak Kumis yang aseli bisa nuntut royalti coz dia kan udah pakai nama itu duluan..

Wednesday, June 22, 2011

Yang Penting, Dapet Kursi Duluan

"Perhatian, perhatian! Kereta dari Surabaya akan tiba di Jalur 5! Bangku-bangku harap disingkirkan!"

Dengan audisi macem begitu, sekarang saya ngerti kenapa saya nggak lolos seleksi jadi mbak-mbak yang bertugas di bagian pengumuman stasiun kereta api.

***

Stasiun Jombang adalah stasiun yang letaknya sekitar kilo di sebelah barat daya Surabaya. Meskipun nggak segede Gubeng atau Tugu, tapi stasiun ini juga nggak kecil-kecil amat. Ada peron, ada tempat duduk buat penumpang atau sekedar pengunjung yang nganter/njemput penumpang.

Dan seperti stasiun-stasiun umumnya, pengunjung non-penumpang yang masuk peron pun kudu bayar. (Ada yang tahu kenapa? Memangnya peron itu tempat wisata ya, kok harus bayar?)

Dengan adanya ketentuan bayar itu, maka praktis di peron disediakan tempat duduk dong. Tapi kenapa kok orang-orang di foto ini malah berdiri di pinggir rel?

Ketika saya noleh ke peron, ternyata di peron banyak tempat duduk kosong. Jadi saya bingung. Logika saya, sebagai perempuan yang males berdiri dan lebih suka duduk (pantesan dirimu agak menggemuk, Vic!), saya lebih seneng nunggu sembari duduk di peron. Di peron kan teduh, ada atapnya, nggak usah panas-panasan kayak orang-orang ini. Apakah mungkin tempat duduk di peron ada permen karetnya?

Apakah orang-orang ini kepingin foto-fotoan deket kembang, sehubungan di antara rel ini terdapat pot kembang yang cukup ciamik? Tapi cara berdiri mereka tidak menunjukkan gelagat orang yang mau foto-fotoan.

Atau mungkin, mereka nunggu di pinggir rel, supaya kalau keretanya dateng, mereka bisa naik dan cepet dapet tempat duduk enak. Serasa nungguin bis DAMRI aja..

Padahal, mestinya rel adalah daerah yang steril. Nggak boleh ada manusia di situ. Soalnya kalau ada yang teledor, bisa-bisa kereta nyerempet orang yang dengan pe-de-nya nongkrong di rel tanpa waspada. Saya sendiri udah pernah ngotopsi orang yang keserempet kereta dan kepalanya tinggal 3/4.

Kita nggak bisa bilang, jumlah polisi stasiun nggak cukup buat melarang-larang penumpang ngetem di rel. Ya penumpangnya yang kudu waspada dan sayang nyawa. Kalau penumpang kepingin dapet tempat duduk yang enak, ya semua orang kudu bayar tiket dan kereta cuman boleh memuat penumpang sesuai kapasitas yang udah ditentukan. Mestinya dibikin jalur antrean, dan jalur ditutup kalau kapasitas kereta sudah terisi pas, macem naik busway gitulah.

*Halah, Vic, diamlah kamu. Kamu kan nggak pernah naik kereta tarif ekonomi yang penumpangnya berjubel nggak jelas itu, makanya nggak pernah terpaksa mesti ngetem di pinggir rel..*
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Tuesday, June 21, 2011

Tetangga yang Iri


Sebenarnya nggak maksud bikin diri nampak sombong, tapi yah, kadang-kadang ada aja orang yang mengira diri kita begitu.

Seorang kolega saya, sebut aja namanya Aretha, mengeluh ke saya bahwa dia malu lantaran dia dikata-katain sama temennya. Jadi, temennya itu bilang ke Aretha, nggak tau persisnya ngomongnya gimana, yang intinya adalah Aretha kebanyakan gaya di Facebook-nya semenjak masuk sekolah spesialisasi kami. Indikasi “kebanyakan gaya” ini adalah foto-foto yang rajin ter-update di profil Facebook-nya Aretha akhir-akhir ini, yang intinya menggambarkan kehidupan baru Aretha di Surabaya, yang tentu saja beda jauh dengan kehidupan lamanya di kampung halamannya di penghujung Sumatra sono. Oh ya, tentu aja temennya yang ngomong gini ini adalah temen Aretha di kampung halamannya.

Ada banyak alasan orang lain untuk iri kepada kita. Entah karena kita memenangkan sesuatu, atau mungkin hanya sekedar karena kita lebih keren. Tapi kita tidak pernah harus bertanggung jawab atas rasa iri orang lain kepada kita.  Gambar: http://metro.co.uk

Oh dear, ini adalah topik yang sangat maha nggak penting. Siapa peduli sih kalau ada temen yang iri?

Yah, tapi Aretha jadi sungkan sama temen-temen lamanya, yang tentu aja masih berhubungan dengannya via Facebook dan SMS. Kesannya, semenjak masuk sekolah spesialisasi di Jawa, dia kayak Bimbi gitu lho.. “Bimbii..tidak ingat lagi kampungnya.. huowoo.. Bimbi..tidak kenal lagi sodara.. oh, oh, oh..” *Ini Vicky lagi nyanyi, nggak usah tutup kuping.*

Lalu, sebenarnya, karena saya tahu Aretha itu gaptek setengah mampus, jadi dia jarang ng-upload fotonya sendiri ke Facebook. Hanya kalau dia lagi sangat senang sekali, dan itu sangat jarang. Sisanya, kalau sampek foto-fotonya di Facebook-nya itu bejibun, itu bukanlah dirinya sendiri yang masang, tapi karena kolega-koleganya yang nge-tag foto-foto itu atas nama dia. Memang di sekolah baru kami, teman-teman sepermainan kami adalah orang-orang narsis yang banci kamera. Dikit-dikit senengnya foto rame-rame, terus di-upload ke Facebook, terus di-tag ke setiap orang yang ada di dalam foto itu. Nggak heran profil kita semua penuh dengan foto-foto kita semua yang narsis. Yaah..biasalah, saya rasa kebanyakan orang juga gitu, lha emangnya kalian enggak kayak gitu, Sodara-sodara Jemaah?

Rasa dengki itu alamiah, khas kanak-kanak. Jadi kalau kita tukang ngiri, berarti sikap kita masih kayak anak kecil. Gambar: http://hubpages.com
Tentu saja kita sering lupa bahwa di dunia ini temen-temen kita nggak cuman orang-orang narsis yang seneng foto-fotoan, tapi ternyata masih ada temen-temen kita yang jarang banget fotonya ter-update di dunia maya. Kita lupa rasanya berada di sepatu golongan yang nomer dua itu, yang kehidupannya begitu-begitu aja (sinonim dari “monoton”), sehingga bikin dirinya jadi merasa terintimidasi kalau ngeliat news feed teman-temannya yang kehidupannya nampak dinamis. Maka reaksi normalnya adalah dia jadi “berteriak” kepada temannya yang lebih dinamis itu, “Heh, lu nggak usah keseringan update ‘napa, gaya banget sih lu semenjak masuk sekolah lagi..”

Padahal kalau dipikir-pikir, si teman yang iri itu sebetulnya lebih beruntung, tergantung dari sudut pandang mana ngeliatnya. Coba bayangin, si teman yang iri itu kan dokter umum, di pelosok barat sono, enak dia tinggal duduk di ruang prakteknya dan dapet penghasilan mengalir ke dompetnya setiap hari. Lha kami-kami yang sekolah spesialisasi ini, udah disuruh ngobatin pasien seabrek, nggak dapet bayaran pula selama lima tahun. Bandingkan, sesudah lima tahun, dokter umum yang berpraktek seharusnya sudah bisa bayar umroh sendiri. Tetapi dokter umum yang bersekolah untuk menjadi dokter spesialis, uang tabungannya akan habis untuk bayar biaya sekolahnya selama lima tahun itu, dan setelah lulus maka dia akan memulai karier dari nol sebagai pengangguran. Jadi ya mestinya nggak usah ngiri lah..

Jadilah seperti si Untung Angsa. Yang tidak pernah peduli kalau dia punya sepupu yang iri. Gambar: http://cbarks.dk
Tapi tentu saja, teman yang iri itu nggak bisa dihindarin, coz memang kita nggak selalu bisa milih dengan siapa kita ingin berteman, ya toh? Jadi ini tip-tipnya buat menghadapi teman yang iri:
1.    Teman yang iri, biasanya karena dia melihat kita nampak lebih “beruntung”, jadi dia merasa “ditinggalkan”. Kuncinya, rangkul dia supaya dia nggak merasa ditinggalin. Misalnya, kalau dia update status, tinggalkanlah komentar. Atau sesekali tulislah sesuatu di wall-nya. Buat dia merasa eksis!
2.    Kalau pulang kampung, adakan reuni kecil-kecilan dengan si Iri. Bawakan oleh-oleh, ajak dia makan makanan kesukaan di warung tempat kita sering nongkrong jaman dulu. Supaya kita keliatan seperti “Bimbi”.
3.    Kalau dia masih ngiri juga ke kita seperti Donald Duck cemburu sama si Untung Angsa, ya udah..cuekin aja! Emangnya temen cuman dia doang? Bilang ke dia, “Suruh siapa hidup lu ngebosenin? Wake up and get a life!”

Monday, June 20, 2011

Pengikat Orang Belakang

Tadinya saya kirain yang wajib pakai sabuk pengaman adalah supir dan penumpang yang duduk di bagian depan mobil. Karena logikanya untuk menghindari dashboard kalau mobil itu ngerem mendadak.

Tetapi ternyata di bangku belakang mobil juga disediakan sabuk pengaman. Bahkan pada mobil travel yang saya naikin kemaren, penumpang belakang disediain sabuk pengaman satu-satu dan ada kata WAJIB.

Saya nggak ngerti, buat apa yah? Toh seandainya ada kecelakaan pun, paling-paling penumpangnya ngehantam kursi depannya dan kursi itu sebenarnya empuk, jadi nggak rentan bikin benturan kepala yang serius.

Apakah Anda juga tertib pakai sabuk pengaman kalau duduk di belakang?

*Ah, jangankan pakai sabuk pengaman di bangku belakang. Di kota-kota kecil pun, saya masih sering lihat penumpang depan nggak pakai sabuk pengaman. Pake acara mangku anak kecil pula. Ndeso banget..*
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, June 19, 2011

Ada Kejutan dalam Setiap Donat

Apa yang Anda sukai dari donat? Melihat donat berjejer di etalase kafe donat kadang-kadang bikin ngiler, sehingga bikin Anda nggak tahan untuk nggak bawa pulang minimal satu. Setiap counter donat punya keistimewaan sendiri-sendiri, dan setiap orang punya toko donat favorit fanatik berdasarkan harga dan selera masing-masing.

Kolega saya penggila donatnya Pak Joni, coz Pak Joni ngejual donat dengan topping Oreo, tiramisu, green tea, dan lain-lain. Malah saya hapal, kalau ke kafenya Pak Joni, nggak usah beli donat pun tetep aja dapet bonus donat asalkan beli kopi di situ.

Nyokap saya lebih seneng donatnya Dankin, coz menurutnya donatnya Pak Joni itu kemanisan. Lagian semenjak dulu, keluarga kami suka donat isi srikaya dan selalu pesan itu saban kali ke sana.

Foto ini saya jepret dari Krispi Krim, pas saya lagi nungguin pesawat di Cengkareng tadi siang. Memang harganya lebih mahal, tapi sesuai namanya, setiap donat yang dijual selalu ada krimnya di dalamnya.

Anda gimana? Senang donat merk apa? Alesannya apa?
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Saturday, June 18, 2011

Taruh HP-mu, Hiduplah Seperti Khong Guan!

Sewaktu saya masih sekolah dulu, pelajaran membaca dalam buku bahasa Indonesia saya biasanya berbunyi begini,

Ibu memasak di dapur.
Kakak belajar di kamar.
Adik bermain di lantai.
Ayah mencangkul di sawah.

Sedikit lebih tinggi levelnya daripada “Ini ibu Budi.

Tetapi nampaknya pada masa kini, pelajaran membaca itu mesti diganti dengan yang lebih relevan.

Ibu sedang meng-update status di Facebook.
Kakak lagi ngeblog.
Adik lagi ng-upload foto.
Ayah lupa password Twitter-nya.

Karena kemaren, setelah sekian lama hidup berpisah, akhirnya sewaktu pulang ke Bandung minggu ini, bokap dan nyokap saya berusaha merayu saya supaya saya mau tidur di kamar nyokap saya. Tadinya saya menolak ide itu mentah-mentah. Saya udah gede, tau, saya nggak kelonan sama orang tua saya lagi, dan saya lebih suka tidur di kamar saya sendiri. Tapi kemudian, bu de dan pak de saya dateng juga buat liburan kemari, menyita kamar saya, bikin saya mengalah sehingga saya mengungsi ke kamar bonyok saya. Dan bonyok saya pun berjingkrak penuh kemenangan. “Aseek..tidur sama Vicky lagi!”

Dan setelah saya sekamar dengan mereka lagi, ternyata apa yang terjadi? Saya malah asyik ngejawab komentar-komentar blog dari HP saya, nyokap saya sibuk bales-balesan update status Facebook sama temennya dari HP-nya, dan bokap saya sibuk melototin kompie tabletnya. See, ternyata biarpun kami akhirnya “tidur” bersama, nyata-nyatanya kami malah sibuk dengan gadget masing-masing.

Saya sendiri masih inget beberapa minggu lalu, sewaktu saya dan my hunk kencan di sebuah restoran, ketika makanan pesanan kami sudah dateng, dan my hunk sudah siap makan, tapi saya masih sibuk melototin HP. My hunk negor saya, ngajak saya mulai makan, tapi saya malah bilang, “Tunggu dong, Mas, aku masih check-in ini..” sembari senewen lihat layarnya Foursquare yang loading-nya lelet. Padahal bukannya saya nggak cinta sama my hunk lho, tapi saya cuman lagi pamer ke dunia kalau saya lagi kencan sama pacar saya..

Kalau lagi makan sendirian terus HP-an, nggak pa-pa, kali ya?
Tapi kalau lagi makan sama orang lain, jangan deh ah..
Gambar: http://imagesource.com
Saya juga yakin bahwa saya bukan satu-satunya yang norak di dunia ini karena nggak bisa melepaskan HP saya. Coba pikir, apa yang Anda lakukan pertama kali kalau bangun tidur? Matiin alarm dari HP, kan? Sewaktu di HP ada tumpukan notifikasi, entah itu SMS atau e-mail, pasti Anda gatel untuk membukanya, kan? Nanti Anda mandi, sebelum mandi, lihat HP dulu kan? Lagi nyeduh teh buat sarapan, tangan kanan ngaduk teh, dan tangan kiri baca HP juga kan? Bahkan di kantor, sebelum Anda mau rapat, Anda pasti nge-silent HP dulu kan? Mau pulang dari kantor dan jalan ke mobil yang diparkir, Anda lihat HP dulu kan? Nanti di rumah sebelum tidur, mau pasang alarm, pasti lihat HP dulu kan? Pokoknya, hampir setiap saat, kita nggak bisa ngelepasin HP itu..

Harusnya yang dipegang itu Khong Guan. Bukan HP..
Jadi saya ngakak, sewaktu beberapa hari lalu my hunk ngirimin saya gambar ini. Kolega saya bilang bahwa itu “gambar masa kini”. Berapa banyak dari kita yang telah kehilangan sopan santun gara-gara pas lagi makan sama orang lain, kita malah sibuk HP-an?

Padahal mbok sesekali saya kepingin makan dengan tenang, sembari chit-chat sama partner makan saya, memandangi tampangnya yang cakep, bukan sibuk ngoceh di Twitter, “Aku lagi makan bebek goreng sama si Anu..”

Mungkin lain kali sekolah tata boga harus merevisi pedoman tata meja makannya. Jadi di tiap sisi meja makan itu nggak cuman disediakan piring di tengah, sendok dan pisau di kanan, garpu di kiri, tapi di alas makannya juga harus disediakan tempat buat naruh HP..

Nggak mau kan HP Anda berakhir kayak gini?
Gambar: http://guntothingatheist.blogspot.com
Tetapi saya juga nggak menyangkal, kadang-kadang kalau saya lagi makan, HP saya nge-buzz bolak-balik, pertanda si pemanggil itu ngeyel minta saya bales pesannya saat itu juga. Kadang-kadang nggak cuman pas lagi makan, seringkali pesan berbau darurat masuk ke HP saya pas saya lagi nyuci baju, atau pas saya lagi pup, intinya pas tangan saya lagi basah sehingga nggak kompeten buat megang HP. Mosok saya harus bawa HP kalau saya lagi ngedhen di toilet? Lha kalau saya lagi pup, terus saya kehilangan keseimbangan dan HP-nya jatuh ke lobang toilet, gimana?? (Tidak usah dibayangkan!)

Jadi, Sodara-sodara, sekali-kali taruhlah HP-mu dan hiduplah seperti manusia yang nggak pakai mesin. Tidak semua orang beruntung bisa makan enak, jadi kenapa kita nggak bersyukur dengan memandangi makanannya seperti kita memandang Richard Gere yang sexy, bukan memandang HP yang nggak ada cakep-cakepnya sama sekali?

Karena, hendaklah ruang makan itu seperti gambar di kaleng Khong Guan. Harusnya, yang dipegang itu biskuit, bukan HP..

Friday, June 17, 2011

Hoax Salah Sasaran

Saya lagi sebel sama orang-orang yang nyebar-nyebarin info broadcast yang menjelek-jelekkan produk tertentu via SMS. Masih seger di ingatan saya bagaimana sebuah restoran Otneb Akoh-Akoh difitnah mengandung babi. Atau Acoc-Aloc difitnah haram. Atau produk esgrim Mungam katanya mengandung babi. Lengkap dengan sumber info yang biasanya adalah lembaga berbau keagamaan tertentu.

Dan saya jadi esmosi karena SMS-SMS hoax macem gitu membuat waktu saya yang sangat berharga ini jadi terbuang akibat saya harus menghapus SMS-SMS hoax itu satu per satu! Coba bayangin, dalam melamun lima menit aja saya bisa dapet ide buat bikin lima posting blog. Kalau lima menit itu saya habiskan buat menghapus SMS-SMS jelek, berapa tulisan blog yang gagal ter-posting gara-gara ulah orang-orang berpikiran pendek? Ceilaah..

Tukas Bu De, "Aku nggak pake pembalut-pembalutan!Gambar: http://sangpemburuberita.com
Dan yang terbaru kemaren, saya baru dibisikin, katanya pembalut **A** mengandung kaporit yang bisa bikin kanker serviks. Oleh karena itu disarankan untuk tidak menggunakan pembalut **A**. Sumbernya dari Trans7.
Batin saya: Dasar bloon. Mau mengadu domba stasiun tivi dengan perusahaan pembalut aja kok bertele-tele gini.

Ternyata SMS hoax itu masuk ke HP Bu De saya. Lalu Bu De saya membacakan SMS tentang pembalut **A** yang mengandung kaporit itu, kepada saya.
Saya memandang Bu De saya dengan tampang “I’m-a-doctor-and-you’re-lecturing-me-about-cervical-cancer?”
Bu De saya, yang sudah menopause itu, langsung mendengus, “Aku sudah nggak pake pembalut, kok masih aja dikirimi SMS ginian? Siapa juga mau pake pembalut?” Dan tombol “reverse” pun terpencet lah sudah..

Wednesday, June 15, 2011

Trik Curang Ujian

Terlalu banyak nonton film maling cerdas bikin saya ngerti pelajaran moralnya: Kalau kamu kepingin nangkep maling, berpikirlah a la maling.
Jadi, kalau kamu kepingin nangkep murid yang curang waktu ujian, berpikirlah a la murid yang kepingin curang.

Berbagai macam cara dilakukan buat nyontek.
Gambar: http://cuppasunshine177.blogspot.com
Kolega saya cerita, jaman dia masih kuliah S1 dulu, mereka bahu-membahu nyuri soal. Kebetulan sistem ujiannya ya sama aja dengan ujian mahasiswa pada umumnya: ada ujian tengah semester (UTS), ada ujian akhir semester (UAS). Bahkan ada ujian perbaikan. Biasanya, materi untuk soal UAS itu, sebagian diambil dari soal UTS. Malah, materi untuk soal ujian perbaikan biasanya ngambil dari soal UTS dan soal UAS. Jadi kuncinya, kalau mau sukses di UAS atau ujian perbaikan, ambillah soal UTS. Persoalannya, gimana caranya ngambil soal UTS, lha saban kali habis ujian, soal nggak boleh dibawa pulang?
Jadi kolega saya dan teman-temannya bikin strategi. Anggaplah berkas soal UTS itu terdiri atas 100 soal dalam 10 halaman. Nah, terbentuklah sindikat yang terdiri atas 10 orang mahasiswa yang ikut ujian. Pada waktu ujian dilaksanakan dan soal sedang di tangan mahasiswa, mahasiswa pertama bertugas nyobek soal halaman 1, mahasiswa kedua kebagian nyobek soal halaman 2, mahasiswa ketiga nyobek soal halaman 3, dan seterusnya. Masing-masing pelaku sudah bawa stapler buat menjepret berkas soal supaya tetap rapi seperti semula, tapi mereka umpetin halaman sobekan masing-masing, dan hasil sobekan itu mereka kumpulkan diam-diam sesudah ujian. Hasil sobekan dikoleksi, lalu difotokopi dan dibagikan satu per satu ke teman-temannya seangkatan. Jadi mereka bisa kembali mempelajari soal itu untuk UAS nanti.

Akankah ketahuan? Bisa ya, bisa enggak. Biasanya kelakuan tim pengawas itu selalu sama. Sesudah menit terakhir ujian, soal dan jawaban kan dikumpulkan di meja pengawas. "Kesalahan" pengawas adalah, mereka minta soal ditumpuk di tumpukan soal, jawaban ditumpuk di tumpukan jawaban. Coba kalau yang ujian ada 100 orang aja, mana pernah mereka meriksa bahwa ke-100 berkas soal itu dikumpulkan masing-masing dalam keadaan lengkap?

Tentu saja sekarang kampus makin pinter. Setiap mahasiswa disuruh menuliskan nama mereka pada berkas soal, jadi ketahuan nanti siapa yang berkas soalnya kekurangan halaman.
Mahasiswa nggak mau kalah. Mereka sudah sepakat nyatet soalnya sendiri-sendiri. Misalnya, mahasiswa nomer absen 1 nyatet soal nomer 1, yang nomer absen 2 nyatet soal nomer 2, dan seterusnya sampek nomer absen 100 nyatet soal nomer 100. Sepulang dari ujian, mereka ngumpulin catetan masing-masing. Jadilah 100 soal dalam berkas yang sama.

Kadang-kadang ada aja yang nggak mau repot nyatet soal. Diam-diam waktu ujian, dia ngeluarin HP, lalu dia potretlah itu soal.
Sudah nggak manjur pengawas nyuruh mahasiswa ngumpulin masing-masing HP-nya di meja pengawas. Kadang-kadang mahasiswa punya HP dua biji, jadi yang dia kumpulin cuman satu, dan satu lagi dia umpetin di saku bajunya. HP yang dikumpulin di pengawasnya itu jenis HP murahan, yang udah rusak, yang udah jatuh dari puncak Gunung Bromo berkali-kali, dan dijual di pasar gelap pun nggak laku-laku, jadi kalau pun hilang sewaktu dikumpulin di meja pengawas pun nggak pa-pa.
Tinggallah pengawas nampak seperti tukang tadah HP bekas..

Ngapain sih saya nulis ginian? Bukannya malah ditiru sama adek-adek yang masih sekolah buat jadi modus nyontek?

Ny Siami, ibunda dari murid SD yang disuruh gurunya memberi
contekan kepada teman-teman sekelasnya pada ujian nasional.
Sumber: http://okezone.com
Saya nulis ini, karena buat menuhin tantangannya Bair, yang tadi siang di Twitter minta saya nulis tentang #IndonesiaJujur. Saya simpati sama Bu Siami (baca kasusnya di sini), yang terpaksa diusir oleh para tetangganya di Gadel, Surabaya lantaran melaporkan guru anaknya ke Dinas Pendidikan Nasional. Pasalnya, si guru itu nyuruh anaknya Bu Siami buat ngasih jawaban ujian ke teman-teman sekelasnya supaya murid-murid sekolah itu lulus ujian..

Saya jijay setengah mati sama guru itu. Mbok ya ide nyontek itu paling pol ya dateng dari muridnya, jangan dateng dari instruksi gurunya. Guru kok nyuruh muridnya nyontek sih? Nih guru kurang gizi ya sampek-sampek mental pendidiknya berubah jadi mental tukang nyolong?

Saat saya menulis ini, anggota yang bergabung di grup Facebook Dukungan untuk Ny Siami sudah mencapai 1490 orang. Guru yang menyuruh putra Bu Siami untuk kasih contekan kepada teman-teman sekelasnya, sudah dicopot dari sekolah itu. Besok, Kamis, 16 Juni, Bu Siami akan menghadap aula Mahkamah Konstitusi untuk berbicara mengenai kasus yang menimpa putranya yang malang itu.

Saya nulis trik nyuri soal ini, supaya para sekolah lebih waspada. Anak semakin pintar diajar, nggak cuman pinter hard skill, tapi juga pinter soft skill. Kalau diarahkan, dia bisa jadi orang berguna buat bangsa. Tapi kalau nggak diarahkan, dia bisa jadi maling. Makanya sekolah sebagai lembaga pendidikan harus bisa menjaga mental murid supaya tetap jujur. Jadi sekolah harus bisa mengantisipasi upaya kecurangan dalam bentuk apapun. Termasuk sekolah harus tahu modus-modus apa aja yang dipakai muridnya buat main curang waktu ujian!

Saya sih udah berkali-kali nulis trik nyontek yang saya lakukan jaman saya sekolah dulu, sepanjang blog Georgetterox ini hidup. Yang rajin baca blog saya pasti sudah eneg baca tulisan saya tentang nyontek. Tinggal jemaah sekarang bagi-bagi tips nyontek waktu ujian, supaya para guru yang mestinya melek teknologi ini bisa dibantu mengantisipasi. Supaya anak-anak Indonesia bisa jadi anak yang jujur. Supaya bangsa Indonesia jadi orang yang jujur. Dan kita bisa jadi manusia yang mentalnya bermutu, bukan cuman mental maling a la koruptor..

Tuesday, June 14, 2011

Dilarang Nge-Tag Foto Banyak-banyak!


Ini foto sekelas saya di Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Airlangga. Kami foto sekelas rame-rame, lalu seseorang mengunggahnya ke Facebook dan menge-tag foto ini ke temen-temennya satu per satu, termasuk saya. Permasalahan timbul karena begitu sudah sampek di Facebook, foto ini jadi burem, alhasil wajah temennya satu per satu jadi sulit dikenali.

Saya mencoba menolong dengan menge-tag beberapa wajah yang saya kenali. Tapi lagi asyik-asyiknya nge-tag foto, tau-tau di layar dapet peringatan bahwa saya nggak bisa lagi nge-tag karena foto ini sudah mencapai batas maksimum untuk nge-tag foto. Ternyata, Facebook cuman membatasi satu foto hanya boleh di-tag ke 50 orang. Padahal sekelas saya ada 180 dokter!


Bah, sekarang saya ngerti kenapa foto massal rame-rame nggak pernah memuaskan hasilnya kalau di-upload ke Facebook.

Monday, June 13, 2011

Pemanja Telinga Jadul

Sungguh, saya lebih seneng denger live band oldies ini ketimbang Es Teler Dua Belas, hahahahah..

Band ini manggung di Stasiun Gubeng, dari pagi sampek malem. Sesuai dengan penampilannya yang jadul, maka lagu-lagu yang mereka mainin juga jadul. Sewaktu my hunk dan saya nungguin kereta saya dateng tadi pagi, band ini mainin What A Wonderful World. Pas nyanyi, vokalisnya ngeluarin suara yang mirip banget sama Louis Armstrong.

Selanjutnya, si band mainin lagu Semalam di Cianjur. Eh, lihat tante-tante bertopi putih yang duduk di belakang band? Si tante itu menghentak-hentakkan kakinya sepanjang lagu sambil mulutnya komat-kamit nyanyi.

Pada dasarnya hampir semua pengunjung menikmati bandnya. Terbukti banyak orang lalu lalang dan menjatuhkan duit di pot yang ditaruh di depan band bersangkutan. Meskipun ada efek sampingnya juga sih. Buktinya selama bandnya nyanyi, pengumuman dari stasiun bahwa kereta saya udah dateng, jadi nggak kedengeran, hahaha..
Tapi bandnya berupaya mengkompensasi. Setelah mereka selesai bernyanyi, mereka juga ngumumin, kereta A sudah masuk jalur X, bangku-bangku harap disingkirkan.. (Eh, yang terakhir itu, karang-karangan saya sendiri, wkwkwkwk..)

Untungnya saya nggak lama nungguin kereta itu. Coba kalau saya dan my hunk duduk lebih lama lagi di peron. Berlama-lama sambil nonton band oldies nyanyiin lagu oldies, saya dan my hunk berasa kayak tante dan om jaman '60-an.. :p
*sambil masang kaca mata item gede a la Jackie Kennedy*

Bagus deh. Daripada stasiunnya muter lagu-lagu dari band melayu total nggak jelas. Oh ya, pesen saya, seandainya para anggota band ini baca blog saya, tolong ya Om-om, lain kali kalau saya nongkrong di stasiun lagi, nyanyiin lagu-lagunya Radiohead atau Jason Mraz yaa..
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Sunday, June 12, 2011

Monyet Nggak Main di Sini Lagi

Kalau jalan-jalan ke Uluwatu di ujungnya Bali sono, entah gimana saya selalu merasa serba salah. Salah pertama, soalnya saya tahu di sana banyak monyetnya, dan monyet-monyetnya adalah tipe monyet yang ramah alias RAjin menjaMAH, bikin saya waswas lantaran saya takut barang saya ada yang dicopet. Ya know, saya tahu sih di kalangan orang Hindu Bali yang namanya mencopet itu haram banget, makanya saya cenderung lebih percaya mereka daripada yang lain, tetapi kalau monyet mosok mau dilarang nyopet juga? Alhasil mau nggak mau kalau ke Uluwatu saya harus jaga-jaga ekstra, nggak usah pakai asesoris ini itu supaya nggak misuh-misuh sama monyet lokal. Salah kedua, saya jadi merasa "kurang gaya", soalnya saya kan jadi nggak pakai apa-apa, rasanya kalau mau mejeng jadi nanggung gitu, hihihi..

Sedikit informasi, Uluwatu ini posisinya sekitar 45 menit nyetir ke arah barat daya dari bandaranya Kuta. Kalau ke sini, biasanya saya selalu ngusahain perjalanan sepaket, soalnya posisinya nggak jauh-jauh amat dari Pantai Pecatu yang tersohor buat festival selancar internasional itu, atau taman Garuda Kencana yang monumen-monumennya asyik banget buat jadi background foto-fotoan. Sayangnya karena banyak banget yang mau saya lihat dan waktunya sangat mepet, jadilah saya terpaksa ke Uluwatu siang bolong, persis pas matahari lagi terik-teriknya, bo'.. Halaah..saya udah nyerah aja deh, biarin mau item juga, saya tinggal berdoa semoga produk lotion SPF yang saya pakai sudah lulus uji kendali mutu, termasuk payung item yang saya dapet dari museum tahun lalu masih setia di tas saya, beserta kacamata item saya yang segede-gede gaban. Teman saya pernah guyon sama saya, saya takut sama sinar matahari lantaran takut badan saya meleleh.. Emangnya gw patung lilin, apaa..?

Tiba di Uluwatu, seperti biasa, pengunjungnya dipakaikan selendang di pinggangnya. Ini kayaknya adat pura setempat, yang mewajibkan pengunjung pura kalau mau masuk ya harus pakai selendang. Saya sengaja milih selendang warna kuning, soalnya biar eye-catching kalau difoto, hihihi..

Ternyata prakiraan saya salah. Sudah kadung waspada menghadapi sapaan ramah dari para monyet, ternyata monyet di Uluwatu tinggal dikit, olalaa.. Ada sih beberapa monyet mejeng di jalan setapak masuk, beberapa pengunjung melemparinya pisang hanya untuk sekedar memancing buat difoto, tapi lain-lainnya nggak ada. Termasuk pas saya jalan ke jalan setapak di pinggir tebing ini (tolong foto saya diliat ya, saya kan udah capek-capek ng-upload, ihiiy..), nggak ada populasi monyet sama sekali. Padahal terakhir kali saya kemari tujuh tahun lalu, topi rajut saya sempat dicopet monyet lho. Ke mana ya monyet-monyet itu? Ahooy..monyet-monyet, kok kalian semua pada ngumpet kalau saya dateng sih??

Bah, tau gitu saya dateng dengan dandanan lengkap. Padahal saya udah kadung copot arloji, copot anting, untung nggak copot baju sekalian..

Alhasil saya puas-puasin aja keliling-keliling taman sembari photo session. Adalah tidak gampang melakukan photo session pas matahari lagi angot-angotnya, untungnya modelnya sudah cukup banyak pengalaman dalam urusan narsis, jadi fotonya nggak jelek-jelek amat, hihihi..

Oh ya, kalau Anda kecapekan ngiderin Uluwatu ini, Anda bisa nongkrong di pasar seni setempat sambil nyeruput es degan dan ngecengin souvenir-souvenir. Tapi jangan heran kalau mereka sudah mulai naikin harga dua kali lipat dari harga di pasar lain, maklumlah ini daerah turis. Tips kalau mau ke Uluwatu, nggak usah pakai sepatu hak tinggi, soalnya obyek utamanya di sini adalah naik-turun tangga berlumut dari candi satu ke candi lain. Jangan lupa bawa botol minum di dalem tas ya, soalnya tawaf keliling taman ini cukup nguras elektrolit dan di dalam sana nggak ada tukang jual minuman, boo'..

Friday, June 10, 2011

Legian Pindah ke Barat?

Coba tebak, ini di mana? Petunjuk: Foto ini saya jepret di Bali, Sodara-sodara Jemaah Georgetterox tinggal jawab, ini di tempat mana di Bali-nya?

Legian?

Kuta?

Nusa Dua?

Salah semua. Ini di..jreng jreng, Tanah Lot!

Terakhir kali saya ke Tanah Lot tujuh tahun lalu, saya selalu mengenang sebuah pantai di pinggir Bali Barat yang pemandangan utamanya adalah sebuah pulau kecil di seberang pantainya dan di pulau itu ada pura. Tanah Lot adalah primadona utama untuk penghasilan pariwisata Kabupaten Tabanan, dan penduduk lokal memanfaatkan tempat favorit para turis itu untuk berjualan souvenir.

Sewaktu saya ke Tanah Lot minggu lalu, saya tertegun karena sedikit banyak Tanah Lot sudah berubah. Tidak cuman tempat parkirnya yang lebih tertata rapi, tetapi juga pasar di sepanjang jalan setapak menuju pesisir Tanah Lot tempat turis biasa nongkrong ngecengin matahari terbenam, sudah disulap tampangnya menyerupai Jalan Legian di Kuta. Gimana nggak mirip Legian, lha di kiri-kanannya berdiri toko-toko dengan sinar lampu mentereng dengan plang barang-barang bermerk macam Polo, RipCurl, Billabong, dan..Crocs??

Nampaknya pemerintah daerah Tabanan telah menata kawasan ini habis-habisan menjadi daerah dengan perputaran uang yang cukup tinggi. Beberapa petak tanah di sepanjang jalan Tanah Lot, yang saya ingat dulu tempat berdirinya toko-toko lusuh yang mau bobrok, nampaknya telah dijual ke investor-investor tajir, dan para investor itu pun mengeksploitasi tanahnya dengan membangun toko-toko cantik yang mewah. Yang belanja di situ ya turis-turis, namun lebih banyak lagi turis-turis Kaukasus yang pergi ke sana dan membuang banyak dolar hanya untuk sekedar souvenir kayu. Pendek kata, Tanah Lot bukan lagi sekedar area lokal milik penduduk Bali, tetapi sudah jadi area internasional yang mahal..

Kabar baiknya, penduduk lokal nggak cuman sekedar jadi penjual penggembira, tapi mereka tetap diperbolehkan menyewa banyak lahan di sana untuk menggelar lapak maupun kios, meskipun harganya memang setengah mati harus bersaing. Adanya toko-toko semacam Polo yang mewah nampaknya nggak bikin para pedagang souvenir lokal kalah pamor, coz saya masih melihat banyak sekali turis Kaukasus dengan antusias menyisiri pasar di Tanah Lot untuk menawar kain sarung.

Saya senang melihat orang-orang berjualan dan membeli di sana, dan saya senang lihat orang-orang berambut pirang itu nggak segan-segan merogoh seratus ribuan perak hanya untuk sekedar sebentuk gelang kayu. Pasar di Tanah Lot cenderung lebih menarik daripada tahun-tahun sebelumnya, artinya lebih banyak lagi penghasilan masuk ke kantong penduduk setempat. Lebih banyak orang kaya, mudah-mudahan akan diikuti lebih banyak lagi orang yang bisa mengakses pelayanan kesehatan dan bisa bersekolah sampek perguruan tinggi.

Seperti yang saya ingin bilang dari dulu, bagian paling menyenangkan dari jalan-jalan berkelana bukanlah belanja souvenir. Bagian paling menyenangkan justru MENEMUKAN. Dan saya menemukan bahwa pedagang lokal di Tanah Lot yang dulu beromzet kecil, kini bisa lebih sejahtera dengan pasar Tanah Lot yang kini tampil lebih ngejreng dan memikat.

Wednesday, June 8, 2011

Umur = Wibawa?

Jaman dulu tuh, guru atau dosen diidentikkan dengan bapak-bapak atau ibu-ibu dengan dandanan kuno dan ke mana-mana mengayuh sepeda atau naik motor bebek. Tapi hari gini, sekarang banyak sekali dosen tampil dengan gaya dandy yang trendy sambil bawa leptop atau kompie tablet. Kurang lebih hampir mirip tokoh Bu Guru di video klipnya Boyzone “Key to My Life” itu deh. Yang cukup signifikan adalah mereka tidak lagi selalu nampak tua. Sebagian dari mereka ternyata seumuran saya, membuat saya merasa ironis bahwa umur segini saya masih jadi mahasiswa.. (Halah, kamu kan mahasiswa spesialis, Vic.. Ya beda dong!)

Saya nulis ini karena barusan baca tulisan teman saya, yang kini seorang dosen di sebuah perguruan tinggi dan umurnya lebih muda daripada saya. Karena umur kami masih muda beginilah, umur kami jadi nggak beda-beda jauh dari mahasiswa S1 yang dia ajar. Efeknya, temen saya nggak merasa seperti “ibu-ibu dosen”, maka dia membolehkan mahasiswanya manggil dia “mbak”. Efek sampingnya, beberapa mahasiswanya itu jadi sikapnya, yaah..gimana ya? Jadi nggak sopan gitu deh.

Lalu saya bertanya-tanya, ini sebenarnya salah siapa? Salah dosen yang nggak mau dikira ibu-ibu? Atau salah mahasiswa yang nggak mau menempatkan diri sebagai anak didik terhadap dosennya? Atau salah kampusnya yang mengangkat dosen yang bahkan belum jadi ibu-ibu? Saya sendiri masih sering dicap stigma “Masih muda kok sudah jadi dokter ya..” gara-gara tampang saya yang babyface. *dikeplak*

(Padahal saya pikir, kalo sampeyan nggak mau berobat sama saya, silakan cari dokter lain yang sudah beruban, botak, dan sudah tuwir.. Toh yang sampeyan cari kan cuman umurnya, bukan profesionalismenya, ya toh?)

Nah, mengenai problemnya temen saya, maka saya mencoba cari-cari referensi ke lingkungan saya. Hasilnya saya dapet fenomena yang cukup menarik.

Sekolah saya, kedokteran spesialisasi kandungan, punya banyak dosen dan punya lebih banyak murid. Dosen saya semuanya adalah dokter spesialis kandungan, dan salah satu dosen saya, ternyata usianya cuman beda lima tahun di atas saya. Tapi saya sudah melihatnya pidato, dan tidak ayal lagi saya harus mengakuinya sebagai public speaker yang sangat pintar dan menarik. Jujur aja, saya jarang banget nemuin dosen yang bisa membuat semua orang di dalam ruangan bisa mendengarkan pidatonya dengan antusias seperti itu.

Murid-murid tempat saya bersekolah, semuanya adalah dokter umum. Paling muda usianya 26 tahun, dan yang paling tua kalau nggak salah berusia 39 tahun (beda 10 tahun di atas saya). Artinya, dosen saya punya murid yang umurnya lima tahun lebih tua dari dirinya!

Pertanyaan kecil saya, kakak kelas saya yang berumur 39 tahun itu manggil dosen saya yang lima tahun lebih muda itu dengan sebutan apa?

Jawabannya, tetap manggil “Dok”. Bukan “Mbak”. Apalagi “Dek”.

Di sekolah saya, yang paling penting dihargai adalah taraf keilmuannya. Siapa yang punya ilmu lebih duluan, dia lebih dihormati. Tidak masalah berapapun umurnya.

Bahkan, kakak kelas saya yang lain, yang umurnya sudah hampir 40 tahun, ngaku sendiri kalau dos-q sudah pernah diamuk-amuk oleh dosen yang umurnya lebih muda daripada dirinya, gara-gara dos-q salah prosedur. Dan dos-q menerima amukan itu dengan jiwa besar.

Umur hanyalah sebuah angka yang tidak bisa kita atur-atur. Tetapi kita bisa memilih sikap dan cara pembawaan diri macam apa yang ingin kita tampilkan.

Jadi, saya rasa, urusan gap antara umur ini hanyalah bisa diselesaikan kalau kita mau bersikap menyesuaikan diri dengan posisi yang kita miliki. Artinya kalau kita jadi murid, bersikaplah seperti murid yang berguru kepada dosennya. Dan kalau kita jadi dosen, bersikaplah seperti guru yang mendidik muridnya. Kecuali kalau memang tujuan dosennya hanyalah mengajar, bukan mendidik. Karena mengajar hanyalah urusan transfer ilmu. Sedangkan mendidik bukan cuman sekedar transfer ilmu, tetapi juga membentuk murid jadi manusia yang lebih berbudi luhur dan punya sopan santun.

Oh ya, gambarnya diambil dari sini dan sini

Tuesday, June 7, 2011

Kembang Norski? Biarin Ah!

Barangnya norak, tapi saya nyarinya susah-payah dan tetep kangen, hihihi.. Buat saya tampangnya imut-imut lucu gitu. Dan saya tahu barang gini pasaran bukan main, banyak banget yang jual, tapi kok selama ini kurang sreg kalau saya nemunya. Sampek beberapa hari lalu di Bali..

Alkisah, mungkin sekitar 2-3 tahun lalu, sepupu saya, Ririn, pakai jepit waktu dateng ke arisan keluarga. Jepitnya sih jepit plastik biasa, tapi tuh jepit ditempelin ornamen berupa bunga kamboja segede-gede gaban pada kedua sisi jepitnya. Jadi kalau dipakai di rambut, kayak seolah-olah kita pakai bunga kamboja gede gitu. Nah, saya seneng banget ngeliatnya, jadi saya kepingin punya. (Dasar copycat..)

Nah, jalan-jalan di Bandung, saya nemuin jepit yang sama persis di Mal Pasar Baru. Saya mau beli, tapi nggak jadi, coz harganya dong.. Rp 35k. Alamaak! Mahal amat seh, cuman jepit ginian doang. Batal deh belinya, langsung tuh jepit saya tinggal gara-gara encik-encik yang jualnya nggak mau ditawar. Tadinya saya kira gertakan saya ninggalin dia bakalan bikin dia manggil-manggil saya lagi, tapi ternyata..eh, dia nggak manggil saya balik. Huwaa..saya gengsi dong balik lagi.

Sampek bertahun-tahun, tuh jepit masih terngiang-ngiang ke mimpi saya, ceilaah.. Padahal Mbak Ririn udah jarang banget pakai jepit itu lagi..(Atau saya aja ya yang nggak pernah ketemu dia lagi, semenjak dos-q merit dan hengkang ke Palu)

Nah, waktu saya ke Bali minggu lalu, saya jalan-jalan dan dengan gampangnya saya nemu jepit ini kembali. Ya iyalah, bunga kamboja kan bunga yang populer banget di kalangan cewek-cewek Bali. Pertama-tama saya nemu di factory outlet, ternyata harganya dibanderol Rp 25k. Harganya fixed tuh, nggak boleh nawar kan kalau beli di factory outlet. Ada juga sih jepit-jepit dengan bunga-bunga yang ukurannya lebih mini, tentu saja dengan harga yang lebih murah, tapi saya tetap lebih suka yang kembangnya ukuran jumbo gini. Dan saya mau yang kembangnya putih supaya dikira kembang asli! Soalnya ada juga yang tepian kembangnya warna ijo, biru, pink, ungu, oranye..


Saya jalan lagi ke pantai-pantai. Di pantai kan banyak pasar souvenir gitu, dan nih jepit jadi barang yang pasaran banget. Rata-rata tuh pasar ternyata jualnya juga sama aja dengan harga factory outlet. Dan saya lihat yang makai barang ini banyak bener, mulai dari turis-turis Kaukasus sampek emak-emak tukang pijet yang suka gentayangan di pinggiran Pantai Legian. Peredarannya yang pasaran nggak bikin saya jiper, malah justru bikin saya tambah kepingin. Tapi saya nggak mau beli tuh jepit seharga Rp 35 k. Mahal, tauk!


Sampek kemudian saya mendarat di Sanur. Di pasarnya saya jalan keliling, dan nemu jepit ini lagi. Saya pegang-pegang, emak-emak yang jualnya langsung antusias. "Bagusy idtu djepidtnya, tjandtik itu dipake mbaknya. Mau? Jual adja, nandti kasyi mura.." popornya dengan logat Bali yang kental.

Saya tanya, "Berapa?"
"Dtiga pulu lima ribuu.."
Saya menggeleng. "Oh oh. No. Turun lagi laah," kata saya dengan logat Singapura.
"Mau berapa? Dua pulu lima saya kasyi.."
"Sepuluh," jawab saya sadis.
"Aduh, nggak dapedt idtu juga modalnya. Dua puluh, mau?"
"Sepuluh," saya pasang tampang merajuk.
"Nggak bisa. Dua pulu idtu syuda murah.."
Saya melambaikan tangan dan hengkang. Ini taktik saya nawar. Saya mulai berpikir untuk menyerah. Ayolah, Vic. Kamu menginginkannya kan? Sudah tiga tahun kamu mencari ini lho, Vic. Mungkin harganya yang pantas memang Rp 20k. Coba bayangkan bahan bakunya. Ketelitian pekerja yang membuatnya. Teganya kamu menghargai jerih payah buruh tangan Bali yang pendidikannya minim itu hanya dengan membelinya Rp 10k untuk sekedar jepit rambut?

Saya menghampiri nyokap saya yang lagi jalan di depan. "Mom, itu jepit harganya Rp 20k dia jual, pantaskah?"
Nyokap saya menoleh. "Mana?"
"Tuh," saya melirik.
Nyokap saya melihat jepit itu sekilas, lalu mengedikkan kepalanya ke emak-emak penjualnya. "Berapa?"
Kata emak penjualnya, "Dua pulu ribulah kasyii..mau?"
Nyokap saya pura-pura terkejut. "Lho? Nggak lima ribu?"
"Aduh, mana dapedt laa itu lima ribu. Dua pulu adja uda muraa.."
Nyokap saya menghela nafas. "Ya sudah, kalau nggak mau lima ribu," desahnya, lalu ngacir.

Eh, dua detik kemudian, tiba-tiba si emaknya berseru, "Ya suda, ambil adja ngga pappaa..!"
Saya langsung putar badan dan balik lagi ke si emak dengan berseri-seri!

"Bener ya? Saya nggak beli lho, Bu. Cuma mintak," kata nyokap saya sambil kasih selembar lima ribuan.
"Ya suda, ngga pappaa..dtapi djangan bilang-bilaang.." ujar si emak nampak cemas.
"IYAAAA.." kata saya dan nyokap cengar-cengir.


Saya langsung mengikat rambut saya ke atas dan menjepitnya dengan jepit bunga kamboja norak itu. Spontan angin pantai sepoi-sepoi bertiup ke leher saya yang memerah karena keringat. Ihiiy! Sumpah deh, Sanur panas banget!

Jadilah saya pakai jepit ini sepanjang weekend saya di Bali, dan baru saya lepas waktu saya tiba di Surabaya. Kata my hunk, jepit saya lucu..


Sebelum pulang ke Surabaya, nyokap saya masih sempet nanya ke saya, "Kok kemaren nggak beli dua sih?"
"Lho, beli dua buat apa?" tanya saya keheranan.
"Yaah..kalo tuh jepit rusak, kan masih ada satu lagi. Mumpung jepitnya cumak lima ribu.."
Ya elah!


Sekarang saya nggak pakai lagi. Soalnya kalau keseringan dipakai, takutnya kelopak kembangnya jadi nekuk-nekuk, jadinya keliatan kayak kembang layu deh.. Lagian ini di Surabaya, please dong ah, ngapain pakai jepit ginian, ntie tampang saya jadi nggak eksotis lagi dong..


Tips belanja souvenir di pasar Bali:

1. Berpakaianlah a la turis Indonesia. Jangan berpakaian a la turis Kaukasus. Soalnya tiap souvenir itu ada harga lokal, ada harga dolar.

2. Usahakan pergi ke pasar itu pagi-pagi. Soalnya ada kepercayaan, pembeli pertama itu penglaris. Kalau pembeli pertama ditolak, nanti seharian itu nggak dapet rejeki.

3. Jangan pernah jatuh cinta pada suatu barang. Percaya deh kalau barang-barang di pasar itu pasaran semua, jadi pasti banyak yang jual. Sisirin pasarnya satu per satu, sampek nemu harga termurah.

4. Cewek-cewek yang pakai jilbab nggak akan nemu baju gamis di pasar-pasar pinggir pantai. Lha baju-baju yang dijual di pantai itu kutungan semua.. Kalau mau baju bali yang lengan panjang, cari di factory outlet.


5. Kalau belanja nggak usah ngajak-ngajak cowok, entah itu suamimu, pacarmu, bokapmu, apalagi grandpa-mu. Mereka bisa pusing lihat kelakuan kita keluar-masuk toko dan nggak beli apa-apa selain berantem sama penjual tokonya buat nawar harga. Cukup dudukkan cowok-cowok itu di warung makan dan traktir mereka es degan sambil makan jenang gambir.

Monday, June 6, 2011

Sabun Bikin Ogah Cuci Tangan

Suka be-te kalau di jalan tahu-tahu harus makan, kudu makan pakai tangan, tapi nggak bisa cuci tangan lantaran nggak bawa sabun. Bawa sabun sendiri jadi masalah soalnya sabun batangan kan berat dan cukup menuh-menuhin tempat. Mau pakai sabun mandi yang cair kok rasanya man-eman, soalnya sabun cair saya harum banget, sayang kalau mau dipakai cuci tangan cuman buat mau mengganyang bebek goreng, hahaha..

Sebenarnya sabun cair rasa buah yang biasa ditaruh di wastafel itu sudah cukup bagus, sayangnya belum ada kemasan travel-nya, jadi susah kalau mau dibawa ke mana-mana..

Sekarang sudah banyak hand sanitizer, tapi semenjak kuliah Pengendalian Infeksi minggu lalu yang mengatakan bahwa hand sanitizer botolan itu nggak mencuci tangan sebersih sabun, saya jadi males beli hand sanitizer lagi.

Nggak pa-pa, saya nemu ini, sabun kertas. Biasanya sabun kertas dijual ya dalam bentuk kertas-kertas kecil gitu, kira-kira seukuran puff bedak compact. Beberapa kolega saya bawa sabun kertas dalam dompetnya, katanya suka dipakai buat bersih-bersih kalau mereka habis pup di kamar mandi umum.

Nah, sabun kertas yang saya temuin ini dikemas dalam ukuran kecil-kecil. Selembarnya kira-kira selebar diameter tabung reaksi. Ada pilihan warna ijo, biru, pink, tapi karena nggak ada warna merah, jadi saya pilih warna oranye. Nggak tau satu tabung isinya berapa lembar, tapi yang jelas menurut yang jualnya di Kuta, tabungnya dijual seharga Rp 8k, sedangkan sabunnya gratis..

Masalahnya, sabun kertasnya bentuknya kembang, jadi memandang tabung ini, serasa saya lagi ngeliatin kembang-kembang kertas imut di dalam tabung. Waduh, jadi males makenya, soalnya kalau sabunnya udah abis, kan sayang.. :p
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Saturday, June 4, 2011

Kerupuk Dosa

Orang tuh kalau mau dikunjungin biasanya minta oleh-oleh yang normal semacem kue, atau keripik, tapi baru kali ini saya denger ada orang minta dioleh-olehin kerupuk gurilem.

Sepupu saya, Inna, sewaktu tahu kalau nyokap saya mau terbang ke Denpasar tempatnya tinggal, tanpa tedeng aling-aling ngasih tahu saya kalau dos-q nitip minta dibeliin kerupuk gurilem. Tadinya saya bingung, kerupuk gurilem itu apaan. Saya kan nggak terlalu ngefans sama kerupuk, saya cuman tahu kerupuk itu yang suka dijual di warteg dan disimpan di kaleng seng, ada yang warna putih, warna kuning, dan sebagainya. Saya mau nanya ke siapa juga nggak tahu, coz saya nggak tahu di mana alamatnya asosiasi pecinta ilmu perkerupukan.

Nyokap saya, sampek akhirnya bela-belain ke pasar langganannya di Cimohai. Sewaktu dateng ke pasar, kalau biasanya pertama-tama nyari beras dulu, untuk sekali itu nyokap saya termenung. Sampek ditanya-tanyain para pedagang yang terheran-heran. "Kenapa, Bu? Cari apa?"

"Ngg.." Nyokap saya menelan ludah. "Di mana ya saya bisa dapet kerupuk gurilem?"

Kontan pedagang satu pasar ketawa semua.

Yang jelas, intinya nyokap saya nemu juga tuh kerupuk gurilem. Antara kaget dan nggak percaya, nyokap saya membeli dengan penuh rasa waswas. Serius nih, kayak gini ini kerupuk gurilem yang dicari-cari sepupu saya?

Setibanya di Denpasar, nyokap saya ngasih oleh-oleh itu ke sepupu saya dengan segan-segan. Tanpa diduga sepupu saya malah kegirangan bukan kepalang dan langsung melahap kerupuk gurilem itu bulat-bulat.
Saya, lihat sepupu saya ngemil, seperti biasa tergiur kepingin ngincip. Dan terkejut saya menyadari kalau cemilan yang nampak dilahap sepupu saya itu hanyalah sebungkus kerupuk. "Where da heck you get that??"
Dengan bangga sepupu saya bilang itu dikasih sama nyokap saya. "Ini kerupuk gurilem!"
Jerit saya, "Itu kerupuk pedees! Bagii!" Saya langsung menyerbu dan ikutan makan kerupuk dengan rakus. "Ini jajanan gw jaman SD!"

Hehehe, jadi kerupuk gurilem, sebenarnya adalah satu lagi cemilan orang Sunda yang jaman saya SD dulu disebut kerupuk pedes. Kerupuk putih biasa, dipatah-patahin hingga seruas jari, dimasukin ke kantong plastik, lalu ditumpahin bumbu yang pedes. Kadang-kadang saking pedesnya, kerupuknya sampek-sampek jadi berwarna merah. Nah, waktu kecil dulu nyokap saya sampek waswas kalau saya jajan itu, coz hanya Tuhan dan produsennya yang tahu apa bumbunya. Yah, selain cabe tumbuk dan garam, tentu saja ada vetsin, monosodium glutamat, dan entah apalagi yang intinya bikin ketagihan. Buktinya kalau saya beli satu bungkus aja rasanya kurang, pasti minimal harus beli dua, hahaha..

Nah, jaman saya SD dulu, sekitar 20 tahun lalu, satu bungkus kerupuk itu dijual cukup murah, Rp 50,- aja. Lha sekarang, buat ngoleh-ngolehin sepupu saya, nyokap saya beli kerupuk cemen itu sebungkusnya Rp 4000!

"Hah? Mahal banget?" tukas saya nggak rela. Sepertinya masa-masa kejayaan jaman SD saya ketika semua barang masih murah meriah sudah berlalu.

Hohoho, tapi saya tetap aja ngiler lihat sepupu saya makan tuh kerupuk. Jadilah kami berdua nongkrong di bangku belakang mobil sambil ngunyah kerupuk gurilem seperti dua gadis kecil nggak tahu diri. Padahal sepupu saya udah punya anak, dan saya sekarang kan murid sekolah spesialisasi yang harus sok jaim.. *hoeekk..*

Untungnya kami berdua buru-buru kembali ke jalan yang benar dan sudah nggak kecanduan cemilan nggak bergizi yang bermandi MSG itu lagi. Saat ponakan saya yang berumur dua tahun menjamah tangan sepupu saya buat minta ngincip kerupuk, sepupu saya segera ingat bahwa anaknya sebaiknya dilindungi dari bahaya kecanduan bahan kimia penyedap rasa.
"Jangan, Nak," kata sepupu saya. "Ini namanya kerupuk dosa, Nak. Kamu jangan makan ya? Cukup Ibu aja yang makan ya? Kamu makan yang lain aja ya?"

Dan saya menggigit bibir saya demi menahan tawa.

Semoga, lain kali sepupu saya request oleh-oleh lain yang lebih normal.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com

Thursday, June 2, 2011

Backpacking Apaan?

Ingat saya pernah nulis di blog ini bahwa saya kepingin sekali pergi naik pesawat tanpa bawa apapun kecuali sebuah tas? Well, akhirnya saya mewujudkannya. Meskipun nggak terlalu persis bayangan saya sih, karena saya kan semula ngebayangin saya naik pesawat dengan bawa tas tangan cewek yang feminin. Apa daya barang yang saya bawa ternyata banyak banget, jadinya nggak mungkin muat dalam tas tangan, maka saya mengangkut semuanya dalam sebuah ransel besar.

Padahal saya nggak bawa apa-apa lho.. (Halah..) Cuman empat setel gaun buat jalan-jalan, dua setel daster, selembar baju renang, dan beberapa potong underwear (sambil berdoa mudah-mudahan minggu ini saya nggak dateng bulan. Males nyucinya kalau lagi jadi musafir gini!) Saya berhasil menekan keinginan buat bawa sendal wedge saya yang sebenarnya lebih cocok buat nimpuk anjing gila, dan saya cuman bawa satu biji body lotion (bukan bawa macam-macam wangi-wangian untuk bahan pamer harum ke adek saya..)

Lha, pas naik pesawat pun saya kumat noraknya. Di mana-mana peraturan pesawat pun bilangnya bagasi kabin kudu ditaruh di bawah kursi atau di lemari di atas kursi, ya toh? Tapi berhubung tas ransel saya gembung, jadinya nggak muat kalau ditaruh di bawah kursi. Dan saya nggak suka naruh tas jauh dari jangkauan tangan, soalnya saya ini tipe yang gatelan suka meriksa barang di tas karena takut ada yang ketinggalan. Jadilah tuh ransel saya empet di antara kaki saya. Kalau penumpang sebelah mau lewat, nggak tahu deh aah.. :p
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com