Sunday, May 6, 2012

Dadah Dulu, Dodol

Setelah ini, saya jadi tertampar karena saya nggak pernah basa-basi.

Saya baru masuk kantor kemaren. (Iya, saya ketiban giliran jaga di hari weekend! Nggak usah ngetawain saya!) Lagi duduk-duduk sembari nunggu sarapan dateng. Terus, saya denger bidan yang seruangan sama saya, kebetulan dos-q dapet giliran jaga malam, jadi dos-q lagi siap-siap mau pulang karena bidan yang giliran jaga pagi sudah dateng buat gantiin dos-q. Oh ya, di sini juga ada mahasiswa kebidanan yang lagi kerja praktek di sini.

Bidan: Mbak, perasaan tadi malem, yang mahasiswanya duduk di sini bukan sampeyan.
Mahasiswa: Oh iya, Bu. Giliran saya sekarang mulai jam 7.00.
Bidan: Lho, yang tadi malem itu sekarang ke mana?
Mahasiswa: Sudah pulang, Bu. Kan sudah ada saya yang gantiin.
Bidan: Lho, gimana sih, kok pulang duluan nggak minta ijin dulu sama saya?
#hening#

Saya dengernya agak terhenyak. Ya know, di antara lingkungan saya sendiri, ada aturan bahwa dokter junior nggak boleh pulang lebih duluan kecuali dokter seniornya udah pulang. Kecuali kalau seniornya ngijinin. Saya nggak ngira para bidan itu juga punya aturan serupa.

Tadinya saya nganggap itu suatu jenis ritual senioritas yang lain lagi. Well, gimana kalo yang senior itu masih arisan ngerumpi dulu sambil makan belut goreng padahal yang junior sudah kemecer mau pulang buat main bowling? Mosok mahasiswanya harus menunda main bowling hanya demi nungguin seniornya makan belut?

Tapi belakangan saya tahu bahwa ada esensi yang lebih penting ketimbang sekedar upacara tunggu-tungguan. Ini urusan setia kawan.

Kolega yang belum selesai kerja adalah kolega yang sedang kesulitan karena tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Sebaiknya kolega lainnya ikut menemani, bukan meninggalkannya mampus sendirian. Kadang-kadang menemani bukan ikut bantu mengerjakan, tapi menemani itu mengandung makna psikologis. Tidak ada orang normal di dunia ini yang senang berada di kantor pada hari weekend.

Bidan itu, saya denger dos-q terus-menerus ngoceh ke mahasiswanya, "Kami sesama teman sendiri aja kalo mau pulang pamit dulu kok. Apalagi kalian yang cuma tamu? Kalo nggak pamit itu namanya kan menyepelekan?"

Uh. Iya, saya juga ngerasain begitu. Sama temen saya sendiri, kalau ditinggalin dia pulang duluan, rasanya sebaaal..banget. Saya suka ngomel, "Berani-beraninya lu minggat, padahal gw masih kebanyakan proyek di sini?"
Terus si teman jawab, "Kamu sih, nulis aja lelet. Udah, kerjain aja di rumah, daripada di (kantor) sini lama-lama."

Padahal intinya bukan saya nggak suka ditinggalin di kantor sendirian dengan banyak pekerjaan. Saya nggak suka teman saya MINGGAT, alias pergi tanpa bilang-bilang. Itu aja. Dia kan levelnya sama saya, mbok mau pergi tuh dadah-dadah dulu gitu kek. Toh saya juga nggak nahan-nahan. Paling-paling bilang, "Bawa tuh kerjaan segepok ke rumah lu." Kan berbagi kerjaan? Itu namanya team work kan?

Dan sekarang-sekarang, saya juga merasakan bahwa memang kalo kita pamit dulu sama kolega sebelum pulang, itu berarti kita nganggep dos-q eksis di mata kita dan kita juga bikin diri kita eksis di mata dos-q. Dan aksi yang dilakukan orang lain terhadap kita, itu sebetulnya merupakan reaksi dari yang kita lakukan. Saya merasa lebih sering dirangkul, lebih sering diajakin ikut proyek, dan juga lebih sering diringankan pekerjaan. Nggak terhitung saya denger ada kalimat, "Vic, sudahlah jangan kamu kerjain sampek sepanjang itu. Cukup bagian X dan bagian Y aja. Biar kamu cepat pulang." Atau, "Vic, ayo kita pergi nonton! Ini masih ada sisa jatah tiket gratis sisa proyek kemaren! Kerjaanmu bisa aku kerjain sebagian, supaya kamu ndak kelimpahan banyak!"

Baik-baiklah pada temanmu sekantor, maka mereka akan baik juga kepadamu. Sesungguhnya mereka yang nggak baik kepadamu jumlahnya hanya 10 persen, dan itu tidak akan mengganggumu secara signifikan.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com