Berikutnya si bidan tanya, nanti setelah dikuret, si pasien mau pakai KB apa.
Lalu jawab si pasien, dia nggak mau KB.
Bidannya terheran-heran dan bertanya, kenapa nggak mau KB?
Pasiennya jawab, kan KB dilarang agama.
Setelah itu, hening.
Kolega saya, dokter muda yang belum lulus dokter, tanya, "Siapa yang bilang begitu, Bu?"
Jawab si pasien sambil mbetulin jilbabnya, "Agama yang bilang."
Kolega muda saya, sama-sama pakai jilbab juga, ngeyel, "Agamanya bilang di mana? Surat mana? Ayat berapa?"
Nah, si pasiennya nggak bisa jawab.
"KB kan membunuh anak (di dalam kandungan)," kilahnya.
Kolega muda saya: "Lho, kata siapa, Bu? KB itu mencegah kehamilan, bukan membunuh anak."
Lalu, tiba-tiba di ruangan itu, seorang pasien lain menyela, "Iya, Bu. KB itu nggak membunuh anak. Malah dianjurkan agama supaya ibu tetap sehat. Kalo anaknya banyak kan ibunya jadi sakit-sakitan."
Kata si pasien anti KB, "Lho, punya anak banyak itu kan banyak rejeki?"
Bidannya sekarang mencela, "Huh? Kata siapa banyak rejeki, Bu? Sekarang biaya sekolah susah, Bu. Saya mau nyekolahin anak saya sampek kuliah aja empot-empotan.."
Pasiennya terus bilang, "Ah, nyekolahin anak itu sampek SMP aja. Lagian kan sekolahnya gratis, kan sekarang semua sekolah dibiayain pemerintah.."
Saya, waktu itu lagi nulis laporan di kamar bersalin, langsung ngumpetin muka saya di balik meja dan tepok jidat.
Saya satu-satunya di ruangan itu yang nggak pakai jilbab, males berdebat tentang agama. Saya cuman tahu satu hadis yang saya pegang sampek sekarang: janganlah kamu bertengkar dengan orang bodoh. Dan saya ogah berargumen melawan kepala cupet.
Demi Tuhan, ini pasti gara-gara bupati setempat yang menggratiskan semua fasilitas, bikin semua penduduk jadi punya watak cepat puas dan mental gratisan. Nggak heran kalau selama kerja di sana saya sering lihat ibu-ibu bersalin dengan komplikasi yang jelek-jelek.
Tapi, kolega muda saya, namanya Inung, nggak semalas saya. Dos-q ngoceh menceramahi si pasien anti KB itu selama 20 menit tentang dalil agama yang bilang bagaimana Tuhan minta manusia supaya memelihara ibu-ibu supaya tetap sehat, supaya bisa nyusuin anaknya sampek lengkap, dan KB menolong semua upaya itu. Dia beri tahu si pasien tentang bagaimana punya anak banyak malah bikin ibu jadi sakit-sakitan dan banyak yang meninggal.
Si pasien bergeming. Dia tetep nggak mau KB. Lalu bidan pun berkata, kalo nggak mau pakai KB, maka mau berobat di rumah sakit itu harus bayar.
"Berapa sih bayarnya?" Sekarang si pasien nantang.
"Dua juta tiga juta, Bu," jawab saya sekenanya. Saya pikir itu biaya pasti kemahalan, coz suami si pasien adalah pedagang bakso.
Ternyata saya salah.
Si pasien malah jawab, "Ya udah, nanti saya suruh suami saya bayar aja."
Oh sh*t.
Malam-malam, saya kuret tuh pasien. Bidannya sudah mulai nulis daftar tagihan yang mau dos-q tagihkan ke suaminya.
Selesai kuret, saya lepas tuh pasien dan kami kirim dos-q ke kamar opname. Rencananya, setelah opname satu hari, si pasien akan pulang.
Eh eh, besok siangnya, si pasien balik lagi ke kamar bersalin tempat saya magang. Lho, saya kirain saya nggak akan lihat pasien ini lagi.
"Wonten nopo, Bu?" (Ada apa, Bu?) tanya saya ke bidan.
Pasiennya ngeliatin saya, nunjukin IUD.
Bidannya jawab, "Njaluk spiral, Dok." (Minta dipasang spiral, Dok.)
Saya terheran-heran, "Lho, jarene gak gelem KB?" (Katanya nggak mau ikut KB?)
"Bojone gak gelem mbayar!" (Suaminya nggak mau bayar biaya rumah sakit) tukas si bidan.
Saya malingin muka, dan berusaha keras nggak ketawa ngakak.
Pasien itu, yang entah kesambet pengajian aliran mana sehingga kemaren nolak nggak mau KB, ternyata sekarang memutuskan untuk ikut KB hanya supaya asuransi Jampersal-nya nggak putus.
Dari dulu juga saya sudah tahu bahwa Jampersal itu hanya akan disalahgunakan oleh penduduk pemalas yang nggak mau menjaga kesehatan tapi ngotot maksa berobat gratis.
Lalu saya melambaikan tangan ke si pasien, memintanya berbaring di kursi litotomi.
"Bu Dokter," si pasien bertanya takut-takut. "Sakit nggak KB itu?"
"Enggak, Bu," jawab saya sambil masukin sonde.
"Bu, setelah pake KB ini, apa saya masih bisa punya anak lagi?"
Saya menengadah kepadanya dan tersenyum. "Kalo ada rejeki, insya Allah bisa, Bu."
"Saya kirain, kalo pake KB berarti saya mandul.."
Saya ketawa. "Ah, Ibu, nggak semua KB bikin mandul.."
Selesai pasang IUD, saya beri tahu pasiennya.
IUD ini mencegah sperma ketemu telur, jadi kalau ibu dan bapak campur, nggak akan jadi anak. Sehingga tidak perlu kuatir hamil.
IUD ini bisa sampek 8 tahun nggak hamil-hamil. Enak kalo kepingin jangka lama.
Tapi kalo si pasien kepingin hamil lagi, boleh pergi ke bidan deket rumah, lalu minta IUD-nya dicopot.
Setelah keguguran sebaiknya jangan hamil dulu, soalnya rahimnya harus istirahat. Tunggu sekitar enam bulan, maka rahimnya sudah aman buat hamil lagi.
Dan barulah pasien lugu binti cupet itu mengerti. Dan pulang dengan kepala plong.
Seharian itu saya merenung. Masalah dokter sebetulnya bukanlah kesulitan mengobati, kadang-kadang masalah kita adalah membuat pasien mau paham. Dan tingkat kesulitan semakin tinggi jika dipengaruhi tingkat pendidikan dan kultur (bukan agama lho ya) yang dianut si pasien. Butuh kemauan untuk menjelaskan panjang lebar, dan Inung, kolega muda saya itu, telah membuktikan bagaimana kesediaan dokter buat ngoceh bisa mengubah cara berpikir orang-orang yang nggak pinter-pinter amat.
Kita bukan cuman pengobat, tapi kita juga pendidik.
Meskipun seperempat kepala saya masih percaya bahwa sesungguhnya si pasien mau ikut KB bukan lantaran sudah dengar ceramahnya Inung, tapi hanya karena nggak mau mbayar rumah sakit.
Mungkin, di negeri kita, orang masih harus dipakaikan cara-cara pemaksaan supaya mau hidup sehat.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com