Kini, ada hal-hal lain yang jadi topik favorit saya dan my hunk selain makan dan jalan-jalan. Salah satunya adalah: properti tempat tinggal. Karena kami berencana menikah tahun depan, dan my hunk nggak kepingin kami menumpang rumah orang tua lama-lama, maka kami mulai melirak-lirik iklan properti. Sayangnya menemukan rumah yang pas nggak semudah mencari restoran bebek goreng, karena ternyata harga rumah yang kami sukai nggak sepadan dengan isi kantong kami yang memang kempes.
Lalu, tersebutlah kami nemu properti yang nampaknya enak buat ditongkrongin di kawasan Surabaya Timur. Lahannya nggak terlalu luas, tapi cocoklah buat kami berdua yang tipe "pekerja yang kerja kayak orang gila, pulang ke rumah cuman buat tidur". My hunk suka harganya, tapi saya enggak, soalnya masalah sepele: Tempatnya nggak dilaluin bemo, dan saya belum nemu pangkalan becak atau ojek sekitar situ.
Sebagai bandingan, saya nemu properti lain di deket situ, yang nggak terlalu jauh dari jalan raya yang dilewatin bemo. Dibandingin proposalnya my hunk, yang saya sukain ini selisihnya lebih mahal Rp 40 jutaan. My hunk nggak suka lantaran cost-nya lebih mahal, belum lagi selisih service charge bulanannya yang juga cukup signifikan sekitar 1,5 kali lipat. Jadi jelas, ini masalah khas antara (calon) suami dan istri, saat yang cowok lebih pusing oleh biaya, sementara yang cewek lebih mentingin fungsi.
Saya yakin yang pusing kayak gini nggak cuman kami. Ada banyak orang di kota ini yang dipusingin urusan tempat tinggal cuman gara-gara nggak mau dibikin susah oleh jarak. Contoh simpel aja, saya masih bingung kenapa ada orang mau tinggal di Bogor padahal sehari-harinya kerja di Kuningan-Jakarta. Kakak saya aja ngalah, masang investasi dengan beli apartemen di Kuningan supaya nggak kejebak macet ke kantornya di sana. Saya mufakat dengan cara mikirnya, mendingan berkorban mahal beli tempat tinggal deket kantor daripada duitnya habis cuman demi bensin dari rumah ke kantor hanya lantaran rumah di ujung dunia.
Saya sendiri nggak bercita-cita akan menghabiskan hidup dengan pakai mobil pribadi sehari-hari. Saya nggak keberatan ngantor pakai bemo. Tapi saya puyeng kalau untuk ke jalan yang dilaluin bemo kudu jalan kaki jauh. Kolega saya bilang, kalo kayak gitu cara mikirnya, mestinya saya jangan pacaran sama fotografer, tapi pacaran aja sama sopir taksi.
Nggak adil, jika jalan keluarnya adalah kita harus punya mobil pribadi hanya supaya kita bisa mobile dengan tempat tinggal yang jauh dari keramaian kendaraan umum. Itu tidak mendidik kita dari kemandirian, itu hanya akan membuat kita bergantung pada bensin.
Kenapa Pemerintah nggak bikin aja kendaraan umum yang nyaman, yang berjalan tertib dan rutenya bisa dijangkau semua orang? Saya rasa itu tindakan yang jauh lebih bermanfaat ketimbang sibuk memberantas konser Lady Gaga.
Lalu saya bertanya-tanya dalam hati, apakah berkorban duit transpor dengan taksi setiap hari pada tempat tinggal yang jauh itu, setimpal dengan mengirit service charge bulanan plus selisih harga beli yang mungkin jatuhnya akan lebih mahal jika kami beli properti yang lebih deket dengan jalan raya?
Saya berdoa, kalau memang jodoh tempat tinggal kami di sana, semoga ada wiraswasta yang mau berinvestasi bikin grup tukang ojek atau becak. Sesungguhnya para transporter kawakan itu akan sangat berjasa buat menghemat tenaga dan pikiran saya nanti.
Seandainya saya punya anak nanti, saya ingin dia bisa belajar naik motor sendiri. Saya tidak mau dia jadi tahanan bensin yang ngomel saban kali harga BBM naik, seperti orangtuanya.
http://laurentina.wordpress.com
www.georgetterox.blogspot.com