Gw punya kebiasaan jail waktu kuliah dulu. Kalo dosen lagi nerangin, gw suka ngitung berapa teman kuliah gw yang tidur.
Padahal nggak ada tujuannya gw melakukan itu. Cuman iseng doang. Teman gw malah lebih jahat lagi. Dulu kan masih baru booming-nya HP pake kamera. Nah, teman gw suka make HP-nya buat motret teman yang ketiduran di bangku kuliah. Pas menjelang kami lulus, kami taruh foto teman-teman yang ketiduran itu di buku tahunan. Pacar gw waktu itu, termasuk salah satu yang fotonya lagi molor dan dimuat di sana. Hihihi.
Sebenarnya jumlah mahasiswa yang ketiduran adalah indikator kuat betapa membosankannya dosen yang nerangin di depan. Gw pernah dapet rekor ngitung, teman gw yang molor pada suatu jam kuliah ada 30 orang (padahal sekali kuliah tuh jumlah penghuninya 300 orang). Itu baru gw ngitung sambil duduk di bangku gw sendiri. Dijamin jumlahnya membengkak, andaikan gw ngitung sambil berdiri. Pasalnya, siapa juga yang mau melakukan itu?
Dosen: Ya, Anda mau bertanya apa?
Little Laurent: Nggak, saya nggak mau bertanya, Dok.
Dosen: Lho, kalo Anda nggak bertanya, lantas kenapa Anda berdiri? Mau ke toilet?
Little Laurent: Mm..saya cuma mau ngitung berapa jumlah teman saya yang ketiduran sepanjang jam kuliah Dokter.
Bahkan dalam mimpi pun gw tidak segila itu.
Kebiasaan itu kebawa bahkan setelah gw lulus kuliah. Ketika lagi konferensi dokter pun, gw tergoda buat ngitung jumlah dokter peserta yang ketiduran. Intinya sama, makin ngebosenin isi presentasinya, maka makin banyak penonton yang ketiduran. Dan pas gw konferensi dua minggu lalu, ternyata jumlah orang yang ketiduran dalam jarak pandang gw, mencapai jumlah yang fantastis pada sesi internasional.
Sesi internasional adalah sesi di mana pembicaranya adalah dokter yang berasal dari luar negeri. Panitia konferensi membayar mahal pembicara ini supaya mereka mau dateng ke Indonesia dan tampil buat berbagi ilmu dengan dokter-dokter Indonesia. Sayang juga kalo presentasinya nggak menarik minat penonton dan ujung-ujungnya penonton malah ketiduran, hehehe.
Gw mencoba menganalisa kenapa sesi internasional yang menghadirkan bule-bule ini malah gagal menarik minat.
1. Karena presentasi disampaikan dalam bahasa Inggris.
2. Karena pembicaranya logatnya aneh.
3. Micnya sayup-sayup.
4. Acaranya udah sore, dan penonton udah ngantuk.
Terus terang aja gw pusing kalo denger orang ngomong Inggris, dan kebetulan yang ngomong tuh bukan orang Amrik atau UK. Pasalnya gw sendiri belajar ngomong Inggris tuh cuma dengan nonton film-film Hollywood, jadi kuping gw cuma terbiasa denger logat Amrik. Kalo gw denger orang Perancis atau orang Swahili aja ngomong Inggris, gw langsung nelangsa coz logat mereka bikin bahasa Inggrisnya jadi nggak karu-karuan. Paling sebel denger orang ngomong Inggris pake logat Cina atau Arab, waduh..nyerah deh. Nggak ngerti, nggak ngerti!
Tapi kalo gw denger orang Indonesia ngomong Inggris, gw ngerti-ngerti aja tuh. Biarpun grammar-nya ancur, campur logat Banyumasan atau logat Cibarengkok yang medok. Di kantor gw orang-orang ngomong Inggris pake logat Banjar yang meliuk-liuk, gw ngakak tapi ya gw ngerti aja maksud mereka.
Tapi orang bule nggak gitu denger kita.
Pas konferensi, ada bule asal Amrik berpresentasi soal bahaya penyakit darah tinggi pada ibu hamil. Setelah presentasi, seperti biasa dibuka sesi tanya-jawab. Sang moderator nanya ke quorum, apakah ada yang mau nanya?
Gw noleh kiri-kanan gw. Ya ampun, dokter-dokter sekitar gw kok ketiduran semua. Eh, tapi ada juga satu dokter yang berdiri dan jalan ke mic.
Dia pun bertanya. Pake bahasa Inggris. Mau nanya aja pake prolog dulu. Prolognya satu menit. Ya ampun. Gw garuk-garuk kepala menyalahkan TOEFL gw yang tiarap.
Akhirnya selesai dia bertanya. Sang bule pun menjawab, "Excuse me, I don't understand. What's actually you're asking about?"
Gw menjerit dalam hati, "Samaa!"
Bule pusing denger orang Indonesia ngomong Indonesia. Tapi mereka lebih pusing denger orang Indonesia ngomong Inggris. Indonesian don't speak English, mereka cuma nerjemahin dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Termasuk cara ngomong a la Indonesia yang berbelit-belit, ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris pun jadi berbelit-belit pula. Kita ini mirip bule, alias BULEpotan.
Gw dibisikin, sekarang dokter umum yang kepingin jadi spesialis, TOEFL-nya kudu 500. Dengan cara ini, bahasa Inggris sarjana medis kita akan terjamin. Jadi kalo dokter ngomong sama warga dari negara lain, omongan dokter itu bisa dimengerti. Dan kita nggak perlu repot bayar mahal ilmuwan dari negara lain buat ngomong di konferensi nasional kita, tapi kitalah yang diundang buat pidato di konferensi nasional mereka.
PR kita masih banyak dalam urusan ngomong cas-cis-cus ini.
1. Bagaimana ngomong Inggris yang efektif dan efisien.
2. Bagaimana ngomong Inggris tanpa bikin orang lain ketiduran.
3. Bagaimana ngomong Inggris dengan logat yang bisa dimengerti semua orang.
Dan TOEFL tinggi, belum menjamin itu.