Salah satu ciri orang gaptek dalam urusan HP bukan cuman nggak tau caranya ngganti ringtone, tapi juga nggak tau gimana caranya mencegah supaya HP-nya nggak ganggu orang lain.
Kayak pas gw ikut workshop buat dokter dua minggu lalu, niat mulia gw buat menyimak workshop dengan khusuk langsung buyar. Pasalnya, di tengah narasumbernya lagi ngoceh tentang bagaimana ulah Tom Cruise bisa bikin marah asosiasi dokter kandungan Amerika Serikat sampai maksa negara itu bikin undang-undang baru, tau-tau ada seorang HP peserta workshop yang bunyi. Suaranya kuencengg..banget. Tadinya gw pikir, ah, selalu aja ada orang yang lupa matiin HP kalo menghadiri konferensi penting. Gw pun nggak ambil pusing, lalu kembali menyimak dongeng tentang Tom Cruise.
Lalu terdengar suara di belakang gw, "Halo? Halo?.. Ya, betul.. Ndak bisa, saya sedang ada di Surabaya sekarang.. Suruh pasiennya periksa sama bidannya aja."
Diam-diam gw malingin kepala dari gambar Tom Cruise di depan, lalu noleh ke belakang, nyari sumber suara. Owalah, ternyata ada peserta seorang dokter udah gaek gitu, mungkin umurnya kira-kira 60, lagi nerima telepon. Padahal duduknya jauhnya tiga baris di belakang gw gitu, tapi suaranya kedengeran jelas ampe ke bangku gw. Aduh, duh, Pak, mbok ngomong sama HP tuh jangan kenceng-kenceng napa? Ini pertemuan ilmiah penting nih, lagi ngomongin Tom Cruise lho..
Satu sesi workshop pun berlalu. Sang MC pun ngumumin, "Pembicara berikutnya adalah Dokter X dari Fakultas Kedokteran Universitas X.. Kami mohon perhatian kepada para hadirin yang membawa telepon genggam, mohon tidak mengaktifkan telepon genggamnya atau cukup hanya mengaktifkan nada getar tanpa suara saja."
Semua orang sibuk ngerogoh HP masing-masing, meriksa apakah tanda silent udah ada di layar.
Maka session berikutnya dari workshop itu pun dimulailah. Eh, mendadak ada HP bunyi lagi. Ya ampun, itu kan bunyi HP bapak-bapak yang tadi.. Nggak denger ya tadi udah diperingatin MC supaya nggak nyalain HP?
Lalu terdengar suara dos-q, "Halo? Halo?... Iya, Bu, kan saya sudah bilang kemaren kalo saya mau ke Surabaya.. Nggak bisa, saya baru pulangnya hari Kemis!" nadanya kedengeran jengkel.
Gw jadi nggak nyimak presentasi di depan, tapi malah nguping pembicaraan si dokter. Bukan gw yang usil lho, lha wong si bapak ngomongnya kenceng. Dan gw taruhan deh, seluruh peserta workshop juga malah ikut ngupingin si bapak.
Akhirnya si bapak dokter itu bilang ke ibu malang yang dia marahin itu, "Sudah telponnya kasih aja ke pasiennya!"
Mendadak suaranya jadi lebih lunak. "Halo, ada apa, Bu?" tanyanya ramah.
Gw ngakak dalam hati. Itu nada khas dokter yang berusaha keras menyembunyikan kekesalan dengan berpura-pura menyapa pasien dengan penuh keakraban.
"..." si dokter diam dengerin.
Jawab si dokter kemudian, "Oh ya, itu kenceng-kencengnya palsu. Anaknya belum mau lahir sekarang, tapi masih kira-kira dua minggu lagi. Sekarang saya masih seminar di Surabaya, jadi hari ini Ibu diperiksa Bu Bidan dulu. Kalo Ibu pengen diperiksa sama saya, boleh tunggu saya pulang hari Kemis.."
Gw nyengir liat peserta-peserta lainnya berusaha keras nahan tawa. Semua orang, jelas juga nguping pembicaraan itu.
Kesimpulannya, dokter pemilik HP yang nggak dimatiin tadi adalah seorang ahli kandungan dari sebuah rumah bersalin. Dia punya pasien langganan bernama Mrs X yang sedang hamil tua. Hari ini Mrs X nampaknya mengalami kontraksi palsu dan mengira dirinya mau melahirkan. Dia ke rumah bersalin coz kepingin diperiksa dokter kandungannya, tapi dokter umum yang lagi jaga UGD rumah bersalin itu bilang bahwa itu cuma kontraksi palsu dan si dokter kandungan lagi seminar di luar kota. Mrs X ngeyel, maka sang dokter umum ngadu ke sang dokter kandungan via telpon. Sang dokter kandungan nyuruh Mrs X diperiksa bidan jaga aja, coz kan bidan itu juga yang selama ini ngasistenin dia tiap kali persalinan. Ternyata si bidan pun gagal meyakinkan Mrs X bahwa itu cuma kontraksi palsu, coz Mrs X cuman mau percaya kalo udah diperiksa dokter kandungan. Lha mau gimana, orang dokter kandungannya lagi seminar?
Seperti yang gw ceritain di blog ini lima hari lalu, ketika dokter lagi seminar, pasti pasien kalang kabut coz dokter favorit mereka lagi nggak tersedia. Dokter pun udah mengantisipasi ini dengan membiarkan HP mereka nyala 24 jam sehari. Akibatnya jadi nggak fokus, ketika harusnya menyimak konferensi pun, dokter masih kudu nerima telfon dari pasien.
Gw rasa dalam kasus ini, adalah hak prerogatif si bapak buat membiarkan konsentrasinya bercabang dua. Gw cuman bingung, kenapa si bapak nggak ber-HP silent aja supaya nggak ganggu peserta workshop konferensi yang lain.
1. Dia nggak tau caranya nyetel HP silent. Coz dia gaptek.
2. Kalo pun silent, dibikin getar pun nggak kerasa. Coz dia udah gaek, jadi udah nggak sensi lagi.
3. Dia nggak bisa ngomong pelan, coz kupingnya sendiri juga udah rada budeg.
4. Dan untuk semua masalah usianya itu, sungguh hebat dia masih mau ikut workshop buat cari ilmu lagi..