Friday, August 14, 2009

Dokter Seminar, Pasien Kalang Kabut


Matahari sudah tinggi, jam masuk kantor sudah lewat, ini hampir jam sembilan, tapi macet masih melanda di Jalan Sungkono, Surabaya. Gw terperangkap di mobil bareng sepupu gw, berusaha keras nggak liat lampu merah yang menghitung mundur, dan gw mencoba ngalihin pandangan kepada apa aja: pengamen di jalan, gedung-gedung yang menjulang tinggi, radio mobil sepupu gw yang berisik. Sepupu gw, Wena, 22, ngernyit heran, "Kok macet sih?"

Mobil-mobil di depan kita bergerak kayak siput. Wena nganterin gw ke hotel tempat gw mau konferensi dokter. Gedung hotelnya udah keliatan, tapi kita belum bisa masuk ke pelataran halaman coz masih ngantre macet.

Gw nunjuk ke mobil-mobil di depan kita. "Tuh biang macetnya!"

Wena terkejut bukan main. "Ini semua dokter mau seminar tho, Mbak?"

Gw nyengir.

Wena bengong, kaget, dan takjub.
Waktu Wena diberi tahu bokapnya bahwa gw akan nginap di rumah mereka seminggu, Wena cuma ngerti bahwa dia akan bertugas jadi ajudan gw buat pulang-pergi ke seminar dokter di sebuah hotel di kawasan Sungkono di Surabaya. Dia nggak ngira itu bukan sekedar seminar; coz itu sebuah konferensi yang didatengin dokter-dokter dari seluruh Indonesia. Gw nggak tau persis jumlah pesertanya berapa, mungkin ada 2500-an. Anggap aja ada 2000 dokter ke hotel itu bawa mobil tiap hari selama seminggu, maka Wena kudu bersaing melawan 2000 orang yang kemacetan di Sungkono buat ng-escort-in gw selama seminggu itu.

Pertanyaan selanjutnya dari Wena betul-betul lucu. "Kalo dokternya ada di sini semua, berarti nggak ada yang praktek, dong?"

Gw meledak ketawa. "Ya nggak ada, Wen..!"

Buat gw yang jadi dokternya, itu kedengerannya sepele, tapi buat Wena yang awam, itu ternyata mengherankan.

Kakaknya Wena, Prita, lagi hamil tua. Dia nanya ke gw, "Ini seminarnya sampe kapan?"

Gw jawab, "Seminggu."

"Mm..dr X ada di seminar itu juga, nggak?" tanya Prita.
Dr X itu dokter kandungan dia.

Jawab gw, "Kayaknya ada. Kan dokter-dokter di Surabaya yang kebagian tugas jadi panitia."

"Kalo dokter Y?" Prita nyebut ginekolog langganannya yang lain.

"Kayaknya ada juga," jawab gw. "Kenapa gituh, Ta?"

Prita ngelus-elus perutnya yang buncit. "Yah, soalnya aku mau kontrol. Tapi saban kali aku telepon dokternya buat janjian, dokternya bilang lagi seminar, jadi nggak praktek. Bilangnya seminarnya seminggu. Kok sama kayak acaranya Mbak Vicky, yah?"

Gw meledak ketawa ampe berguling-guling.

Semua dokter, nggak cuma gw, atau ginekolog-ginekolognya Prita, menghadapi dilema yang sama. Di saat yang sama kudu ikut seminar, tapi pada saat yang bersamaan harus praktek. Seminar itu penting, buat penyegaran ilmu. Dokter kalo nggak ikut penyegaran ilmu, nanti otaknya bodong coz nggak tau perkembangan ilmu yang baru. Di sisi lain, praktek juga penting. Buat cari nafkah, dan buat jaga gawang. Lha kalo pasiennya butuh dokter, siapa mau ladenin kalo dokternya lagi pada seminar semua?

Jadi inget tuh kemaren ada kolega di Palangka yang mau ikut konferensi, tapi batal berangkat. Alasannya, semua dokter senior udah dikonfirmasi berangkat, dan tinggal kolega gw yang masih junior ini yang belum dikonfirmasi. Alhasil, pasien-pasien kolega senior ditimpain ke kolega junior ini semua. Gila deh, semua operasi selama seminggu ditimpain ke dia sendirian. Duit sih duit, tapi kan punggung ikutan bonyok. Capeknya itu lho, hahaha! Siapa bilang dapet pasien banyak itu enak?

Dan ternyata, makin tinggi spesialistik dokternya, makin tipis kesempatan dokter buat ikut konferensi. Kalo gw bisa pergi konferensi tanpa mikirin pasien yang ditinggal (santai laah..masih banyak kok dokter umum yang lain di Pulang Pisau), ternyata dokter spesialis nggak gitu. Hitungan kecilnya aja, misalnya untuk dokter spesialis bidang A aja, orangnya cuma ada satu di sebuah rumah sakit. Jadi kalo si dokter spesialis yang satu ini absen buat seminar aja, pasiennya langsung kayak anak ayam keilangan induk. Nggak heran rumah sakit suka nggak ngijinin dokter spesialis cuti beberapa hari. Siasatnya, pasiennya suka dititipin ke dokter umum. Repot juga, soalnya ada beberapa pengobatan terhadap pasien yang hanya mampu dikerjakan dokter spesialis dan belum mampu dikerjakan dokter umum. Akibatnya dokter umumnya cuma megang-megang pasiennya doang, truz hasilnya dilaporin ke dokter spesialis via HP. Ntie dokter spesialisnya yang lagi seminar, ngediktein obatnya via SMS.

Tentu saja pasiennya juga tau bahwa yang ngerjain dia bukan spesialis. Jadi pasien pun nelfon ke si dokternya, nanya kapan dokternya balik seminar. Yaa kira-kira kayak Prita sepupu gw itu. Jawab dokternya, mungkin kira-kira minggu depan, ha-ha-ha.. *ketawa a la Mbah Surip*

Mengertilah, pasien. Kalo mau dokternya yang bener, biarkan dokternya seminar biar pinter. Percaya deh, kalo dokternya pinter, pasiennya lho yang untung. Dan kalo keadaan pasiennya gawat, bukan dokter spesialis yang mestinya ngurusin, tapi dokter umum yang berwenang ngerjain.

Untunglah, sekarang konferensinya udah selesai..