Barangkali yang termasuk rugi pas musim Pemilu ini adalah salon manikur. Lha gimana orang mau ngecat kuku? Hari ini kutekan, besoknya kuku kudu dicelupin ke tinta. Mau kutekan setelah Pemilu ogah juga, kan tintanya Pemilu nempel di kuku selama berhari-hari, merusak pemandangan kuteks. So, untuk sementara bye bye dulu salon manikur!
Ada dua point yang menarik waktu gw ke bandara Husein Sastranegara Bandung kemaren. Point pertama adalah hanggar pesawat yang rusak berat setelah diseruduk Fokker hari Senin lalu. Melalui blog ini gw mau bilang gw sangat menyesal 24 prajurit TNI AU tewas dalam kecelakaan itu, dan gw nggak sampai hati ngebayangin berapa hati perempuan yang hancur karena jadi janda lantaran suami atau kekasihnya meninggal dalam Fokker naas itu. TNI AU punya arti khusus di hati gw, dan gw merasa, perempuan-perempuan itu kehilangan kekasih demi Negara, sama seperti gw juga. Tabah, Ladies. Tuhan, lindungi tentara-tentara itu dalam pelukan-Mu yang hangat.
Yang kedua, bisa-bisanya pada hari Pemilu bandara penuh sama penumpang pribumi! Kok orang-orang nggak pada ngantre ke TPS, malah rame-rame eksodus liburan naik pesawat? Malah menurut agen perjalanan langganan keluarga gw, tiket pesawat pada tanggal 9 April udah pada abis dipesan dari jauh-jauh hari. Gw masih sempat liat spanduk di Bandara Soekarno Hatta Jakarta yang ngumumin bahwa penumpang yang mau nyontreng disediain TPS di situ, asalkan penumpangnya bawa formulir tipe 5. Tapi gw nggak liat ada TPS yang sama baik di Husein, maupun bandara Juanda Surabaya. Padahal bandaranya sama-sama rame. Jadi kira-kira berapa persenkah pemilih yang sengaja golput dengan belagak pura-pura pergi ke luar kota?
Bicara soal "pemilih safari" alias pemilih yang nggak bisa berada di rumahnya pada hari Pemilu, gw jadi inget pilkada tahun lalu. Waktu itu pasien yang lagi gw opname memohon-mohon kepingin pulang. Gw nggak ngijinin, lha kan dia masih harus pake oksigen, jadi kudu dirawat inap. Ntie kalo di rumahnya pasiennya bengek ngep-ngepan tanpa oksigen gimana? Si pasien nggak keilangan akal. Dia bilang sama gw bahwa dia minta ijin pulang buat nyoblos pilkada, seraya janji kalo udah selesai nyoblos dia bakalan balik lagi melanjutkan opname. Hahaha! Tau aja dia, masa' dokternya rumah sakit militer mau nyuruh pasiennya golput? Singkatnya gw akhirnya melepas dia pulang sehari sebelum pilkada, dengan perjanjian hukum bahwa keluarganya nggak boleh nuntut gw kalo ada apa-apa sama pasiennya di rumah. Maka pilkada pun berlalu. Tentu saja sang pasien nggak nurutin "janjinya" melanjutkan opname. Mungkin dia sembuh sendiri. Atau mungkin dia bengek lagi waktu nyoblos dan akhirnya lewat.
Pas hari pemilihan, kolega gw, dr Mulya, 27, kebagian jaga unit gawat darurat 24 jam. Tiba-tiba seorang pasien datang diantar keluarganya dalam keadaan sekarat. Dr Mulya langsung ambil-alih, tanpa ba-bi-bu mijat jantung si pasien. Mendadak datang seseorang bername-tag KPPS mencolek kolega gw itu, dan berkata, "Dokter, ayo milih dulu.."
Dr Mulya kaget ditodong kotak suara segede-gede kaleng krupuk itu. Lha orang lagi nyelamatin orang sekarat kok malah disuruh baca kertas suara?!
Akhirnya sang pasien diumumkan meninggal. Dr Mulya nutup mata si pasien. Suster mengumumkan jam kematian. Tangis keluarga sang pasien meledak. Lalu Dr Mulya menghampiri sang petugas KPPS. "Sini, saya minta kertas suaranya.."
Tapi yang paling trauma sama Pemilu adalah Dina, 22, kolega gw. Pasalnya namanya nggak terdaftar di DPT. Tapi nama asisten pribadinya ada. Kok bisa sih?
Setelah dicek, ternyata yang nggak ada namanya di DPT bukan cuma Dina. Tapi tetangga-tetangganya juga nggak terdaftar. Ternyata, penghuni rumah-rumah di kompleks itu rata-rata adalah bule. Makanya yang ada di DPT itu ya kebanyakan para pembokat mereka..
Berbekal pengalaman pait itu, Dina ngurus supaya namanya terdaftar di DPT untuk pemilihan presiden. Lobinya sukses. Lalu tibalah hari H-nya. Dasar ogah bangun pagi, Dina sengaja nunggu sampai siang supaya nggak usah ngantre di TPS. Jam 12 Dina ke sana. Eh..ternyata TPS sudah ditutup dan suara-suara lagi diitung! Kata orang KPPS, "Oh..saya kirain Mbak nggak ikutan milih lagi kayak Pemilu kemaren.."
Begitulah. Jadi alasan golput itu nggak semata-mata lantaran sebal sama para caleg. Tapi bisa juga karena alasan-alasan cemen yang bikin kepepet. Takut cat kuku rusak kena tinta. Lagi ada urusan keluar kota. Lagi mijat jantung orang sekarat. Lagi sekarat. Nggak diakuin sebagai tetangganya Pak RT. Atau, lantaran TPS udah ditutup waktu kita dateng ke sana.
Gw lagi sibuk senang-senang di rumah Grandma gw, jadi gw nggak tau berita seberapa besar kemenangan partai golput kali ini. Pemilu sekarang emang penuh lawakan satir, dan cukup buat jadi bahan dagelan buat blog gw. Apa kabar Anda? Apa Pemilu bikin Anda kepepet? Atau Anda kepepet sampai nggak bisa ikut Pemilu?