"Gw lagi eneg sama ST 12," kata seorang kolega gw yang tinggal di Alor, suatu malam, beberapa bulan lalu.
Gw nggak ngerti. "Apa itu ST 12? Surat Tugas nomer 12?" Waktu itu gw baru diangkat jadi pegawai dan gw baru belajar tentang istilah-istilah birokrasi yang penting tapi nggak penting. Surat Tugas adalah istilah favorit gw. Coz kalo kita nggak punya Surat Tugas, kita nggak boleh ambil gaji, hahah..
"Aah..nggak penting lah, Vic. Lu nggak kenal juga nggak rugi."
Beberapa minggu kemudian pas sempat pulang ke Bandung, gw nanyain adek gw. "ST 12 itu apa sih?"
Adek gw terbelalak. "Aduh Kiie..kamu masa' nggak tau apa itu ST 12? Aduh, kamu nggak gaul deh! Kamu sih kelamaan nggak nonton tivi! Eh, tapi nggak pa-pa ding, kamu juga nggak rugi nggak tau ST 12. Paling juga tuh band bakal cepet bubar.."
Gw makin penasaran. Lalu ketika kita nonton tivi, ada skuter nggak jelas gitu nyanyi lagu yang bikin gw ngernyit.
"Tuh," kata adek gw. "Itu lagunya ST 12."
"Hah? Pindahiin..!" jerit gw spontan. "Aku benci lagu itu! Tetanggaku di Pulang Pisau muterin lagu itu tiap hari sampai aku bosen dengernya! Aku lagi di Bandung, nggak mau denger lagu Pulang Pisau!"
Gw nggak becanda. Di Pulang Pisau kurang hiburan. Saking kurangnya, penduduk tiap hari muterin lagunya ST 12 terus. Gw ke pasar, lagu itu ada. Ke warung, lagu itu ada juga. Nggak heran gw sampai eneg. Mana gw nggak tau judulnya sama sekali.
ST 12 banyak dicela akhir-akhir ini. Sebab utamanya, suara vokal yang niru-niru cengkok Melayu, lagu mehek-mehek yang terlalu gampangan, sampai irama yang ngajak orang untuk bermalas-malasan. Ini pendapat orang-orang lho, bukan opini gw. Gw juga eneg sama ST 12, tapi bukan karena sentimen sama bandnya, tapi semata-mata coz tiap hari dengerin lagu ini dari mp3 tetangga gw yang diputer pake volume terbesar. Mungkin biar serasa ST 12 konser di Pulang Pisau. Gw kesiyan aja kalo ST12 manggung di sini. Gimana kalo di tengah-tengahnya nyanyi tau-tau listriknya byar-pet? Mungkin konsernya kudu diawasin Kepala Cabang PLN.
Ketika dua hari lalu Yovie Widianto menerima AMI Award atas band Yovie-Nuno-nya, dia sempat becanda, "Ini Anugerah Musik Indonesia kan? Bukan Anugerah Musik Melayu?"
Seorang wartawan jail menulis di media bahwa pernyataan itu sindiran Yovie terhadap AMI yang dikuasai ST 12. Yovie sendiri menang dalam nominasi melawan ST 12. Mungkin Yovie gerah dipersandingkan dengan ST 12. Apa nggak ada band lain ya yang lebih bermutu buat nyaingin Yovie-Nuno? RAN gitu, atau Ecoutez?
Maka gw mikir, kenapa ST 12 begitu populer kalo banyak orang bilang mereka kampungan. Jawabnya simpel, coz sebagian besar orang menyukai mereka, termasuk tetangga gw dan penjaga warung nasi kuning. Yang nggak suka, langsung bilang kampungan untuk membedakan diri dari para penyuka.
Maka pertanyaannya, yang mutu itu kayak apa? Kalo ST 12 dicap nggak mutu karena alasan-alasan di atas, maka band yang bermutu itu mungkin yang vokalnya nggak niru-niru bangsa lain (apalagi bangsa yang terkenal suka gebukin TKI), lagunya susah ditiru (maksudnya apa? Kayak Eminem, gitu?), dan iramanya ngajak orang untuk jadi produktif. Musik Melayu, dangdut, gambus, musik India, akan susah nembus kriteria ini.
Ini jelas diskriminatif untuk ras-ras turunan Asia Selatan, Tenggara, dan bahkan Timur Tengah. Memangnya musik artis dari ras yang lain di dunia ini nggak ada yang nggak kampungan?
Lalu sontak gw ingat Ricky Martin. Dia Hispanik, dan dia menang Grammy. Apakah lantas kategori yang terakhir itu mengukuhkan dia sebagai artis bermutu?
Gw rasa nggak juga. Coz di videonya bertabur cewek-cewek sexy. Kenapa kita mencintai Ricky Martin? Karena matanya yang provokatif "come-to-me, come-to-me"? Atau karena dia sexy waktu sedang "shake the bon-bon"? Bayangin kalo di video itu yang nyanyi bukan Ricky Martin, tapi Syaipul Jamil. Pasti serta-merta kita memvonis Syaipul itu kampungan. Padahal videonya sama persis. Syaipul juga ganteng dengan mata merayu kan? Apalagi kalo udah nge-shake bonbon-nya Kiki Fatmala..
*Tidak, Vic, Syaipul Jamil itu nggak ganteng! Yang bilang Syaipul itu ganteng cuman Dewi Perssik! Dan Dewi Perssik lagi sakit mata!*
Maka, kenapa kita sebut ST 12, Syaipul Jamil dan sodara-sodara sejawatnya itu kampungan? Apakah karena tiket pertunjukan mereka nggak sampai 350ribu perak per hari atau 850ribu untuk tiga hari?
Mungkin karena mereka identik dengan musik kaum miskin. Kaum miskin tinggal di kampung dan jadi kampungan.
Itulah sebabnya kita nggak suka mereka, coz kita ogah disebut kampungan.
Tapi gw rasa kampungan nggak ada hubungannya sama selera musik. Kampungan itu nyangkut mental kita, termasuk:
- malas dan nggak mau kerja keras
- pesimistik dan mehek-mehek
- nyerobot pacar orang
- copycat-in karya orang
- jual tampang dan nggak pake otak
Dan musik yang memprovokasi ke arah sana, layak disebut kampungan.
Sekarang, yuk liat koleksi playlist kita. Masih ada lagu kampungan, nggak?