Thursday, April 2, 2009

Pelacur: Boikot atau Bina?


Saritem. Gang Dolly. Taman Lawang. Pasar Kembang. Red Line. Itu adalah tempatnya lokalisasi pelacuran. Nggak usahlah gw sebutin di mana lokasinya. Gw malah yakin Anda lebih apal jalan ke sana ketimbang gw.

Gw bahkan bisa dengar Anda udah jawab pilihan pertama dengan pertanyaan di atas. Boikot pelacuran, tanpa ba-bi-bu. Kata suami-suami yang takut dosa, pelacuran dilarang oleh Pak Kyai, dilarang Bapa Pendeta, dan dilarang istri. Kata tukang pajak, pelacuran harus dibasmi karena nggak bayar pajak. Kata pengusaha properti, daripada jadi tempat pelacuran, mending digusur, terus jadi hotel bintang lima. Profitnya lebih tinggi.

Barangkali yang melarang lokalisasi pelacuran digusur justru para dokter. Lhoo?

Saat ini, dokter dibikin pusing karena kejadian infeksi menular seksual meningkat cepat. Obat yang ada makin nggak mempan. Sudah banyak yang tewas lantaran kena raja singa, tapi pasien nampaknya belum kapok juga.

Biasanya kalo suami kena, istri juga kena. Para pria yang udah kena kencing nanah sudah disuruh bawa bininya buat diobatin juga, tapi mereka nggak manut. Soalnya mereka takut dihajar istrinya kalo mereka bilang bahwa mereka pernah tidur dengan perempuan lain.

Bayangkan Anda di posisi gw. Gimana kita bisa stop penyebaran penyakit menular seksual kalo orang-orang yang ketularan ini nggak diobati? Kita tau orang yang biasanya ketularan penyakit ini adalah:
1. para pelacur
2. para pria yang make jasa pelacur
3. para wanita yang kekasihnya make jasa pelacur
Jelas kan, kalo mau penyakit menular seksual dibasmi, berarti yang mesti diobatin pertama-tama adalah golongan nomer 1 dulu.

Masalahnya, gimana ngobatin pelacur? Dokter nggak bisa ngobatin kalo orang yang diobatinnya aja nggak ketemu. Pelacur susah ditemukan coz:

MASALAH AGAMA. Doktrinasi agama nggak berhasil dengan efektif, coz belum apa-apa pelacur sudah disinisin kalo masuk musola atau kapel. Gimana mereka mau tobat?

MASALAH EKONOMI
Pelacur susah dapet kerjaan, jadi mereka nggak punya mata pencaharian lain. Di pihak lain, pelacur bisa eksis coz permintaan terhadap pelacur selalu aja ada. Sampai ada gurauan, nyari minyak tanah aja susahnya bukan main, tapi mau nyari pelacur lebih gampang.

MASALAH GEOGRAFI. Pelacur yang nyebar di mana-mana akan susah dikumpulin. Mereka nggak terdata, akibatnya susah dibina dan susah diobatin. Apa mereka harus punya KTP alias Kartu Tanda Pelacur supaya gampang didatanya?

Oleh karena itu, apakah bijaksana kalo kita membubarkan Saritem, Gang Dolly, Pasar Kembang, Taman Lawang, dan Red Line? Kenapa kita nggak mikirin sisi positif dari lokalisasi pelacuran? Kalo pelacur-pelacur itu dikumpulin di satu tempat, akan gampang buat kasih mereka pelatihan ini-itu supaya mereka bisa cari pekerjaan lain. Lebih gampang kasih mereka pelajaran agama supaya mereka mau tobat. Dan lebih gampang lagi nyuntikin kuinolon ke badan mereka satu per satu supaya mereka nggak nularin sakit kencing nanah ke konsumen mereka.

Perkara lokalisasi hanya akan melegalisasi akses untuk bikin dosa? Itu harus dibalikin ke konsumen yang make jasa pelacur. Ingat hukum ekonomi. Jasa nggak akan tercipta kalo nggak ada yang butuh. Orang nggak butuh kalo nggak ada alasan. Kenapa orang sampai merasa butuh main sama pelacur? Itu yang harus dipecahkan.

Kita nggak butuh Perda macem-macem buat melarang pelacuran. Itu nggak efektif! Kita cuman butuh sekolah yang memadai supaya penduduk negara kita ini nggak pada nganggur.

Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah pelacuran kudu diboikot, atau lebih baik dibina?