I was 15. Dan waktu itu tidak ada yang bisa gw ajak bicara tentang hal itu.
***
Sepupu gw mengeluh ke gw. Dos-q bilang ke gw bahwa dos-q ingin kembali ke “jalan yang benar”. Maksudnya dos-q kepingin kerja jadi insinyur di ladang, coz memang latar kuliahnya memang dari jurusan itu. Bukannya dos-q nggak suka kerjaannya yang sekarang (saat ini dos-q kerja di perusahaan pelapis ubin), hanya saja bidang itu bukan yang dos-q sukai.
Seorang temannya telah menawarinya pekerjaan di ladang minyak. Gaji oke, fasilitas oke. Posisinya di Cali. Tidak usah lama-lama di sana, toh setelah 2-3 tahun dos-q bisa dipromosikan buat pindah ke Jakarta untuk jenjang karier yang lebih tinggi. Sepupu gw suka lowongan itu, dan sebenarnya yang tinggal perlu dilakukannya hanyalah angkat koper. Tetapi dos-q nggak bisa pergi. Coz, nyokapnya nggak mengijinkannya pergi.
Bude gw itu sudah lansia, usianya sekitar 65-an. Sepupu gw itu disayang banget sama bude gw, soalnya sepupu gw itu anak laki-laki, bungsu pula. Masih ada ketiga anaknya yang lain yang tinggal di Jakarta itu juga, tapi sepupu gw yang paling sering dicariin bude gw. Malah yang suka bikin gw geli, bude gw itu suka nggak mau tidur kalau belum ngelonin sepupu gw. Demi Tuhan, batin gw. Sepupu gw itu umurnya sudah 30 tahun. Dan dos-q mulai bosen dikeloni.
Sebagai adek yang baik, maka gw pun berkata, “Pergi aja. Mas mau bahagia apa enggak? Kalo Mas lebih bahagia di ladang minyak itu, pergilah. 2-3 tahun apa bedanya? Aku dulu juga di Cali setahun, nggak ada rasanya (kelamaan) kok.”
Lalu kata sepupu gw, dos-q nggak bisa pergi kalau nggak ada restu bunda. Gw mendengus pasrah.
Gw kadang-kadang bingung kenapa anak begitu sulit menentukan jalan hidupnya sendiri. Padahal dia sudah mengajukan proposal yang tepat kepada orangtuanya, bahwa di tempat perantauan nanti, dia nggak akan kekurangan tempat tinggal dan akan sehat-sehat saja. Tapi orang tua begitu sulit mempercayai bahwa anaknya itu akan baik-baik saja tanpa pengawasan mereka. Padahal waktu usia 25 seharusnya anak sudah pantas keluar dari rumah orang tua mereka.
Memang ibunda boleh saja punya banyak alasan. Mungkin takut nanti anaknya sakit atau jadi buang-buang duit. Kata nyokap gw, laki-laki itu kalau nggak ada perempuannya (entah itu ibunya atau kekasihnya) pasti boros. Contoh kecil, kalau perempuan berhadapan dengan lombok, perempuan bisa mengulek lombok itu menjadi bumbu. Tapi kalau laki-laki, mereka akan buang lombok itu ke tempat sampah coz dianggapnya nggak berguna.
Dilihat dari sudut manapun, tinggal di Jakarta lebih enak daripada tinggal di Cali. Jakarta itu sumber uang dan sumber hiburan yang nggak pernah habis. Bandingkan dengan Cali yang isinya hutan dan teluk melulu. Sudah nyaman kan tinggal di Jakarta, kenapa harus pergi?
Tapi orang tua sering lupa, bahwa “zona nyaman” itu kadang-kadang bisa menghambat perkembangan anak-anak. Kita terpenjara di dalam kenyamanan, dan kita nggak tahu lagi rasanya kesulitan. Dampaknya, wawasan kita mengenai hidup jadi sempit. Gimana caranya kita tahu bahwa ada hidup yang lebih enak daripada hidup kita sekarang, kalau kita nggak pernah merasakan hidup yang lebih susah?
Lalu gw merenung. Apakah gw dan sepupu gw berpikir lebih baik pergi dari rumah bonyok karena kita masih anak-anak dan belum merasakan susahnya jadi orang tua? Mungkin kita yang belum merasakan kekuatiran mereka melepaskan anaknya pergi jauh? Ingat dulu bagaimana gw pergi dari Bandung buat merantau ke Cali selama setahun, dan gw berjingkrak-jingkrak di bandara sementara nyokap gw nangis karena takut gw kenapa-kenapa.
Tapi kalau kita nggak pernah jatuh, kita nggak akan pernah belajar. Dan mungkin, supaya anak rada pinteran dikit, orang tua yang harus rela melepaskan anak mereka.
Orang tua harus belajar memercayai kemampuan anak mereka. Coz, jika mereka nggak bisa memercayai darah daging didikan mereka sendiri, berarti akan susah buat para orang tua untuk memercayai diri mereka sendiri.
Gambar patungnya ngambil dari sini